Jumat 05 Feb 2016 15:00 WIB

Kebijakan Pangan Amburadul

Red:

JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi menyebut kebijakan pangan pemerintahan amburadul. Salah satu indikasi yang ia sampaikan adalah longgarnya koordinasi antarkementerian yang menangani pangan.

Viva menyampaikan hal tersebut dalam acara Bincang-Bincang Agribisnis bertajuk "Meningkatkan Populasi Sapi Potong Vs Mencapai Harga Daging Murah ke Mana Arah Kebijakannya" di Gedung Joeang, Jakarta, Kamis (4/2).

Pada akhirnya, menurut dia, bukan hanya petani dan pengusaha yang dirugikan, melainkan juga konsumen yang harus menanggung harga pangan tinggi. ''Sering Kementan menyalahkan pelaku usaha, tapi pelaku usaha dekat dengan Kemendag,'' katanya.

Viava menyinggung sikap pemerintah terkait kebijakan impor jagung. Pada awalnya, Kementan menahan masuknya 670 ribu ton jagung impor yang dilakukan pengusaha karena dianggap ilegal. Tapi, jagung-jagung tersebut dibiarkan mangkrak.

Padahal, jika ilegal, harusnya komoditas tersebut disita negara atau dilakukan ekspor ulang. Tapi, pada akhirnya jagung-jagung impor itu dibongkar di pelabuhan dan dijual ke Bulog. ''Kemarin, ada 445 ribu jagung impor yang didistribusikan ke peternak ayam,'' kata Viva.

Distribusi jagung Bulog untuk pakan ayam itu bertujuan untuk menekan harga jagung yang tinggi. Viva mengetahui hal tersebut setelah mendapatkan laporan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) komisi IV, beberapa waktu lalu.

Hal yang lebih lucu, jelas dia, izin impor jagung oleh Bulog sebanyak 600 ribu ton dibatalkan. Penyebabnya, Bulog sudah mengantongi jagung yang sempat tertahan di pelabuhan. ''Dari sini, tampak jelas tak ada koordinasi antarkementerian soal kebijakan pangan nasional.''

Menurut Viva, kesemrawutan kebijakan pangan dimulai dari data yang diduga tidak valid. Kementan selalu menyebut produksi pangan tinggi berdasarkan data BPS. Padahal, BPS mendapatkan sumber data dari dinas di daerah yang tidak pernah menyebut produksi turun.

Karena itu, Viva lantas menekankan validasi dan keakuratan data yang rentan dipolitisasi harus segera diakhiri. Kementan sampai sekarang juga masih konsisten menyatakan, pasokan bahan pangan bagi masyarakat cukup.

Kepala Pusat Data dan Informasi Kementan Suwandi mengurai kompleksitas masalah pangan. "Bukan sekadar terkait aspek ekonomi supply-demand, tetapi juga karakteristik wilayah, perilaku pasar, teknologi, sosial-budaya, politik, dan lainnya," kata dia.

Secara normatif dan saat kondisi pasar normal, harga akan stabil apabila pasokan mencukupi. Namun, fakta di lapangan, jelas dia, menunjukkan hal berbeda. Ia mengakui, ada anomali harga beras di tingkat konsumen.

Suwandi menerangkan, anomali harga dapat dilihat dari data pasokan beras dan harga di konsumen secara bulanan pada lima tahun terakhir. Pasokan beras bulanan berfluktuasi sesuai musim produksi, harga beras di konsumen selalu naik akibat faktor ekonomi dan nonekonomi.

Menurut Suwandi, pasokan tidak berkorelasi dengan harga beras. Artinya, produksi yang tinggi berdasarkan angka ramalan BPS II 2015 ternyata tidak mengalir secara baik sampai ke konsumen. Kondisi itu sudah berlangsung lama dan menjadi anomali yang belum teratasi.

Ia menambahkan, harga gabah kering panen di petani Rp 3.700/kg dengan menggunakan instrumen harga pokok pembelian. Saat dikonversi dan ditambah biaya olah menjadi beras, setara Rp 6.359 per kilogram.

Namun, ternyata harga beras di konsumen berkisar Rp 10.172 per kilogram. "Ini menunjukkan, ada disparitas harga tidak wajar yang mengindikasikan ada masalah pada aspek distribusi, sistem logistik, tata niaga, struktur, dan perilaku pasar," tegasnya.

Suwandi mengutip pula data BPS yang menunjukkan, produksi padi 2015 sebesar 74,9 juta ton atau naik 5,85 persen, jagung naik 4,34 persen, kedelai 2,93 persen dibandingkan 2014. Bila data pangan dari BPS diragukan, sama hal nya meragukan seluruh data yang ada di BPS.

Mengingat seluruh data disusun dengan prosedur dan pedoman standar baku serta diolah dengan metode yang teruji di BPS. ''Sebaiknya lakukan survei sendiri kalau masih ragu. Sekarang, bukan masanya lagi saling menyalahkan tentang pangan,'' katanya.  rep: Sonia Fitri, Debbie Sutrisno ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement