Sabtu 28 Nov 2015 17:10 WIB

Wajah Korupsi di Negeri Kita

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mungkin hanya di tanah tercinta ini, korupsi mempunyai nama, wajah, dan wujud yang beragam. Pada era 1980- an, seingat saya, mulai terkenal kata pungli atau pungutan liar. Akronim ini bahkan masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jika satu akronim dicantumkan dalam kamus, berarti kata tersebut dianggap sudah membudaya.

Pada era 1990-an, tren berubah. Muncul istilah "katabelece" yang berasal dari bahasa Belanda "kattabelletje" yang berarti surat peringatan. Dari bahasa aslinya, istilah ini merupakan hasil gabungan kata kat(kucing) dan bel (lonceng). Seekor tikus akan tiba-tiba ketakutan ketika mendengar bunyi klintingan kucing.

Berangsur kata "katabelece" kemudian mengalami penyempitan makna menjadi "surat sakti". Jika seorang pejabat membuat katabelece atau nota sakti, bawahan atau pihak internal terkait harus waspada jika tidak menaatinya.

Ketika era Reformasi bergulir, tokoh Reformasi Amien Rais memperkenalkan istilah KKN yang merupakan singkatan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Istilah korupsi sendiri sudah sering didengar, tapi kolusi dan nepotisme lalu diperke nalkan sebagai saudara dekat korupsi. Masyarakat mulai mawas.

Saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dan UU Korupsi dibuat, istilah gratifikasi mulai memasyarakat. KBBIsendiri masih secara sempit mendefinisikan gratifikasi sebagai uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Untung saja KPK memberi arti lebih luas. Gratifikasi kemudian meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, serta fasilitas lainnya.

Beberapa tahun belakangan, populer juga frasa "wani piro?" Dua kata yang berasal dari bahasa Jawa yang maknanya "berani bayar berapa?" pemakaiannya mendadak dikaitkan dengan korupsi.

Sebenarnya, kalau mau dirunut, masih banyak istilah atau frasa baru terkait korupsi yang muncul setelah kemerdekaan Indonesia, seperti uang pelicin, uang dengar, tempat basah, mark up, manipulasi, dan lain-lain. Namun, yang terbaru adalah kasus pencatutan nama dan dalam kali mat populernya dikenal sebagai "papa minta saham".

Dunia memang sedang berlomba membesarkan industri kreatif. Sayangnya, di Indonesia, yang berkembang pesat adalah kreativitas dalam berkorupsi. Berbagai sebutan, cara, serta wajah berubah seiring dengan waktu. Pelaku korupsi dari generasi ke generasi selalu menemukan cara baru untuk menjalankan aksinya.

Uniknya, dari semua jenis korupsi yang ada di Indonesia, ternyata pelakunya cuma satu. Ya, hanya satu. Oknum!

Pemakaian istilah oknum sebenarnya merupakan salah satu bentuk denialatau penyanggahan. Penolakan atas suatu fakta. Dalam hal ini, sebanyak apa pun kasus korupsi di sebuah lembaga, berapa orang pun yang terlibat, tetap yang disalahkan adalah oknum. Akibatnya, sistem tidak berubah karena kalau ada kesalahan, yang disebut selalu oknum, lagi-lagi individu, hingga tidak mendorong adanya evaluasi terhadap sistem lembaga terkait.

Menilik sejarah, sebenarnya praktik korupsi di negeri ini memiliki akar budaya jauh sebelum masa penjajahan. Contohnya, masyarakat feodal sebelum kedatangan bangsa Barat sudah mempunyai tradisi upeti. Bangsawan memberi upeti pada raja.

Sebelumnya, para bangsawan tinggi mendapat upeti dari demang, pamong, atau pejabat rendahan. Sementara, pejabat rendahan menerima upeti dari rakyat jelata-- pada ujungnya, rakyat kebanyakanlah yang terbebani.

Upeti diberikan agar kedudukan mereka yang berada di bawah aman, terlindung, atau mendapat legitimasi untuk melakukan sesuatu. Pola ini dipertahankan oleh pemerintah kolonial. Mereka menempatkan pejabat pribumi di daerah tertentu untuk menguasai penduduknya. Penjajah akan mempertahan kan pejabat pribumi yang berhasil memberikan upeti atau menyukseskan program kolonial.

Namun, budaya korupsi sempat kandas pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Hampir semua anak bangsa, mulai dari pejabat tertinggi sampai prajurit paling rendah, berjuang tanpa memikirkan kepentingan pribadi. Segelintir oportunis memang ada, tapi itu oknum, oknum dalam arti sesungguhnya.

Artinya, bangsa kita memiliki jejak sejarah bebas dari korupsi. Pertanyaannya, mampukah hal ini diulangi?

Saatnya kembali kepada semangat para pejuang kemerdekaan yang meletakkan kepentingan masyarakat luas sebagai tujuan atau minimal sekali tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan rakyat banyak dengan korupsi.  Oleh Asma Nadia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement