Jumat 27 Mar 2015 14:44 WIB

Wapres Tolak Perppu ISIS

Red: operator

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, pemerintah tak perlu mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menanggulangi organisasi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Menurutnya, Undang-Undang Antiterorisme yang saat ini berlaku sudah cukup.

“Tidak perlu pakai perppu untuk itu,” kata Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Kamis (26/3). Menuruntya, larangan terhadap adanya kelompok radikal tidak bisa hanya dikhususkan pada kelompok ISIS. Namun juga, terhadap seluruh kelompok yang memang menyebarkan ajaran radikal dan terlarang.

Menurut Kalla, pemerintah masih dapat menggunakan Undang-Undang Antiterorisme untuk menghambat penyebaran ajaran terorisme di Tanah Air. Dengan Undang-Undang Antiterorisme tersebut, individu yang dinyatakan terlibat pun dapat dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. “Undang-Undang Antiterorisme kita sudah cukup kuat sebenarnya, yah,” jelas Kalla.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Tedjo Edhy Purdjiatno mengatakan, pemerintah akan menerbitkan perppu yang mengatur soal ISIS. Perppu tersebut, menurut dia, nantinya akan terintegrasi dengan UU Terorisme.

Sedangkan, Wakapolri Komjen Badrodin Haiti juga menyatakan perlunya diterbitkan perppu dalam menangani permasalahan ISIS. Sehingga, terdapat payung hukum untuk menindak individu yang terlibat.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga memandang belum perlu pemerintah mengeluarkan perppu untuk menghalau  ISIS. “Tidak usah begitu-begitulah, yang penting bagaimana negara bersatu untuk menghadapi itu. Jangan tidak bersatu,” katanya seusai melakukan kunjungan ke Kedubes Singapura, kemarin.

Ia menegaskan, terorisme dan radikalisme masih menjadi ancaman nyata buat Indonesia. “Musuh kita bukan antarbangsa, musuh kita adalah yang radikal dan yang teroris. Itu musuh bersama,” kata Ryamizard.

Ia mengungkapkan bahwa pemberantasan terorisme dan organisasi radikal perlu kesertaan seluruh komponen bangsa. Persoalan terorisme dan radikalisme tak bisa hanya diselesaikan lembaga-lembaga terkait seperti kepolisian atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, Kemendagri lebih memilih perluasan Undang-Undang Antiterorisme guna menanggulangi ISIS. Menurut Tjahjo, revisi UU tersebut akan memudahkan kepolisian dalam mendeteksi WNI yang akan pergi ke luar negeri dan bergabung dengan ISIS.

Sejauh ini, kata Tjahjo, pemerintah kesulitan mencegah orang yang tidak memiliki masalah hukum dan akan bergabung dengan kelompok ISIS. Terlebih bila berkedok perjalanan wisata atau ibadah.

Tjahjo juga menilai, pemerintah harus jeli jika harus mencabut status kewarnegaraan bagi WNI yang bergabung dengan ISIS. Sebab, WNI yang ada di luar negeri  juga harus dibela.

Ia menambahkan, Kemendagri telah menginstruksikan gubernur dan bupati agar berkoordinasi dengan kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Koordinasi tersebut untuk mencegah masuknya Warga Negara Asing (WNA) yang membawa potensi terorisme.

Tjahjo mengatakan sudah memiliki peta merah terhadap wilayah yang rawan kegiatan terorisme. Salah satu di antarnya, menurut Tjahjo, di Tangerang Selatan.

Penetapan Tangerang Selatan sebagai peta merah, kata Tjahjo, sudah lama. Hal itu berdasarkan data dari intelijen. Tjahjo meminta kepada intelijen agar tidak kecolongan dalam mendeteksi kegiatan terorisme. rep: Dessy Suciati Saputri, Reja Irfa Widodo Rahmat Fajar ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement