Senin 22 Dec 2014 12:00 WIB

Jangan Tergesa Hapus Premium

Red:

JAKARTA -  Pengamat energi Marwan Batubara menilai, penghapusan RON 88 atau Premium bisa mengganggu ketahanan dalam negeri. Alasannya, impor RON 92 akan meningkat karena kilang minyak Indonesia untuk mengolah bahan bakar jenis itu belum siap. "Dengan impor RON 92, kita akan lebih banyak mengandalkan negara luar. Ini bisa mengganggu ketahanan kita," ujar pengamat energi Marwan Batubara kepada Republika, Ahad (21/12).

Menurut Marwan, dengan melakukan penghentian RON 88, pemerintah mungkin sedang melakukan pertimbangan ekonomi ke depan. Namun, untuk saat ini, pemerintah sejatinya menimbang baik dan buruk atas apa yang akan mereka putuskan.

Dengan melakukan penghentian RON 88, Marwan berpendapat akan banyak aspek lain yang terabaikan. Selain nilai impor yang melambung, aspek kilang minyak yang selama ini memproduksi Naptha sebagai bahan baku RON 88 bisa tersisihkan.

Tidak terpakainya minyak yang dihasilkan dari kilang-kilang Pertamina tidak menutup kemungkinan jika tempat pengolahan tersebut akan minim aktivitas. Kilang akan semakin kurang produktif dalam menutupi kebutuhan minyak Tanah Air.

Selain itu, untuk menghentikan pembelian RON 88, Marwan menilai pemerintah tak boleh mengambil langkah terlalu cepat. Alasannya, kilang yang dibutuhkan untuk memproduksi RON 92 masih harus di-upgrade. "Ini membutuhkan waktu yang tidak singkat. Maka lebih baik tidak tiba-tiba menyetop konsumsi RON 88," kata.

Tim Reformasi Tata Kelola Migas mengusulkan agar impor RON 88 dihapus. Alasannya, basis penentuan harga RON 88 cenderung dimonopoli sehingga memicu munculnya praktik mafia migas. Saat ini hanya Indonesia yang masih menggunakan RON 88. RI tidak punya kuasa atas penetapan harga transaksi minyak bursa Singapura (MOPS) Mogas 92 yang menjadi acuan harga bensin RON 88.

Anggota Komite Reformasi Tata Kelola Migas Darmawan Prasodjo meyakini penghentian impor RON 88 dan menggantinya dengan RON 92 akan lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Namun, menurut dia, dengan digantinya RON 88 menjadi RON 92, produksi minyak Indonesia akan mengalami penurunan. Indonesia yang semula memproduksi 6 juta barel per bulan hanya akan mampu menghasilkan 5 juta barel per bulan.

Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan BBM yang mencapai 16 juta barel per bulan, Indonesia diperkirakan akan menambah impor RON 92 menjadi 11 juta barel per bulan dari sebelumnya sebesar 10 juta barel per bulan.

"Dengan mengganti BBM jenis RON 88 menjadi RON 92, pemerintah bisa memberikan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan," katanya meyakinkan.

Selain alasan lingkungan, mengganti RON 88 menjadi RON 92 juga merupakan langkah efisiensi karena bisa mengurangi biaya produksi pencampuran (blending). Untuk menghasilkan bahan bakar RON 88, diperlukan proses pencampuran antara bahan bakar jenis tertentu (biasanya RON 92 yang tersedia di pasaran) dengan naphta yang tentunya menambah biaya produksi.

"Blending ini membuat prosesnya menjadi panjang dan kita tidak tahu apa benar harganya segitu karena hanya kita yang membeli RON 88. Kalau pakai RON 92, jelas ada harga acuan pasar," ujarnya.

Secara terpisah, anggota DPR Komisi VII, Kurtubi, mengingatkan pemerintah soal penerapan subsidi tetap atau harga Premium mengambang. Menurut Kurtubi, pemerintah harus mengoordinasikan ini ke DPR sebelum diterapkan.

Meski demikian, dia berpendapat pemerintah sebaiknya menggunakan cara subsidi dengan persentase. Jadi, ketika minyak menyentuh angka 110 liter per barel, masyarakat tidak terlalu menanggung kenaikan signifikan tersebut.

n c81/debbie sutrisno/antara ed: teguh firmansyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement