Kamis 20 Nov 2014 12:00 WIB

Berlapang Dadalah Menerima Ahok

Red:

"Saya berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturannya, dengan selurus-lurusnya, berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa. Semoga Tuhan menolong saya."

Rangkaian kata itu merupakan sumpah jabatan yang diucapkan Basuki Tjahaja Purnama di hadapan Presiden Joko Widodo, Rabu (19/11). Sumpah itu pula yang menjadikan Basuki resmi menduduki singgasana orang nomor satu di Jakarta hingga 2017.

Ahok, sapaan Basuki menjadi gubernur pertama yang dilantik presiden Indonesia di Istana Negara pada masa pilkada langsung. Semua itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Pasal 163 Perppu Pilkada mengatur gubernur dilantik oleh presiden di ibu kota negara. Sementara, menurut Pasal 203, wakil kepala daerah berhak mengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh kepala daerah.

Sayang seribu sayang, pelantikan Ahok di istana disambut aksi demonstrasi penolakan. Suasana kian memanas lantaran demo menolak Ahok bercampur dengan demo menolak kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Meski didemo dan dinilai berbeda dasar hukum dalam pelantikan, tetap saja tidak bisa membatalkan keputusan presiden. Ahok pun naik takhta menjadi gubernur ke-17 Jakarta.

Rencana awal pelantikan Ahok bakal digelar di DPRD DKI Jakarta. Namun, pengukuhan itu kemudian dipindahkan ke Istana Presiden. Sejumlah pihak menilai pemindahan itu karena faktor keamanan, mengingat penentang Ahok cukup banyak.

Namun, tak sedikit yang menilai pemindahan lokasi pelantikan sebagai upaya Ahok berlindung di bawah ketiak Presiden Jokowi. Anggapan itu semakin menebal lantaran 10.184 personel gabungan Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya diterjunkan untuk mengawal pelantikan itu.

Menurut saya, naiknya Ahok menjadi gubernur dan terpilihnya Jokowi menjadi presiden ketujuh RI seperti sebuah "ramalan" yang benar-benar terjadi. Saat masa Pilkada DKI 2012 lalu, banyak yang menerawang majunya Jokowi-Ahok bakal mengubah peta politik di Indonesia. Diprediksi, Pilkada DKI hanya menjadi batu loncatan Jokowi untuk maju dalam Pilpres 2014. Nantinya, setelah Jokowi terpilih menjadi presiden, Ahoklah yang bakal menjadi gubernur.

Dan ramalan itu terbukti. Sialnya, naiknya Ahok diiringi "penyesuaian" harga BBM yang diumumkan pemerintah sehari sebelumnya. Bagi pendukung Jokowi, dan Ahok tentunya, kenaikan harga BBM bisa jadi seperti dogma yang harus ditelan bulat-bulat, meski bisa saja ada yang kecewa dengan kenaikan harga BBM itu. Namun, pemikiran berseberangan datang dari para penentang.

Saya coba mengingatkan kepada sidang pembaca, khususnya warga Jakarta, baik yang beragama Islam atau non-Muslim, siapa yang Anda pilih saat Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu? Jika memilih Jokowi-Ahok, rasanya "haram" hukumnya Anda berkeluh kesah dan lantang berteriak menentang kenaikan harga BBM atau pun naiknya Ahok menjadi gubernur. Tak perlu misuh-misuh. Sebab, naiknya Ahok menjadi gubernur bukan sekadar atas nama konstitusi, tapi lebih kepada strategi memuluskan sejumlah kebijakan dan menjaga mimpi-mimpi warga Jakarta yang ditinggalkan Jokowi. Jadi jika Anda pemilih Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012, sebaiknya berlapang dada menerima kenaikan harga BBM dan duduknya Ahok di singgasana penguasa Jakarta.

Kini sekoper pekerjaan rumah Ibu Kota dihibahkan Jokowi kepada Ahok. Mulai dari pembenahan transportasi publik, penanganan banjir, kemiskinan, hingga pendidikan. Belum lagi masalah penentangan dari organisasi massa seperti Front Pembela Islam (FPI) hingga lembaga pemerintahan seperti DPRD DKI. Semua itu sudah menunggu di depan batang hidung pemimpin baru Jakarta.

Nama Jakarta biasanya diterjemahkan sebagai ‘kota kemenangan’. Julukan itu sepertinya pantas mengingat Jakarta dijadikan sebagai landasan dan mimpi banyak masyarakat Indonesia untuk meraih kemenangan dan kejayaan ketika merantau ke Ibu Kota.

Hikayat Ahok memimpin 'kota kemenangan' itu pun bakal tercatat di babad Batavia dan menjadi literatur sejarah. Mampukah dalam tiga tahun Ahok memimpin Jakarta agar tetap menjadi 'kota kemenangan'? Atau malah kepemimpinan mantan bupati Belitung Timur itu justru membuat Jakarta semakin dikerubungi masalah.

Semoga bukan hanya pendukung Jokowi-Ahok yang berlapang dada, tapi juga para penentang. Sebab saat ini yang bisa dilakukan adalah mengawal agar Ahok tidak lagi mendiskreditkan agama, mengurangi bertindak arogan, dan lebih mengayomi masyarakat bukan mengajak gelut. Semoga saja Ahok juga mampu merawat Jakarta sebagai kota seribu mimpi, bukan kota seribu kartu. Tabik.

Oleh: Karta Raharja Ucu

Twitter @kartaraharjaucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement