Kamis 20 Nov 2014 11:00 WIB

Dampak Kenaikan Harga BBM

Red:

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi benar-benar telah terjadi. Premium yang semula harganya Rp 6.500 per liter menjadi Rp 8.500, sementara solar yang semula Rp 5.500 menjadi Rp 7.500 per liter.

Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, tanpa kenaikan harga BBM, kuota volume BBM bersubsidi akan melampaui target yang dipatok sebesar 46 juta kiloliter sampai akhir tahun. Kenaikan harga BBM akan dapat menahan pembengkakan kuota, yaitu terjadinya penurunan laju konsumsi. Bukti tahun lalu pada saat harga BBM dinaikkan, dari target kuota 48 juta kiloliter, realisasinya cuma 45,7 juta kiloliter.

Presiden Joko Widodo dalam acara Munas XII Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) di Hotel Clarion, Kendari, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu, menyatakan kesiapannya untuk tidak populer akibat kebijakan menaikkan harga BBM. Menurutnya, selama lima tahun ini subsidi BBM mencapai Rp 714 triliun.

Subsidi salah sasaran yang menikmati mengakibatkan adanya pemborosan. Sedangkan, dalam kurun waktu yang sama anggaran kesehatan hanya Rp 220 triliun dan infrastruktur Rp 577 triliun. Menurutnya, gara-gara tiap hari membakar BBM bersubsidi, terjadi kehilangan 1.400 bendungan.

Komentar terhadap rencana kenaikan BBM sangatlah beragam. Ada yang setuju, ada juga yang tidak setuju. Terhadap yang setuju, tentunya kurang lebih seperti apa yang dikemukakan pemerintah, yaitu subsidi yang membengkak dan salah sasaran. Terhadap yang tidak setuju, alasannya dapat beragam, baik terhadap apa yang terjadi pada komoditas BBM, masih ada cara lain, momentum yang tidak tepat maupun dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM.

Menurut yang terjadi pada komoditas BBM adalah ketidakjelasan harga BBM yang sebenarnya dan masih banyak mafia pada sektor migas. Cara lain, misalnya, menyetop pelunasan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), membengkaknya cicilan utang luar negeri beserta bunganya, serta pengeluaran negara untuk kepentingan kesalahan perusahaaan, misalkan bantuan Lapindo. Alasan momentum tidak tepat karena laju pertumbuhan ekonomi yang menurun dan harga minyak dunia justru sedang menurun. Adapun alasan dampak dari kenaikan harga BBM sudah pasti terjadi kenaikan inflasi serta memburuknya tingkat kemiskinan dan pengangguran.

Pemerintah memprediksi inflasi akan bertambah dua persen, dari yang semula 5,3 persen akan menjadi sekitar 7,3 persen. Kenyataan bisa lebih besar dari itu karena baru terdengar rencana kenaikan harga BBM saja, harga-harga barang sudah naik. Belum lagi, sekarang yang harganya naik, maka akan menaik lagi, tarif angkutan menaik, dan bisa juga harga gas dan berbagai tarif listrik, air minum (PAM), maupun barang dan jasa lainnya. Kenaikan kumulatif dan spiral dapat terjadi pada harga-harga.

Kemiskinan dan pengangguran diprediksi akan meningkat akibat kenaikan harga BBM. Kenaikan sebesar Rp 3.000 per liter yang tidak jadi, mengakibatkan kurang dari 10 juta pertambahan penduduk miskin. Harga barang yang menaik, sementara tuntutan upah juga meningkat, dan prospek usaha secara umum kurang baik, maka jumlah pengangguran bisa jadi akan bertambah. Ketimpangan distribusi pendapatan yang sementara ini mengalami peningkatan (makin buruk), bisa jadi akan meningkat lagi. Tidak bisa dimungkiri banyak pihak yang justru dapat menangguk untung akibat kenaikan harga BBM, seperti BBM belum naik sudah mampu bereaksi menaikkan harga barang.

Salah satu cara untuk menutup dampak kenaikan harga BBM, kebijakan Presiden Jokowi meluncurkan kartu "sakti" yang terdiri dari Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Dana yang digunakan untuk menutup kartu sakti itu sekitar Rp 5 triliun dari penghematan dana subsidi BBM dalam APBN 2014 sebesar Rp 246,5 triliun. Meski harus dicatat dana untuk ketiga kartu itu masih tanda tanya besar, dan kalau tidak hati-hati bisa tersandung korupsi, karena aturan perolehan dan penggunaannya harus jelas.

Efektivitas penyaluran kartu "sakti" bergantung pada ketepatan data yang berhak menerima. Selama ini berbagai program bantuan seperti Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dan raskin, di lapangan banyak salah sasaran karena data penerima tidak benar. Program yang tidak terencana baik dan di lapangan banyak terjadi penyelewengan akibat unsur kedekatan dengan elite pemimpin tingkat bawah mengakibatkan sering salah sasaran.

Perbaikan data penerima sudah pasti harus terus dilakukan karena kalau salah sasaran bisa berakibat ketidakadilan. Misalkan, program Bidik Misi berupa beasiswa untuk yang tidak mampu pada awalnya banyak salah sasaran karena programnya tergesa-gesa dan pihak terkait belum siap. Baru pada tahun berikutnya diperbaiki dengan cara meminta berbagai data penunjang seperti rekening PBB, pembayaran listrik dan air, serta organisasi kemahasiswaan diterjunkan untuk turut mengecek kebenaran calon penerima beasiswa.

Meskipun program kenaikan harga BBM belum sebanding dengan adanya pembagian kartu "sakti", tetapi kesuksesan pembagian kartu "sakti" ikut membantu mengurangi dampak kenaikan harga BBM yang penuh tanda tanya. Berbagai kabut yang menyelimuti komoditas migas (termasuk BBM) perlu dikuak, seperti mengapa mayoritas dikuasai asing sehingga harga mahal, misteri mafia migas, maupun bentuk penyelewengan lain. Paling tidak kartu "sakti" merupakan usaha jangka pendek, sedangkan jangka panjang kemandirian energi suatu keharusan. n

Purbayu Budi Santosa

Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement