Jumat 15 Aug 2014 18:32 WIB

MUI Menilai Aborsi Akibat Perkosaan Bisa Dilakukan

Red: operator

JAKARTA -Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan praktik aborsi adalah haram. Namun, untuk kondisi tertentu, seperti korban perkosaan, MUI menilai aborsi bisa saja dilakukan asal sebelum kandungan mencapai usia 40 hari. "Ini penting karena kalau sudah masuk 40 hari, janin itu hidup," kata Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanudin AF kepada Re publika, Kamis (13/8).

Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi menjelaskan, tindakan aborsi diper bolehkan jika perempuan hamil menderita sakit fisik berat, seperti kanker stadium lanjut, tuberkulosis (TBC) dengan caverna, dan penyakitpenyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter. Kemudian, aborsi diperbolehkan dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.

Fatwa itu memaparkan, keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang bila dilahirkan kelak sulit disembuhkan. Adapun, untuk kondisi kehamilan akibat perkosaan, harus didahului oleh penetapan tim yang ber wenang yang di dalamnya terdapat, antara lain, keluarga korban, dokter, dan ulama.

Aborsi bagi korban perkosaan, kata Hasanudin, harus sangat diperhatikan. Keterangan dari penegak hukum yang membuktikan kehamilan benar dari hasil perkosaan dibutuhkan. Selain itu, pihak keluarga juga harus menyetujui tindakan aborsi ini. "Jadi, mekanismenya tidak sembarangan," papar Hasanudin.

Persatuan Islam Istri (Persistri), sayap organisasi perempuan Persatuan Islam (Per sis), menganggap klausul aborsi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi adalah sebuah kekeliruan. Ketua Umum Persistri Titin Suprihatin berpendapat, aborsi dalam kasus perkosaan tidak bisa diterima. "Kalau karena indikasi medis, yakni mengancam kehidupan ibu atau janin tidak sehat, (aborsi)

bisa diterima dengan syarat tertentu. Tapi, kalau janin jelas-jelas sehat, itu tidak bisa di terima. Itu pembunuhan,"

ujar Titin.

Menurut Titin, dalam kasus perkosaan, mengorbankan anak karena pertimbangan trauma psikologis ibu tidaklah tepat. "Kalau ibu trauma, jawabannya bukan membunuh anak, tapi menyelesaikan trauma itu. Kemudian, yang lebih penting jelas adalah mengantisipasi terjadinya perkosaan," kata Titin.  rep:Erdy Nasrul/c54, ed:andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement