Senin 07 Nov 2016 18:00 WIB

Pengguna Medsos Jangan Jadi Provokator

Red:

JAKARTA - Aksi damai 4 November 2016 telah selesai dengan berbagai catatan yang menjadi pengingat semua pihak. Harapannya, janji-janji yang telah ditunaikan akan disepakati.

Oleh karena itu, berbagai pihak diminta untuk tetap menjaga kesepakatan tersebut dan tidak menjadi provokator, terutama bagi pengguna media sosial (medsos). Pengamat ICT, Heru Sutadi, mengatakan, hampir separuh penduduk Indonesia sekarang sudah melek internet dan mayoritas terhubung ke medsos. Jadi, mereka memang akan memengaruhi proses persuasi atau propaganda untuk merusak apa yang telah menjadi kesepakatan.

"Dikhawatirkan mereka yang menyampaikan pesan negatif menjadi kampanye hitam untuk pendukung pilkada, apalagi menyangkut isu SARA. Karena itu, pemerintah harus tegas bukan hanya memblokir situs SARA, tapi juga medsos yang menggunakan buzzer untuk isu SARA dan kebencian," ujar Heru kepada Republika, di Jakarta, Ahad (6/11).

Di sisi lain, ia berharap pemerintah juga harus adil saat memblokir 11 situs yang dianggap provokatif karena anti-Ahok. Sebab, di sisi lain pemerintah membiarkan situs-situs lain yang juga dianggap memprovokasi tetapi tidak diblokir karena pro-Ahok.

Menurut dia, kalau pemerintah mau menenangkan suasana setelah aksi damai 4 November 2016, jangan takut mengeblok akun-akun yang masih saja memprovokasi atau menyampaikan hal negatif terkait mereka yang pro atau anti-Ahok. "Medsos lebih mengerikan, karena ini sudah permainan buzzer semua," kata Heru.

Ia menganggap, sebenarnya kalau terkait paslon pilkada, ada akun medsos yang resmi yang dilaporkan ke KPUD.  Akun medsos yang masih menyebarkan informasi fitnah dan negatif kepada siapa pun, baik yang pro atau anti-Ahok bisa diblokir semua. "Jadi sebenarnya pola-pola itu bisa dilihat dan dilakukan," kata dia.

Dan bahkan, kata dia, kalau pemerintah serius, bisa ditelurusi siapa yang menyebarkan informasi kebencian dan penghinaan itu. Semua ini,  menurutnya, perlu dilakukan agar kesepakatan bersama elemen masyarakat atau pendemo dan pemerintah bisa dijaga, jangan sampai dirusak dengan informasi medsos yang tidak benar dan memprovokasi.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika Noor Iza mengatakan Kemenkominfo telah memblokir 11 situs di internet yang mengandung konten suku, ras, agama dan antargolongan (SARA) yang membahayakan persatuan dan kesatuan. Noor Iza mengatakan, sebelumnya juga situs-situs yang bermuatan SARA telah diblokir oleh kementerian atas permintaan lembaga dan instansi terkait.

Situs-situs tersebut dinilai provokatif, mengandung ujaran kebencian, membahayakan persatuan, dan kesatuan bangsa. Untuk 11 situs yang diblokir tersebut, menurut Noor Iza, dilakukan atas permintaan dari lembaga dan instansi terkait seperti Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Sementara, 11 situs yang diblokir tersebut menurut Noor Iza adalah lemahirengmedia.com, portalpiyungan.com, suara-islam.com, smstauhiid.com, beritaislam24h.com, bersatupos.com, pos-metro.com, jurnalmuslim.com, media-nkri.net, lontaranews.com, dan nusanews.com.

Pemerintah diminta tidak mengait-ngaitkan aksi damai pada Jumat (4/11) lalu dengan agenda politik tertentu. Ketua Komunitas Tionghoa Antikorupsi (Komtak) Lieus Sungkharisma mengatakan, unjuk rasa tersebut murni dilakukan masyarakat untuk mendorong penegakan hukum atas kasus dugaan penistaan agama yang melilit Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Gerakan itu enggak ada urusannya sama Pilkada DKI 2017. Mengapa mesti dipolitisasi dan diputer-puter seakan karena sekarang mau pilkada? Enggak ada itu kaitannya," ujar Lieus.

Menurut dia, desakan untuk penuntasan kasus Ahok saat ini tidak hanya disuarakan oleh kalangan umat Islam semata. Masyarakat Tionghoa di Indonesia pun, kata dia, juga banyak yang menyuarakan aspirasi yang sama. Oleh karena itu, Lieus meminta pemerintah bisa bersikap objektif dalam melihat gerakan massa pada 4 November lalu. Dia juga mengingatkan pemerintah agar tidak menggiring opini masyarakat keluar dari konteks penegakan hukum. rep: Amri Amrullah, Eko Supriyadi Ahmad Islamy Jamil ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement