Kamis 08 Sep 2016 13:00 WIB

Jokowi-Duterte Bahas Keamanan Laut

Red:

VIENTIANE -- Presiden Joko Widodo dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte sempat berbincang santai usai pertemuan retreat (pertemuan tertutup) para pemimpin negara-negara ASEAN di National Convention Center (NCC) Vientiane, Laos, Rabu (7/9). Pertemuan tersebut terjadi menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Peringatan 25 Tahun Hubungan ASEAN-Cina.

    

Ditemui usai retreat ASEAN, Juru Bicara Kepresidenan Filipina Ernesto Abella mengatakan, Presiden Jokowi dan Presiden Duterte saling menyapa penuh kehangatan. Dan, dalam obrolan mereka, Duterte sedikit menyinggung rencana kunjungannya ke Indonesia pada 8-9 September 2016.

    

Sebelumnya, pada Selasa (6/9), Ernesto menyampaikan bahwa Presiden Duterte akan langsung bertolak ke Jakarta pascapenutupan KTT ASEAN di Vientiane pada 8 September. "Presiden Duterte akan terbang ke Jakarta untuk kunjungan kerja pada 8 September, tinggal satu malam, dan keesokan harinya akan bertemu dengan Presiden Widodo (Joko Widodo), dan setelah itu kembali ke Manila," kata dia.

    

Dalam kesempatan tersebut, Ernesto juga menyampaikan, salah satu fokus pembahasan kedua pemimpin negara adalah isu keamanan perairan laut Indonesia dan Filipina. Isu ini teramat krusial mengingat sudah dua kali penyanderaan dilakukan terhadap WNI oleh kelompok pemberontak Abu Sayyaf di perairan Filipina Selatan (lihat infografis).

Duterte baru dilantik sebagai presiden Filipina pada 30 Juni 2016. Ketika itu, Indonesia pun mengucapkan selamat atas terpilihnya Duterte menggantikan Benigno Aquino III. "Pemerintah dan rakyat Indonesia menyampaikan ucapan selamat atas dilantiknya Rodrigo Duterte sebagai presiden ke-16 Filipina pada Kamis, 30 Juni 2016," demikian pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri RI. Menlu Indonesia Retno Marsudi pun telah menemui Menlu Filipina Perfecto Yasay Jr untuk menyampaikan ucapan selamat Jokowi kepada Duterte.

Dalam surat tersebut juga disebutkan harapan agar kedua negara dapat menjalin kerja sama yang lebih kuat pada masa mendatang, termasuk kerja sama pengamanan lalu lintas pelayaran di Laut Sulu.

Selain masalah keamanan laut, fokus lain dari pertemuan Jokowi dan Duterte kemungkinan besar adalah masalah terpidana mati kasus narkoba Mary Jane Veloso. Sejatinya, Veloso dieksekusi tahun lalu di Nusakambangan. Namun, karena ada permintaan dari Presiden Filipina kala itu, Benigno Aquino III, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kejaksaan Agung, menunda eksekusi. Nama Veloso pun tak masuk dalam deretan terpidana mati yang dieksekusi Juli lalu.

Dalam keterangan pers di Kota Davao, Senin (5/9), Duterte mengaku akan meminta kemurahan hati Jokowi untuk membatalkan hukuman mati Veloso. "Saya akan meminta kepada Widodo (Presiden Joko Widodo) dengan jalan yang amat sangat sopan," katanya seperti dilansir Inquirer.

Jika permintaannya ditolak Jokowi, Duterte tidak akan mempermasalahkannya. Mantan wali kota Davao ini mengaku tidak memiliki keraguan terhadap sistem peradilan di Tanah Air.

 "Saya akan sekuat tenaga menerima keputusan Widodo," ujarnya. Lebih lanjut, Duterte mengaku tetap bersyukur dengan perlakuan baik Pemerintah Indonesia terhadap Veloso selama menjalani masa-masa menjelang eksekusi hukuman mati.

Dalam sebuah kesempatan tahun lalu, Presiden Jokowi menjelaskan, pemerintah tidak membatalkan rencana eksekusi mati terhadap Veloso. Sejatinya, eksekusi akan dilakukan pada Rabu (29/4) dini hari WIB.

Namun, karena ada novum (bukti hukum baru) setelah perekrut Veloso, Maria Kristina Sergio, menyerahkan diri kepada kepolisian Filipina, eksekusi pun ditunda. Jokowi pun membantah penundaan eksekusi mati Veloso disebabkan lobi yang dilakukan Presiden Aquino di sela-sela KTT ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia.        antara, ed: Muhammad Iqbal

***

Infografis

Mary Jane Veloso

24 April 2010: Mary Jane Veloso ditangkap di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta, 24 April 2010, karena membawa 2,6 kilogram heroin. Pengadilan Negeri Sleman lalu menjatuhkan hukuman mati karena Veloso terbukti melanggar Pasal 114 ayat 2 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2011: Presiden Benigno Aquino III meminta ampunan langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar membebaskan Veloso.

29 April 2015: Kejaksaan Agung berencana mengeksekusi Veloso pada Rabu, 29 April 2015, dini hari WIB. Namun, eksekusi ditunda karena ada novum (bukti hukum baru) setelah perekrut Veloso, Maria Kristina Sergio, menyerahkan diri kepada kepolisian Filipina. Eksekusi pun ditunda.

2016: Mary Jane tidak termasuk ke dalam daftar terpidana mati narkoba yang dieksekusi pada Juli lalu.

Aksi Kelompok Abu Sayyaf

29 Maret 2016: Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut mengungkapkan dua kapal Indonesia, yaitu kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 dibajak kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Pembajakan terjadi pada 26 Maret 2016 di perairan Tawi-tawi, Filipina Selatan.

16 April 2016: Kementerian Luar Negeri menyatakan, telah terjadi pembajakan terhadap dua kapal berbendera Indonesia di perairan perbatasan Malaysia dan Filipina. Empat ABK berkebangsaan Indonesia diculik.

1 Mei 2016: Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso mengungkapkan, 10 WNI yang disandera di Filipina telah dibebaskan. Presiden Joko Widodo menyebut pembebasan ini tak lepas dari kerja sama semua pihak.

13 Mei 2016: Empat WNI yang diculik Abu Sayyaf dibebaskan. Mereka tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, dengan pesawat Boeing 737 milik TNI Angkatan Udara.

24 Juni 2016: Kementerian Luar Negeri membenarkan tujuh WNI telah disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina Selatan. Mereka merupakan ABK dari kapal tunda Charles 001 dan kapal tongkang Robby 152.

Haji Ilegal Jalur Filipina

19 Agustus 2016: Pihak Imigrasi Filipina menahan 177 WNI yang akan menunaikan ibadah haji. Mereka ditangkap karena diduga menggunakan paspor palsu.

4 September 2016: Sebanyak 168 WNI calon jamaah haji dipulangkan melalui Bandar Udara Internasional Manila. Permasalahan terkait izin pembebasan imigrasi mereka sudah rampung.

6 September 2016: Sebanyak sembilan WNI calon jamaah haji dari 177 orang masih ditahan di Filipina. KBRI Filipina menyebut keterangan mereka masih diperlukan otoritas Filipina, untuk mengungkap sindikat kasus tersebut.

 

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement