Kamis 02 Jun 2016 17:00 WIB

Pemerintah Tambah Libur Nasional

Red:

BANDUNG -- Presiden Joko Widodo menetapkan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, sebagai hari libur nasional. Keputusan ini diungkapkan dalam pidato puncak peringatan hari lahir Pancasila di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/6). Ini menambah hari libur nasional.  

''Dengan mengucap syukur, bismillahirrahmanirrahim dengan keputusan Presiden, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari libur dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila," kata Presiden dalam pidatonya yang disambut tepuk tangan tamu undangan.

Keputusan penetapan 1 Juni sebagai hari libur nasional ditandatangani Presiden seusai menyampaikan pidato. Ia menyebut, penetapan ini telah melalui pertimbangan dan kajian mendalam. Ia beralasan, Pancasila merupakan landasan tertinggi bangsa yang harus dihormati.

Intinya, Pancasila itu sebagai ideologi negara. Ini adalah posisi tertinggi di dalam sebuah negara. ''Sehingga, kita putuskan 1 Juni ditetapkan, kemudian diliburkan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila,'' kata Presiden.

Dalam satu tahun ini, terdapat 19 hari libur nasional dan cuti bersama yang terdiri atas 15 hari libur nasional, tiga hari cuti bersama Idul Fitri, dan satu hari cuti bersama Natal. Ditambah 1 Juni sebagai hari libur nasional pada 2017, ada 20 hari libur nasional dan cuti bersama.

Ketua Umum  Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, akan ada dampak signifikan dalam penambahan satu hari libur nasional ini. "Kalau dikatakan mengurangi produktivitas, memang benar,'' katanya kepada Republika, kemarin.

Sebab, menurut Hariyadi, bakal ada pengurangan jam kerja setelah ada penambahan satu hari libur nasional. Belum lagi, tambah dia, masih ada cuti bersama atau hari terjepit nasional yang belum diperhitungkan.

Saat long weekend, Hariyadi memperkirakan, libur nasional dapat berdampak pada menurunnya pengunjung hotel, terutama di kota-kota besar sebanyak 15 persen. Di sisi industri umum, penambahan hari libur diperkirakan berimbas pada kinerja, hasil, dan pencapaian kerja.

Saat ini, dalam sepekan, rata-rata jam kerja nasional sebanyak 40 jam. Jika libur nasional ditambah, lalu ada long weekend dan sebagainya, kata Hariyadi, bisa dibayangkan bagaimana kerugian yang dialami oleh para pengusaha.  

Ia menambahkan, penetapan 1 Juni sebagai libur nasional, jelas dia, bisa memberikan peluang penetapan hari libur lain pada pemerintahan selanjutnya. Dia mencontohkan, penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional saat era Presiden Abdurrahman Wahid.

Contoh lainnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh dan ditetapkan sebagai libur nasional. Ia menilai, penetapan hari libur nasional pada 1 Juni bersifat tertutup dan tiba-tiba.

"Semestinya, ada kajian dulu yang mendalam, terkait relevansi dan urgensinya,'' kata Hariyadi. Karena itu, ia menyarankan kepada pemerintah, dalam penentuan hari libur nasional pada masa mendatang, mestinya didasarkan pada mekanisme yang pasti.

Sekjen Apindo Sanny Iskandar menilai, jumlah libur nasional yang ada saat ini tergolong cukup banyak. Dengan begitu, penambahan hari libur nasional pada 1 Juni disebutnya dapat memengaruhi produktivitas industri dalam negeri.

''Jumlah libur di negara kita ini sudah cukup banyak,'' kata Sanny. Ia meminta pemerintah memperhatikan daya saing industri dalam negeri, salah satunya dilihat melalui indikator produktivitas. Bertambahnya hari libur nasional, juga ia yakini berpengaruh pada biaya perusahaan.

Menurut dia, untuk memenuhi konsumen di luar negeri, pengusaha menetapkan target produksi. Dengan penambahan hari libur nasional, ada waktu yang harusnya untuk berproduksi, terbuang. Kalau perusahaan memaksa produksi, harus menambah biaya.

Biaya itu dikeluarkan karena harus ada lembur pekerja demi mencapai target produksi yang sudah ditetapkan. Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagyo, juga berpendapat bahwa produktivitas nasional terhambat dengan bertambahnya hari libur nasional.

"Kalau untuk diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, tidak perlu dengan libur. Hari libur nasional yang jumlahnya belasan itu sudah terlalu banyak," ujar Agus. Ini bertentangan dengan keinginan meningkatkan produktivitas kerja secara nasional.

Penambahan hari libur nasional, justru mengurangi jam kerja. Lebih jauh, Agus menjelaskan, kondisi hari libur nasional dan kinerja masyarakat Indonesia belum dapat disamakan dengan negara lain, khususnya negara maju.

Di beberapa negara Eropa, tutur dia, jam kerja yang singkat dan cukup banyaknya hari libur mengindikasikan kinerja umum masyarakat sudah baik. ''Di negara lain, masyarakat bekerja efektif dengan waktu yang singkat,'' katanya.

Sedangkan, di Indonesia, kata Agus, sudah terlalu banyak libur, sementara perbaikan produktivitas dan ekonomi belum signifikan. rep: Zuli Istiqomah, Dian Erika Nugraheny dessy suciati saputri ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement