Kamis 28 Apr 2016 15:00 WIB

Tunisia Islam dan Sekularisme

Red:

Jumatan di Tunis. Berbeda dengan di Indonesia, Jumatan di Tunisia diselenggarakan dalam "tiga ronde". Ronde pertama di sebuah masjid tertentu mulai pukul 13.00, ronde kedua di masjid lain pukul 14.00, dan ronde terakhir pukul 15.00 di masjid yang lain lagi --sudah menjelang waktu shalat Ashar.

Jamaah bisa memilih melaksanakan Jumatan pada waktu atau ronde yang mereka inginkan. Penulis "Resonansi" ini tidak tahu persis alasan mengapa ibadah Jumatan di Tunisia dilakukan dalam tiga kesempatan.

Saya juga tidak paham landasan fiqhiyah-nya, khususnya fikih Maliki yang dominan di Tunisia. Namun, ibadah Jumatan yang dilakukan dalam beberapa ronde mengingatkan pada pengalaman melakukan shalat Jumat di kampus tertentu di Amerika Serikat atau Eropa. Karena fasilitas ruangan terbatas yang tidak mampu menampung jamaah, shalat Jumat dilakukan dalam beberapa ronde.

Dalam pengamatan penulis "Resonansi" ini, jumlah masjid di Tunisia --baik di Kota Tunis maupun Sousse-- memang tidak cukup banyak. Berbeda dengan kota-kota Indonesia di mana banyak menampilkan lanskap masjid dan mushala --cakrawala perkotaan Tunisia tidak memperlihatkan rona masjid. Karena itu, jamaah Jumatan --di mana penulis "Resonansi" ini ikut beribadah-- meluber ke jalan-jalan karena memang tidak ada lagi masjid lain di lingkungan tersebut.

Lagi-lagi berbeda dengan masjid-masjid di Indonesia yang kebanyakannya terbuka sepanjang waktu. Masjid-masjid di Tunisia hanya dibuka beberapa saat sebelum shalat (lima waktu) dan digembok kembali begitu shalat usai.

Tidak ada tradisi shalat dan pengajian Dhuha atau Zhuhur, Ashar, dan Maghrib yang lazim berlaku di banyak masjid di Indonesia. Banyaknya kegiatan masjid dan jamaahnya membuat masjid-masjid di Tanah Air lebih banyak terbuka daripada dikunci.

Salah satu hal paling mencolok dalam ibadah Jumatan di Tunis adalah tidak adanya anak-anak dan remaja. Penulis "Resonansi" ini hanya melihat seorang anak laki-laki sekitar usia delapan tahun di antara jamaah. Akan tetapi, dia "mendampingi" seorang ibu mengemis; anak itu memegangi tangan sang ibu agar bisa menadah di atas kursi roda --tampaknya terkena stroke.

Kenyataan ini mengonfirmasi cerita beberapa kawan Indonesia yang sudah cukup lama tinggal di Tunisia. Mereka bercerita, bagi masyarakat Tunisia tidak lazim mengajak anak kecil ke masjid. Bahkan, anak-anak kecil dan remaja tidak perlu diajar shalat dan puasa.

Bagi orang tua di Tunisia, hal semacam itu merupakan "pemaksaan" terhadap anak-anak. "Biarkanlah pada waktunya nanti setelah dewasa mereka bakal shalat atau puasa," kata mereka.

Warga Tunisia yang menghadiri undangan acara tertentu yang diselenggarakan masyarakat Indonesia sering terheran-heran melihat anak-anak kecil Indonesia, misalnya, ikut berjamaah shalat Maghrib. Sekali lagi, bagi mereka tidak pada tempatnya mengikutkan anak-anak yang masih ingusan dalam ibadah.

Kenyataan itu hanyalah salah satu gambaran Islam Tunisia. Penduduk negara ini yang sekitar 11 juta jiwa memang 98 persen Muslim, tetapi gambaran kehidupan kaum Muslim Tunisia dalam hal-hal tertentu berbeda dengan kehidupan kaum Muslim Indonesia.

Segi lain yang cukup mencolok adalah relatif tidak lazimnya pemakaian jilbab di kalangan perempuan. Jika di Indonesia penggunaan jilbab kian meluas, sebaliknya di Tunisia kebanyakan kaum perempuan tidak berjilbab.

Jika di kampus-kampus perguruan tinggi umum, seperti IPB atau UGM, banyak mahasiswi menggunakan jilbab, di Tunisia, seperti di kampus Universite de Suissse, tak banyak mahasiswi berjilbab. Bahkan di Jami'ah Kairawan --yang disebut sebagai perguruan tinggi Islam tertua di dunia, lebih tua daripada Universitas al-Azhar Kairo-- banyak mahasiswa, pegawai, dan dosen yang tidak berjilbab.

Bagaimana menjelaskan gejala seperti ini? Gejala ini terkait banyak dengan watak penjajahan yang pernah dialami Tunisia yang --bersama Maroko dan Aljazair-- dijajah Prancis. Kolonial Prancis dalam penjajahannya melaksanakan apa yang mereka sebut sebagai mission civilatrice --misi membawa warga jajahan mereka ke dalam peradaban-- dalam hal ini, budaya dan peradaban Prancis.

Dalam konteks itu, penjajah Prancis tidak hanya mengharuskan anak negeri Tunisia berbahasa dan berbudaya Prancis, tetapi juga mengikuti prinsip laicite --sekularisme model Prancis. Laicite secara umum lebih keras dari sekularisme, pemisahan agama dan politik, seperti diterapkan Amerika Serikat.

Jika sekularisme AS mengizinkan pemakaian jilbab sebagai hal privat --dan karena itu diizinkan di lembaga publik/negara-- sebaliknya laicite melarang penggunaan simbolisme agama (seperti jilbab) di institusi publik.

Sebaliknya di Indonesia, penjajah Belanda membiarkan umat Islam hidup sendiri selama tidak mengganggu status quo kekuasaan kolonial. Karena itulah, umat Islam menjadi terbiasa dengan independensinya; membangun berbagai lembaganya semacam masjid, pesantren, madrasah dan sekolah Islam; dan sekaligus mengembangkan tradisi dan budayanya, seperti pemakaian jilbab.   Oleh Azyumardi Azra

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement