Jumat 05 Feb 2016 15:00 WIB

Umat Butuh Jalan Baru

Red:

Jika kita menyaksikan di dunia media sosial, citra Islam dan umat Islam di Indonesia tak begitu cerah. Nadanya negatif. Memang dunia media sosial tak mencerminkan realitas yang ada.

Hal ini karena banyaknya akun anonim, satu orang memiliki sejumlah akun, kehadiran para buzzer, dan kehadiran cyber army. Yang terakhir ini adalah sebuah tim yang dibayar hanya untuk menjalankan perintah. Tentu saja hanya para pemilik uang yang bisa memiliki pasukan perang virtual ini.

Di sisi lain, realitas di medsos lebih banyak didominasi komentar-komentar pendek. Tak perlu argumen dan logika, yang diperlukan hanya sikap yang kemudian didukung oleh netizen lain dengan beramai-ramai. Tentu ada juga yang memberi argumen dan logika yang solid, tapi sangat jarang yang menulis panjang. Cacian dan sumpah serapah justru cukup banyak.

Faktanya, kenyataan itulah yang kemudian membentuk opini publik. Sudah menjadi hukum sosial bahwa mayoritas orang hanyalah mengekor. Hanya sedikit orang yang mengikuti secara sadar.

Dalam teori sosial kita mengenalnya sebagai proses imitasi, repetisi, dan mimesis. Karena itu, dalam perang opini di media sosial, sang pengendali opini akan mengeblok orang-orang yang bersuara berbeda sambil membiarkan sedikit orang untuk dibantai beramai-ramai. Namanya juga perang, tak penting cara. Tujuan pokok adalah memenangi opini publik, yakni dengan merebut dan mendominasi ruang publik di dunia virtual.

Indonesia adalah salah satu negara pengguna Facebook dan Twitter terbesar di dunia. Kepemilikan ponsel juga demikian besar. Karena itu, Whatsapp, SMS, BBM, Line, dan seterusnya demikian marak di Indonesia.

Dengan usia rata-rata penduduk Indonesia sekitar 27 tahun, maka tren gaya hidup modern itu mudah dilahap mereka. Ada pepatah, kuasai generasi muda, maka kita akan menguasai suatu negeri. Anak muda adalah pemimpin di masa depan.

Di sisi lain, anak muda adalah penggerak perubahan. Dengan komposisi usia orang Indonesia yang seperti itu, menguasai anak muda berarti menguasai Indonesia. Tak perlu menunggu masa nanti, tapi saat ini juga.

Kedahsyatan pengaruh medsos dalam memenangi opini publik itu dimanfaatkan dengan baik oleh para pihak dalam kehidupan politik dan agenda publik. Hal ini sangat terasa saat Pilgub DKI Jakarta dan Pilpres 2014. Medsos sudah menggantikan posisi polling, yang pada Pilpres 2004 dan 2009 memegang peran sentral.

Realitas di dunia virtual ini sebetulnya hanya bagian atau hanya cermin dari realitas yang sesungguhnya. Hal itu juga menjadi penyempurna atas beragam ketertinggalan umat. Di bidang politik kian terdesak, di bidang ekonomi makin jauh tertinggal. Bahkan, di bidang bisnis ini, sudah mulai ada yang memprediksi pada masa depan makin tertinggal lagi. Hal itu bisa dilihat dari lapis pengusaha mudanya.

Karakter dan kepercayaan diri mulai goyah. Kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan, aksi terorisme, benturan Syiah-Suni, menguatnya paham-paham radikal, munculnya aksi-aksi sepihak oleh ormas Islam, tiadanya kesatuan umat, kosongnya kepemimpinan umat telah membombardir umat tiap hari.

Islam menjadi berwajah kasar dan keras, Islam menjadi tampak tak relevan dengan perkembangan zaman, Islam menjadi reaktif. Umat—yang awam maupun yang paham—menjadi kehilangan kepercayaan diri. Mereka menjadi hanyut dalam arus, keluar dari orbit Islam. Mereka ikut radikal atau bahkan menjadi ikut menyerang Islam dan umatnya.

Pada titik ini, umat butuh jalan baru dalam menanggapi tantangan zaman. Jalan politik yang selama ini menjadi prioritas utama dan seolah menjadi kunci inggris yang bisa menyelesaikan segala masalah sudah selayaknya tak lagi menjadi jalan utama. Politik itu selalu naik dan turun.

Langkah lain, yakni upaya membongkar-bongkar ajaran Islam juga terbukti hanya menimbulkan reaksi balik yang tak kalah destruktifnya dibandingkan kondisi sebelumnya. Yang dibutuhkan adalah langkah praktis yang berujung pada visi.

Kita teringat pada filosofi BJ Habibie dalam transfer teknologi: memulai dari akhir dan berakhir di awal. Tema-tema seperti modernisasi, reaktualisasi, rasionalisasi, pribumisasi, dan seterusnya terhadap ajaran Islam terbukti tak membawa kemajuan yang signifikan, tapi justru makin memunculkan problem-problem yang lebih serius.

Tak semua perubahan dimulai dari pikiran-pikiran besar. Sebagian lahir dari langkah-langkah praktis yang kecil, tapi kemudian meraksasa. Salah satunya adalah Toyoda. Ia menjadikan Jepang maju di bidang tekstil dan kemudian mobil. Dari kebutuhan praktis untuk membantu ibunya, ia kemudian membangun filosofi monozukuri. Kita pun menyaksikan raksasa otomotif Toyota.

Penguasa bisa datang dan pergi, demikian pula figur-figur cerdik-pandai. Namun, pendidikan, kebudayaan, dan bisnis akan lebih abadi. Pendidikan agama dan pengetahuan umum memang penting, tapi sudah saatnya menguasai bidang-bidang kejuruan yang akan menguatkan bisnis.

Dalam hal ini, umat harus menguasai bidang-bidang elektronika, teknologi informasi, kuliner, mode, bubut dan logam, perdagangan, dan budi daya. Keterampilan di bidang-bidang itu sangat relevan dengan tren bisnis ke depan, terutama bagi umat yang tak mempunyai modal. Jalan praktis yang ditekuni akan menjadi budaya.

Problem umat adalah kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertinggalan. Mereka bosan dengan politik dan pemugaran pemikiran keagamaan. Mereka butuh langkah konkret untuk keluar dari tiga lilitan itu sambil terus mengukuhi iman.

Oleh Nasihin Masha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement