Selasa 07 Jul 2015 14:00 WIB

Antara Pembantu dan Penentu (IV), (Catatan Jelang Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar)

Red:

Posisi kuat dan berpengaruh adalah posisi penentu, bukan posisi pembantu, sebagaimana yang telah diperankan Muhammadiyah selama lebih satu abad. Dari kata kerja makuna yang bermakna kuat dan berpengaruh, maka kata kerja bentuk kedua makkana menjadi makkannaahum (Kami telah beri mereka posisi yang kuat dan berpengaruh) bisa saja dalam bentuk kekuasaan negara yang memang punya hak memerintah dan melarang.

Dalam kaitan ini, apa yang telah dilakukan Muhammadiyah barulah sebatas dalam posisi moral-sosial, bukan posisi kekuasaan untuk mencegah kemungkaran. Di ranah kemungkaran ini, jangankan Muhammadiyah, negara Indonesia sendiri pun kadang-kadang seperti tidak berdaya, lantaran perkasanya kekuatan hitam itu.

Dalam posisi sebagai pembantu, apakah Muhammadiyah yakin akan berhasil mencapai tujuan yang dicantumkan dalam AD-nya? Pengalaman lebih satu abad memberikan jawaban negatif. Sebenarnya, kemerdekaan bangsa dan pengalaman panjang memberi peluang besar kepada Muhammadiyah untuk mengubah statusnya tidak hanya sekadar pembantu, tetapi juga sekaligus sebagai penentu.

Memang sudah ada berbagai upaya ke arah itu, tetapi belum pernah efektif karena memang Muhammadiyah sejak awal tidak dirancang untuk mengurus negara. Apakah situasi semacam ini mau diteruskan pada abad kedua sejarah keberadaan Muhammadiyah? Apakah wawasan kebangsaan Muhammadiyah tidak perlu lebih dipertajam berhadapan dengan zaman yang selalu berubah?

Pertanyaan ini memerlukan pemikiran mendalam untuk menjawabnya karena memang sangat tidak sederhana. Tetapi tuan dan puan jangan salah tangkap, pemikiran ini untuk jangka panjang, sama sekali terbebas dari sisi pragmatisme politik. Muhammadiyah pernah turut mendirikan partai politik, bahkan pernah menjadi orsospol (organisasi sosial politik), tetapi semua pengalaman itu berharga, dan bahkan juga pahit.

Oleh sebab itu, saya termasuk orang yang menentang keras jika ada pikiran agar Muhammadiyah mengubah dirinya menjadi parpol. Jika itu berlaku, bisa dibayangkan misi besarnya di ranah sosial kemanusiaan akan berantakan. Politik bisa menjadi racun yang mematikan di tangan mereka yang lemah iman dan lemah ekonomi.

Lalu bagaimana? Harus diingat bahwa posisi sebagai pembantu tetaplah pembantu, sebagaimana disinggung di atas, bukan penentu bagi perjalanan bangsa dan negara, khususnya bila berhadapan dengan masalah kemungkaran, Muhammadiyah tak berdaya. Tercakup dalam ranah kemungkaran ini adalah segala macam jenis korupsi, perusakan lingkungan, mafia migas, mafia imigrasi, pencurian ikan, mafia pajak, mengakali APBN/APBD/BUNM/BUMD, dan segala macam perbuatan busuk dan najis yang merusak sendi-sendi moral bangsa dan memiskinkan rakyat banyak. Sampai batas yang jauh, Muhammadiyah hanyalah sebagai penonton belaka bersama yang lain, tidak punya kekuatan apa pun untuk melawannya.

Sebuah gerakan Islam yang bertekad memerintahkan yang makruf dan mencegah segala yang mungkar dalam posisi sebagai pembantu adalah mustahil untuk dapat berbuat banyak bagi kepentingan bangsa dan negara.

Jika logika ini benar, perlu dikaji ulang secara tenang, tetapi kritikal, tentang hubungan Muhammadiyah dengan negara. Jika peran Muhammadiyah tetap sebatas yang telah dikerjakan sekian lama, yang akan berlaku adalah manakala bangsa dan negara ini tersungkur sebagai negara gagal, misalnya, Muhammadiyah pun pasti tersungkur.

Status sebagai pembantu tidak punya pilihan lain, kecuali mengikuti nasib buruk pihak yang dibantu. Sekiranya nasib malang itu benar-benar terjadi (semoga kita terhindar), maka semua jaringan amal usaha Muhammadiyah akan rontok satu per satu. Dan bayangan untuk sebuah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya akan tetaplah tinggal sebagai bayangan untuk kemudian tenggelam bersama Indonesia ditelan oleh kekejaman zaman karena ketidakpiawaian kita menyusun strategi bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara secara strategis melalui kajian yang mendalam.

Karena bukan sebagai parpol, Muhammadiyah terkesan gamang bila berurusan dengan politik, tetapi akan kecewa jika kader-kadernya tidak diperhitungkan orang dalam urusan kenegaraan. Situasi semacam ini tidaklah terlalu mengejutkan karena seperti telah dikatakan bahwa Muhammadiyah memang tidak dirancang untuk mengurus politik kenegaraan. Maka jangan heran bila kader-kader Muhammadiyah kurang percaya diri untuk masuk ke arena pertarungan dan persaingan yang tidak jarang menghalalkan semua cara di tengah-tengah kemungkaran yang semakin masif.

Menghadapi semuanya ini, perlu dicari terobosan baru yang penuh perhitungan untuk merumuskan hubungan Muhammadiyah dengan negara, demi mencapai posisi simbiotik (saling menguntungkan) antara keduanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement