Jumat 06 Mar 2015 14:38 WIB

Zul dan/versus Hatta

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Zulkifli Hasan dan Hatta Rajasa adalah dua sejoli selama lebih dari 10 tahun ini. Namun, tiba-tiba --betul ini tiba-tiba-- keduanya bersaing untuk memperebutkan jabatan ketua umum.

Kompetisi keduanya relatif di luar alur tradisi Partai Amanat Nasional. Ada demonstrasi berkali-kali ke KPK untuk menangkap Zul. Juga ada pengiriman peti mati berisi tikus dan gambar Zul. Kita tidak tahu dua hal itu kerjaan siapa. Namun, di ujungnya justru manis: Hatta memberi selamat pada Zul yang duduk di sisinya. Ia memberi selamat atas kemenangan Zul, lengkap dengan cipika-cipiki.

Kesejolian Zul dan Hatta terungkap ke permukaan sejak kongres PAN di Semarang. Saat itu ada tiga jago yang bersaing: Hatta, Fuad Bawazier, dan Soetrisno Bachir. Amien Rais, tokoh sentral di PAN, meminta Hatta mundur dari pencalonan. Hatta berkoalisi dengan Soetrisno mengalahkan Fuad. Sebagai kompensasinya, Hatta diberi jatah sekjen. Tentu saja bukan untuk Hatta, karena ia sebelumnya adalah sekjen.

Untuk itu, Hatta menunjuk Zul. Saat itu nama Zul belum beredar dalam kancah politik nasional. Zul juga diberi posisi sebagai ketua Fraksi PAN di DPR periode 2004-2009. Dua jabatan yang prestisius.

Untuk pendatang baru, Zul benar-benar langsung di garis orbit sentral. Rupanya Zul orang yang cepat belajar. Ia sukses mengemban dua jabatan itu. Pada Pilpres 2009, Hatta adalah ketua tim sukses pasangan SBY-Boediono. Karena itu, kendati saat itu ketua umumnya adalah Soetrisno Bachir, tapi yang menjadi menteri adalah orang-orang Hatta.

Zul menjadi menteri kehutanan, kementerian bergengsi. Pada kongres PAN di Batam, Hatta terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum. Zul menjadi kompatriot Hatta dalam kepemimpinan di PAN selama lima tahun berikutnya.

Zul yang makin matang dalam kancah politik benar-benar menjadi mitra yang andal bagi Hatta. Hampir di semua langkah politik Hatta selalu ada Zul di sisinya. Hal itu tampak jelas dalam Pilpres 2014, ketika Hatta menjadi cawapres yang mendampingi capres Prabowo Subianto.

Lobi-lobi politik Hatta selalu melibatkan Zul. Zul juga awalnya menjadi ketua tim sukses saat Pilpres 2014, tapi karena ada keharusan cuti dari jabatan menteri maka posisi itu beralih ke George Toisutta. Bisa dibilang tangan kanan Hatta adalah Zul.

Kesejolian itu juga tecermin dalam kehidupan pribadi mereka. Saat Zul menikahkan putrinya dengan putra Amien Rais, Hatta mewakili keluarga untuk memberikan sambutan. Begitu pula saat anak bungsu Hatta terkena musibah, Zul mendampingi Hatta dan berprakarsa untuk menemui keluarga korban.

Dalam kongres lalu, Amien Rais menjatuhkan Hatta dengan menyebut Hatta sebagai pembohong. Izin mau bertemu Koalisi Merah Putih, tapi ternyata malah bertemu Jokowi. Hatta pun menjawab bahwa kepergiannya itu didampingi Zul.

Saat Zul dicalonkan sebagai ketua MPR secara mendadak, Zul dan Hatta menghadapi kebimbangan. Lalu keduanya bersama-sama menemui Amien. Saat itulah Amien memompakan semangat. Lalu keduanya berangkat bersama-sama ke gedung MPR dengan penuh keyakinan. Zul menang mengalahkan Oesman Sapta Odang. Namun itulah politik, tiba-tiba keduanya bersaing dan berkompetisi memperebutkan posisi ketua umum.

Nama Zul sudah lama menjadi pembicaraan akan menjadi ketua umum PAN menggantikan Hatta. Bahkan, rasan-rasan itu sudah beredar sejak sebelum Pemilu 2014. Ada dua faktor. Pertama, Zul adalah kepercayaan Hatta. Kedua, Zul juga besan Amien.

Hatta dan Amien adalah dua orang kuat di PAN. Sehingga, tak mungkin ada yang bisa melawan Zul. Tak ada orang yang saat itu berpikir bahwa Hatta akan maju lagi sebagai ketua umum PAN. Orang-orang berpikir bahwa Hatta akan menjadi ketua MPP menggantikan Amien.

Sejak kelahirannya, kendati tak dilarang aturan partai, belum pernah ada orang yang menjadi ketua umum PAN untuk dua periode. Namun itulah politik. Siapa pula yang akan menyangka bahwa Dradjad Wibowo dan Taufik Kurniawan, yang selama ini diasosiakan sebagai 'orangnya' Amien Rais, justru menjadi skondan Hatta. Padahal, Amien berada di belakangan Zul. Politik selalu sulit ditebak, terlalu banyak dimensinya. Dalam politik, selalu terlalu banyak yang tersembunyi dibandingkan yang tampak.

Zul dan Hatta tentu memiliki argumentasi tersendiri. Demikian pula dengan Amien, Dradjad, ataupun Taufik memiliki visi tersendiri tentang pergulatan terakhir di Bali. Namun, naiknya Zul sebagai ketua umum PAN justru memperkuat warna PAN selama ini: tradisi ketua umum satu periode.

Kompetisi itu juga berakhir manis dan memperkuat tradisi demokrasi di PAN. Bagi Hatta, kemenangan Zul adalah kemenangan Hatta. Zul adalah kader yang awalnya junior partner, tapi kemudian menjadi kompatriot yang sepadan. Kompetisi kemarin, kemudian --dan bahkan justru-- mempertegas bahwa kadernya sudah layak naik kelas.

Sudah saatnya PAN menatap masa depannya. Tantangan bagi PAN bukan hanya menyangkut problem partai di Indonesia pada umumnya --perpecahan, kroniisme, patrimonial, elitisme, dan korupsi terstruktur, sistematis, dan masif-- tapi juga menyangkut ketersumbatan pada demokrasi formal dan prosedural.

Hal inilah yang membuat Indonesia jalan di tempat, kehilangan momentum, kehabisan sumber daya alam dan manusia, dan sulit tinggal landas. Produk domestik bruto (PDB) naik pesat, tapi kesenjangan menganga, kue ekonomi tersedot ke atas, dan kemiskinan yang terawat dan terawetkan. Belum ada produk andalan selain ekspor sumber daya alam dan TKW. Inilah yang kemudian melahirkan tragedi kemanusiaan tiada akhir: represi dan penindasan, pengangguran, gelandangan, gizi buruk, dan sebagainya.

Sebagai partai anak kandung reformasi dengan Amien Rais saat itu menjadi lokomotif reformasi, PAN harus menjadi lokomotif demokrasi substantif. Sebuah tugas baru yang menjadi panggilan sejarah. Demokrasi bukan sekadar hadirnya lembaga, aturan, sistem, prosedur, dan struktur. Itu hanya badan wadag.

Demokrasi juga mengharuskan hadirnya nilai dan moral serta visi. Inilah yang menjadi nyawa dan batin demokrasi. Kita tak ingin demokrasi tanpa nyawa. Itu namanya demokrasi zombie. Kita harus mencegah Indonesia menjadi negara demokrasi zombie. Karena, hal itu hanya seinci lagi menuju revolusi, yang akan membawa Indonesia kembali ke titik minus seperti pada 1965 dan 1998. Sudah ada indikator ekonomi yang sedang menuju ke sana.

PAN tak akan bisa membawa peran demokrasi substantif jika gagal melakukan konsolidasi stakeholder sebagai basis sosial, kegairahan, dan kewibawaan. Inilah tugas pertama Zulkifli Hasan.

Secara pribadi, Zul sudah memiliki modal yang kuat. Salah besar jika menilai kekuatan Zul karena faktor Amien. Kekuatan Zul justru terletak pada pribadinya yang hangat, arahnya yang mudah ditebak, mudah berteman, dan kepemimpinan yang tegas dan jelas. Itulah kunci suksesnya selama ini. 

Oleh Nasihin Masha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement