Selasa 25 Oct 2016 14:00 WIB

DPR Kritik Penanganan Kasus Karhutla

Red:

JAKARTA — Anggota Panja Kebakaran Hutan dan Lahan Komisi III DPR RI, Erma Suryani Ranik, mengkritisi Mabes Polri terkait keluarnya SP-3 kebakaran lahan dan hutan. Hal tersebut diungkapkannya dalam rapat dengar pendapat Panja Karhutla Komisi III DPR RI dengan Kabareskrim Mabes Polri, Ari Dono, di ruang rapat Komisi III DPR, Senin (24/10).

 

"Paparan Kabareskrim tentang kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2015 itu menurut saya tidak logis. Misalnya, tentang banyak kejadian kebakaran di lahan perusahaan, tetapi dilakukan oleh masyarakat umum. Ini kan tidak mungkin. Kita punya lahan kemudian membiarkan orang lain membakar di lahan kita. Ini hanya sebuah bentuk justifikasi atau pembenaran saja," ujar Erma.

 

Dalam kasus itu pun Erma melihat kelemahan dari penyidik baik di Mabes Polri maupun polda yang tidak mendatangkan saksi ahli yang kompeten di bidangnya dengan alasan biaya. Seperti beberapa waktu saat Komisi III menggelar RDP dengan kapolda diketahui bahwa untuk kasus besar kebakaran hutan ini pihaknya hanya mengundang sarjana kesehatan masyarakat sebagai saksi ahli.

Erma menyayangkan hal tersebut mengingat masih banyak saksi ahli kehutanan dan lingkungan lainnya yang bisa diambil keterangannya. Karena itu, Erma berharap agar Polri mengalokasikan anggaran untuk membiayai polda dan Kabareskrim dalam menghadirkan menghadirkan saksi ahli yang kompeten di bidangnya.

 

Tidak hanya itu, politikus dari Fraksi Partai Demokrat ini juga berharap agar Polri membuat suatu unit khusus untuk kasus kejahatan lingkungan serta kebakaran hutan dan lahan. Perlu keahlian khusus untuk melakukan penyidikan kasus kebakaran hutan dan lahan, seperti harus bisa membaca satelit, titik-titik GPS, dan sebagainya. Pasalnya, presiden juga sempat menegaskan tidak boleh lagi ada kebakaran hutan dan lahan.

 

Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komjen Ari Dono Sukmanto mengatakan, selama dua tahun terakhir terdapat 480 laporan mengenai kebakaran hutan dan lahan (kahutla) dengan perincian pada 2015 terdapat 228 laporan dan tahun ini sebanyak 192 laporan.

"Dari jumlah laporan tersebut, Polri telah menindaklanjuti dengan penanganan perkara sebagai berikut: pada 2015, penyelidikan sebanyak 32 laporan, tahap penyidikan 29 laporan, yang sudah dilimpahkan tahap 1 dan P-19 sebanyak 13 laporan, dan yang sudah P-21 tahap dua sebanyak 186 laporan," katanya.

Menurut dia, dari laporan tersebut, Polri telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP-3) sebanyak 28 kasus. Dia mengatakan, total tersangka keseluruhan 284 orang, terdiri dari 254 kasus perorangan dan 30 kasus koorporasi dengan luas areal yang terbakar 50,531-58 hektare.

Ari dono menerangkan, dalam penanganan perkara kahutla ada beberapa hambatan yang ditemui di lapangan, salah satunya kesulitan penyelidikan karena waktu yang terbatas. Penyelidikan dan penyidikan yang seharusnya mendatangi ke TKP secepat mungkin, tetapi baru bisa dilaksanakan setelah api benar-benar padam.

Hambatan lainnya, menurut dia, saksi tindak pidana karhutla sangat sulit dicari karena TKP jauh dari aktivitas masyarakat.

"Ahli laboratorium terkait dengan pidana kahutla sangat terbatas dan biayanya sangat besar dan kejadian kahutla kebersamaan. Sehingga, untuk memproses penyidikan, membutuhkan waktu yang sangat lama dalam penanganannya," katanya.

Dia menjelaskan, pembuktian karhutla sangat bergantung pada hasil uji laboratorium forensik dan keterangan ahli karhutla, ahli kerusakan lingkungan, dan ahli pidana korporasi serta ahli lainnya yang terkait dengan kahutla, seperti ahli perkebunan dan ahli kehutanan.

Ari mengatakan, faktor alam juga yang memicu kebakaran yang masif, seperti musim panas yang berkepanjangan atau El Nino atau areal yang terbakar merupakan lahan yang mudah terbakar.      antara, ed: Hafidz Muftisany 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement