Senin 10 Oct 2016 13:00 WIB

Menebak ke Mana Arah Berjalannya Negara

Red:

"Kita merasakan kita tidak jelas arah pembangunan ke depan seperti apa. Setiap pemilu berubah sistemnya, aturannya selalu diubah-ubah." Kegelisahan soal ke mana sejatinya arah pembangunan bangsa ini dirasakan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf.

Asep pantas gelisah. Ia menilai, setiap pemilu, arah pembangunan yang hendak dicapai selalu berubah. "Dalam dunia ekonomi dan hukum juga kita tidak tahu mengarah ke mana. Kita tidak punya tujuan ekonomi jangka panjang," kata Asep, Ahad (9/10

Pemerintah kini punya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Bagi Asep, RPJPN pun belum terlampau jelas. Asep mengatakan, RPJPN yang sekarang ini menjadi acuan rencana pembangunan bangsa terkesan hanya dijalankan oleh pemerintah selama menjabat dan melaksanakan tugasnya selama lima tahun.

Bahkan, menurut dia, pelaksanaan pembangunan pun juga tak sesuai dengan RPJPN yang telah ditetapkan. Sehingga, kata Asep, RPJPN hanya merupakan rencana pemerintah dan bukan sebagai haluan negara. Karena itu, diperlukan acuan pembangunan jangka panjang seperti GBHN.

Menurut dia, GBHN akan memberikan arah pembangunan yang lebih jelas kepada pemerintah dibandingkan RPJPN. "RPJPN itu sektoral. Arahnya pembangunan nggak jelas. Terkesan RPJPN itu hanya untuk presiden menjalankan pemerintahan lima tahun, yang kadang-kadang menyimpang. Kalau ada Tap MPR, kita akan mengacu betul pada Tap MPR yang disepakati," kata dia.

Ia menyampaikan, jika wacana dihidupkannya kembali GBHN memang akan dilakukan, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu substansi dari GBHN tersebut. "Harus ada perubahan konstitusi, yang menempatkan MPR sebagai apa dan tugasnya apa tanpa meninggalkan sistem pilpres langsung," ujar Asep.

Pandangan serupa juga diungkapkan Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD. Mahfud mengatakan, Indonesia masih memerlukan adanya haluan negara karena akhir-akhir ini banyak yang menilai bahwa jalannya pemerintahan Indonesia salah arah dan sudah tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

"Kita masih butuh haluan negara, tapi haluan negara saat ini belum tentu bernama GBHN seperti pada zaman Orde Baru," kata Mahfud, Sabtu (8/10).

Menurut Mahfud, pada zaman pemerintahan Presiden Sukarno, peta jalan haluan negara Indonesia bukan bernama GBHN, melainkan bernama manifesto politik (manipol) yang dituangkan di dalam Ketetapan MPRS No II/ MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969 (GBPPNSB).

"Jadi, meskipun dasarnya sama-sama Pasal 3 UUD 1945, pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru memberi nama dan masa keberlakuan yang berbeda atas haluan negara tersebut," katanya.

 

Anggota Komisi III DPR RI Dossy Iskandar menyampaikan pentingnya haluan negara bagi pembangunan bangsa. Kendati demikian, pemberlakuan kembali GBHN dinilainya perlu kajian yang mendalam.

"Sekarang apakah GBHN sudah pararel dengan presiden yang akan mengemban tugas pemerintahan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu? Kalau GBHN ditetapkan, itu harus melalui kajian," ujar Dossy.

Ia melanjutkan, presiden sekarang dipilih langsung oleh rakyat. Presiden pasti punya ide gagasan selama kepemimpinannya nanti. Jangan sampai, saat ada GBHN lagi, presiden punya gagasan sendiri sebagai janji kampanyenya.

Karena itu, Dossy menekankan pentingnya menjembatani atau mencari titik temu antara GBHN sebagai haluan negara dan RPJPN yang akan dilaksanakan oleh presiden. Ia mengatakan, haluan negara sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan pembangunan bangsa. Kendati demikian, kedudukan MPR saat ini juga bukan lagi sebagai lembaga tertinggi.

"Sekarang MPR itu juga bukan lembaga tertinggi, sama dengan presiden dan DPR. Kalau menghidupkan kembali (GBHN), itu konotasinya adalah menempatkan kembali yang lama," jelas dia.      Oleh Dessy Suciati Saputri/antara, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement