Senin 20 Jun 2016 14:00 WIB

Penghapusan Perda Bertentangan dengan Otoda

Red:

JAKARTA — Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Komite I, AM Iqbal Parewangi, menilai, penghapusan sejumlah perda merupakan pengkhianatan terhadap otonomi daerah. "Patut disesalkan adanya kegemaran di antara anggota kabinet Jokowi-JK untuk menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat," kata Iqbal Parewangi, Ahad (19/6).

Namun, yang sangat disesalkan, ujar senator asal Sulawesi Selatan tersebut, efeknya membuat masyarakat jadi gaduh. Contohnya terkait penghapusan 3.143 perda yang diumumkan langsung oleh Presiden.

Bukan hanya gaduh di medsos, di dunia nyata pun muncul kegaduhan. Masyarakat di  Kabupaten Serang, misalnya, 10 ribu orang lebih yang menandatangani petisi menolak penghapusan perda terkait pengaturan waktu buka warung makan pada bulan Ramadhan.

Kegaduhan paling tampak di tengah umat Islam, ujar dia, dengan merebaknya informasi bahwa dalam penghapusan secara gelondongan tersebut sesungguhnya perda-perda bersyariat Islam dijadikan target strategis untuk dihapuskan. Dia mengatakan, sebenarnya tidak semudah itu juga menghapus perda.

Pertama, ini era otonomi daerah dengan semangat desentralisasi. Penghapusan perda secara gelondongan oleh pemerintah pusat itu dapat diartikan sebagai upaya resentralisasi secara besar-besaran dan itu bisa dinilai pengkhianatan terhadap semangat reformasi.

Kedua, pencabutan perda punya mekanisme, yaitu melalui judicial review atau political review. Dan yang mengevaluasi itu DPRD. "Menariknya lagi, setelah telanjur merebakkan kegaduhan, Mendagri baru lakukan klarifikasi bahwa tidak ada perda syariat Islam yang dihapus. Mungkin harapannya disambut alhamdulillah, tapi yang muncul malah kegaduhan baru," katanya.

Masyarakat, ujar dia, balik saling tuding. Satu pihak menyebut, "Makanya jangan mudah menuduh", sedangkan pihak lain menyebut "Pemerintah ketakutan karena kuatnya tekanan SMS dari masyarakat. Sebagian lagi, lanjut Iqbal, merasa sinis, sedangkan sebagian lainnya merasa lega sementara dan isu kegaduhan melebar ke sana-kemari.

 

Sementara itu, Komisi II DPR  belum berencana untuk memanggil Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terkait pembatalan sejumlah perda. Wakil Ketua Komisi II DPR, Wahidin Halim, mengatakan, sampai saat ini di internal Komisi II belum merencanakan untuk memanggil Mendagri terkait pembatalan itu.

"Belum (akan panggil), kita nanti akan melihat sejumlah perda apa yang menjadi perhatian Mendagri, mana sebetulnya yang dibatalkan," ujar Wahidin kepada Republika, Sabtu (18/6).

Politikus Partai Demokrat ini menambahkan, sampai saat ini Komisi II belum mengetahui perda apa saja yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Padahal, Mendagri membatalkan sekitar 3.000-an perda yang dinilai intoleran, menghambat investasi, dan birokrasi. Wahidin meminta Mendagri terbuka dan transparan terhadap perda apa saja yang sudah dibatalkan.

Menurut mantan wali kota Tangerang ini, masyarakat berhak mengetahui perda apa saja yang sudah dibatalkan. Jangan sampai, alasan perda intoleran disamaratakan dan dibatalkan. Padahal, Mendagri seharusnya tetap mempertimbangkan karakter masing-masing daerah terkait pemberlakuan perda tersebut.

"Ya sekarang kan tidak dibuka perda apa saja yag dibatalkan," kata dia menegaskan.  rep: Agus Raharjo/antara, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement