Ahad 24 Apr 2016 13:27 WIB

Pembahasan Revisi UU Pilkada Dikritik

Red: operator

Ini penting untuk terus diingatkan agar kita tidak kembali ke era militerisme.

 

JAKARTA -- Pembahasan revisi UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 yang telah berjalan selama sepekan belakangan mendapat kritik. Lantaran, perdebatan revisi undang-undang itu hanya mengerucut kepada nominal syarat persentase suara yang mesti dipenuhi dalam proses pencalonan kepala daerah. Padahal, persoalan di dalam regulasi UU Pilkada tidak hanya persoalan pencalonan kepala daerah. 

"Proses pembahasan juga cenderung dilakukan dengan tertutup. Dengan begitu, sulit bagi publik untuk mendapatkan informasi terhadap pro - ses pembahasan yang sedang dilakukan," kata Direktur Eksekutif Per kumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Sabtu (23/4). 

Padahal, tambah Titi, proses pembahasan terbuka tentu sangat dibutuhkan agar publik dapat berpartisipasi terhadap perbaikan regulasi pilkada yang lebih baik. 

Menurutnya, satu isu yang krusial, yaitu mengenai ambang batas pencalonan yang dianggap perlu untuk diturunkan. Tujuannya untuk menciptakan keadilan antarpartai politik dan calon perseorangan. Jika ini dilakukan, akan tercipta kemudahan dalam mencalonkan kepala daerah, baik bagi partai politik maupun calon perseorangan.

Selain itu, ia juga menekankan mengenai keharusan anggota TNI dan Polri untuk mematuhi undang-undang dan aturan pilkada jika ingin mencalonkan diri. Tujuannya, untuk menghindari penggunaan fasilitas, kebijakan, dan garis komando untuk dimanfaatkan dalam proses kandidasi serta menciptakan ruang yang sama dalam berkampanye.

"Memang, katanya anggota panja sudah sepakat bahwa anggota TNI dan Polri harus mundur. Tapi, ini penting untuk terus diingatkan agar kita tidak kembali ke era militerisme. Sehingga, merusak hasil reformasi yang telah mengembalikan TNI-Polri ke barak," kata Titi.

Menurutnya, penting agar seluruh pejabat publik, mulai dari kepala daerah, DPR, DPRD, DPD, TNI, Polri, PNS, BUMN, dan BUMD, harus mundur ketika ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah. 

Selain terkait masalah pejabat publik, ia menyebut, setidaknya ada beberapa hal krusial lain yang mesti dibahas dalam revisi UU Pilkada.

Yakni, status hukum pasangan calon kepala daerah, sanksi administrasi terhadap calon serta partai yang terbukti memberi dan atau menerima imbalan mahar politik saat proses pen calonan, larangan dan sanksi bagi pelaku politik uang, desain penegakan hukum pilkada harus beriringan de ngan tahapan dan terdapat kepastian waktu putusan, anggaran pilkada, dan terakhir larangan mengikuti penca lonan pilkada bagi partai politik yang sedang bersengketa, setidaknya hing ga mempunyai keputusan hukum tetap.

Sementara, anggota Komisi II DPR, Arteria Dahlan, justru meminta agar batas dukungan bagi calon independen dalam pilkada sebaiknya dinaikkan dengan besaran diambil dari usulan persentase tertinggi. "Keinginan dari kawan-kawan fraksi memang ada. Ada yang 8,5 persen dari DPT, ada pula yang mengusulkan langsung 10 persen dari DPT. Sebaiknya memang diambil dari opsi persentase ter tinggi," ujar Arteria kepada Republika, Sabtu (23/4).

Selain dua opsi di atas, katanya, ada satu opsi lain, yakni 11,5-15 persen dari DPT. Opsi terakhir ini diperkirakan dapat menjadi alternatif pilihan batas dukungan bagi calon independen dalam pilkada.

Fraksi-fraksi, katanya, memang berpandangan untuk menaikkan batas dukungan ke - pada persentase yang lebih tinggi dari 6,5-10 persen DPT. Meski pendapat dari berbagai fraksi telah terhimpun, PDI Perjuangan disebut belum merujuk kepada salah satu pilihan sikap tertentu. 

Ia pun membantah jika usulan itu ditujukan untuk mempersulit calon independen. Alih-alih untuk mengatur pencalonan independen karena DPR dikatakan khawatir jika aturan ambang batas dukungan bagi calon perseorangan, yang sudah ada justru menjadi celah untuk disalahgunakan.

"Sebab, berdasarkan keputusan MK sudah ada penurunan syarat dari dukungan jumlah penduduk menjadi daftar pemilih tetap (DPT).

Jika hal itu dikalkulasikan maka calon independen hanya perlu tambahan dukungan sekitar 40 persen lagi agar lolos sebagai peserta pilkada," tutur anggota Fraksi PDI Perjuangan tersebut.

Apalagi di sisi lain, tambahnya, ada wacana menurunkan persentase dukungan untuk calon pemimpin daerah dari parpol. Saat ini, syarat dukungan untuk calon dari parpol adalah 20 kursi dengan 25 suara sah. Rencananya, persentase akan diturunkan menjadi 15 kursi dengan 20 suara sah.  c36 , ed: Mansyur Faqih

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement