Sabtu 10 Oct 2015 14:27 WIB

Dana Tiga Panwaslu Daerah Tersendat

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan, dana operasional tiga panitia pengawas pemilu (panwaslu) masih tersendat. Hal ini memicu munculnya celah penggunaan uang tidak independen oleh pihak anggota panwaslu.

"Ada tiga wilayah, Kabupaten Sragen, Bali, dan Bengkulu yang memang belum turun semuanya. Tetapi memang pada daerah tersebut turun secara termin," ujar anggota Bawaslu, Endang Wihdatining tyas, kepada Republika, Jumat (9/10).

Endang mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait tersendatnya dana operasional Panwaslu di tiga daerah. Ia mengatakan, memang belum semua dana tersebut turun secara langsung, ada beberapa daerah yang memiliki anggaran besar dicairkan secara bertahap.

Namun, Endang mengklaim, dana yang belum turun tersebut sebenarnya belum begitu mendesak. Alasannya, tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) baru memasuki tahap kampanye. Semua mekanisme penggunaan dana hibah dari negara tersebut sudah memiliki panduan yang bisa diikuti oleh para anggota Panwaslu di daerah. Karena itu, Endang meminta panwaslu di daerah mengikuti mekanisme yang telah diatur oleh pusat agar pemanfaatan dana bisa terserap secara baik.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menyesalkan masih adanya anggaran Panwalu di daerah yang belum sepenuhnya cair. Hal ini kata Masykurudin tentu akan memengaruhi kinerja pengawasan pilkada di daerah. "Memang dana bukan satu-satunya faktor tetapi dana yang minim berpengaruh langsung terhadap kerja-kerja pengawasan," ujar Masykurudin kepada Republika, Jumat (9/10).

Menurut Masykurudin, semestinya anggaran untuk pengawasan tidak boleh dibedakan dengan anggaran untuk penyelenggaraan pilkada. Penyebabnya, Panwaslu tidak terpisahkan dengan suksesnya penyelenggaraan pilkada. Kepala daerah juga tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap anggaran pengawasan, apalagi sampai menahan anggaran itu.

"Terutama kalau ada petahana atau calonnya penguasa, menganggap pengawasan ini sebagai `masalah', sehingga dipersulit ruang geraknya termasuk melalui penganggaran," ungkapnya.

Masykurudin juga menyoroti koordinasi antara Bawaslu dan jajaran pengawas tingkat bawahnya. Hal ini sebagai cara untuk membangun kontrol pengawasan pilkada antara pusat dan daerah yang belum terbangun. "Pembentukan pengawas yang ad hoc ini mempunyai kelemahan, yaitu hanya periode tertentu menjadi pengawas terutama di kabupaten," ujar Masykurudin.

Padahal, menurut dia, Panwaslu memiliki posisi strategis dalam penyelenggaraan pilkada, termasuk di antaranya memiliki kewenangan yang cukup kuat dan keputusan yang mengikat di pilkada. "Inilah potensi bisa digunakannya kesempatan untuk bermain politik dengan pasangan calon," ujarnya.

Bawaslu sebagai pengawas di tingkat pusat, kata Masykurudin, belum dapat memastikan panwaslu di daerah dapat melaksanakan tugasnya tanpa disusupi kepentingan lain. "Masalahnya lebih karena kontrol terhadap pengawas di daerah yang belum terbangun. Bawaslu semestinya bisa membuat ketentuan punishmentbagi jajarannya di bawah yang nakal, yang jelas-jelas menggunakan kewenang - annya untuk keuntungan pribadi atau kelompok," ungkapnya. rep: Fauziah Mursid c15 , ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement