Jumat 09 Oct 2015 15:00 WIB

Masalah Dana Ancam Integritas

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Masalah Dana Ancam Integritas

Sejumlah anggota Panwaslu di daerah harus mengeluarkan uang pribadi untuk operasional.

MAKASSAR — Berbagai persoalan, seperti dana pilkada, hingga saat ini masih menjadi masalah. Hal ini pun dirasakan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Ketua Panwaslu Barru Abdun Mannan mengatakan, dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 51 Tahun 2015, Panwaslu Barru telah mengajukan dana pilkada sebesar Rp 3,8 miliar. Dana ini pun dibenarkan Pemkab Baruu. Namun, sejak April hingga Oktober, Panwaslu Barru baru menerima dana Rp 700 juta. Dana ini dicairkan Pemkab Baruu pada bulan Juli.

Permintaan Panwaslu agar Pemkab Baruu segera mengucurkan dana tambahan untuk digunakan operasianal Panwaslu nyatanya belum juga turun. Pemkab Barru berdalih bahwa dana ini baru akan diturunkan pertengahan Oktober.

"Saya dan panitia lain jadi harus mengeluarkan dana pribadi untuk operasional. Bahkan, terakhir saya telah meminjam Rp 100 juta sebagai persiapanan kegiatan Panwaslu," kata Abdun Mannan di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel, Kamis (8/10).

Mannan menjelaskan, dengan waktu pilkada yang semakin dekat dan berbagai kegiatan Panwaslu, pemerintah daerah seharusnya bisa mengucurkan dana minimal 60 persen dari total dana yang dipersiapkan. Pasalnya, jika dana tersebut tidak juga didapat, pekerjaan Panwaslu seperti sosialisasi hingga ke tingkat desa akan sulit dilakukan tanpa dana operasional.

Mannan menjelaskan, Panwaslu Baruu sejauh ini mempunyai 423 pekerja yang akan mengawasi tempat pemungutan suara (TPS), 55 petugas pengawas lapangan (PPL) di desa, dan 21 pengawas di tiga kecamatan. Akibat dana yang terhambat, staf Panwaslu mulai dari kabupaten hingga ke tingkat desa sulit berkoordinasi. Bahkan, pelatihan dan sosialisasi bisa menjadi terhambat.

Senada, Ketua Panwaslu Bulukumba Andi Muhammad Amin mengatakan, dana yang terhambat dari pemerintah daerah sudah pasti membuat kinerja Panwaslu tidak maksimal. Tidak adanya dana menjadikan pekerjaan di Panwaslu berantakan karena segala jadwal yang disusun akhirnya terbentur kekosongan dana.

"Kalau dibilang kerja kami menjadi menurun memang sudah pasti. Tapi, integritas kami akan tetap dijaga. Karena, kami telah berkomitmen sejak awal untuk memajukan Bulukumba melalui pilkada ini," ujar Amin.

Dia menjelaskan, sejauh ini Panwaslu Bulukumba sering buka lubang tutup lubang untuk menutupi operasional dan penggajian. Hal ini karena dana dari pemerintah daerah kerap terlambat. Sejak April hingga Oktober, Panwaslu Bulukumba pernah menggandaikan emas untuk mencari dana demi menutupi kebutuhan pilkada. Bahkan, pihaknya sempat meminjam dana ke rentenir agar operasional Panwaslu tidak terhenti di tengah jalan.

"Kami pernah pinjam Rp 20 juta. Mau gimana lagi. Masalah bunga akhirnya kami sendiri yang tanggung karena dana dari pemerintah daerah tidak mungkin untuk membayar bunga peminjaman uang kan," ungkap Amin.

Ketua Panwaslu Sulsel Laode Arumahi menjelaskan, permasalahan dana memang menjadi hal klasik dalam setiap penyelenggaraan pilkada. Persoalan ini kadang membuat pilkada di suatu daerah kurang tertata secara baik. Laode menerangkan, untuk pekerja Panwaslu di setiap TPS Kab Gowa misalnya, dalam pilkada kali ini mereka hanya "dihadiahi" uang sebesar Rp 100 ribu dalam satu bulan bekerja. Nominal ini sangat jauh dengan tenaga dan pikiran yang harus dikeluarkan demi mengawal pilkada terintegritas.

Laode berharap pemberian dana kepada setiap pekerja di Panwaslu di setiap daerah bisa lebih memenuhi standar. Hal ini juga dilakukan agar panitia Panwaslu tidak mencari kesempatan demi mencari uang dari calon pasangan tertentu.

"Ini memang menjadi tantangan besar bagi kita. Walaupun dengan upah sedikit, kita harus bekerja semaksimal mungkin," kata Lode. ed: muhammad hafil 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement