Jumat 31 Oct 2014 13:00 WIB

Era Energi Murah Segera Berakhir

Red:

Duet Joko Widodo-Jusuf Kalla yang baru memerintah kurang dari dua pekan akhirnya mengambil keputusan untuk menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebelum 1 Januari 2015. Kepastian mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro seusai menghadiri rapat di Kantor Wakil Presiden pada Rabu (29/10). 

Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu dari segelintir negara di dunia yang masih memberikan subsidi bahan bakar bagi penduduknya. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir,  setiap tahun pemerintah harus merogoh kocek hingga ratusan triliun rupiah untuk anggaran subsidi BBM.

Persoalan subsidi BBM ini juga menarik perhatian para lembaga donor internasional. Sebut saja di antaranya World Bank dan International Monetary Fund (IMF). Kedua lembaga ini dengan  "nyinyirnya" selalu mengingatkan Pemerintah Indonesia dan seluruh stakeholders di Tanah Air soal pentingnya mencabut subsidi BBM. Peringatan tersebut tentunya disertai dengan berbagai alasan yang mereka utarakan.

Saya pribadi setuju dengan alasan yang disampaikan kedua lembaga tersebut. Saya sependapat bahwa subsidi BBM yang selama ini diberikan pemerintah banyak yang tidak tepat sasaran.  Saya juga sangat setuju jika dana subsidi tersebut dialihkan ke sektor lainnya, seperti untuk membangun infrastruktur dasar dan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.

Namun, apakah dengan cara menaikkan harga BBM bersubsidi dengan dalih selama ini subsidi tidak tepat sasaran dan defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) makin  membengkak pemerintah sudah memperhitungkan dampaknya terhadap daya beli kelompok termiskin dan kelompok menengah yang jumlahnya masing-masing mencapai 40 persen itu?

Mungkin bagi mereka yang pegawai kantoran dengan posisi jabatan tertentu ataupun pegawai negeri sipil (PNS) yang hampir setiap tahun gajinya selalu mengalami kenaikan, tentunya kenaikan harga BBM sebesar Rp 1.000 hingga Rp 3.000 per liter tidak terlalu dirasakan dampaknya untuk jangka panjang. Terlebih lagi, bagi kelompok kaya yang jumlahnya mencapai 20 persen, kenaikan tersebut mungkin hanya akan dianggap angin lalu.

 

Tapi, bagaimana dengan para pekerja serabutan, pekerja outsourcing, buruh, petani penggarap, tukang bangunan, pegawai kantoran dengan posisi rendah yang di antara mereka memiliki penghasilan tidak menentu atau penghasilan yang 'pas-pasan'? Mereka ini umumnya yang akan paling terpukul manakala harga BBM subsidi naik dan diikuti dengan naiknya harga-harga barang dan kebutuhan pokok. Karena, kemampuan daya beli mereka terbilang rendah akibat kenaikan harga-harga tersebut tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan. 

Sementara, dana kompensasi yang disiapkan pemerintah untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM sebesar Rp 5 triliun dirasa tidak akan mencukupi untuk 'mengobati' kekecewaan yang dirasakan oleh 28,28 juta penduduk miskin Indonesia menurut versi data Badan Pusat Statistik (BPS). Karena, mereka harus terus menjalani kehidupan bagaimanapun kondisinya. Life must go on.

Tentunya, kenaikan harga BBM subsidi tidak akan dirasakan berat oleh mereka yang termasuk dalam kelompok termiskin dan kelompok menengah jika kenaikan tersebut diikuti dengan  kenaikan pendapatan mereka, harga barang, dan kebutuhan pokok yang terkendali. Dalam hal ini, perlu adanya iktikad baik dari pelaku usaha dan peran serta pemerintah sebagai regulator. Dengan begitu, transisi dari era energi murah ke era energi komersial dapat berjalan dengan mulus dan tanpa ada hambatan gejolak sosial. n

Oleh Nidia Zuraya

Twitter: @needeea

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement