Selasa 30 Sep 2014 12:00 WIB

Pengesahan Qanun Dievaluasi

Red:

JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun Jinayat yang bakal memidanakan tindakan-tindakan yang dinilai melanggar syariat Islam, Sabtu (27/9). Sejumlah pihak menyatakan penolakan atas pemberlakuan qanun tersebut.

Di Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan, Qanun Jinayat bertolak belakang dengan sistem pemidanaan di Indonesia. "Terutama karena rezim hukum pemidanaan kita telah menolak secara tegas penghukuman terhadap tubuh (corporal punishment)," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, di Jakarta, Senin (29/9).

DPR mengesahkan Qanun Jinayat pada Sabtu (27/09) dini hari. Perda syariat Islam tersebut akan berlaku tidak hanya bagi orang Islam, tetapi juga warga Aceh yang non-Muslim. Perda yang mengatur hukum pidana Islam atau Qanun Jinayat ini disetujui secara aklamasi dalam sidang paripurna DPRA yang dihadiri oleh 22 dari 69 anggota parlemen Aceh.

Qanun tersebut di antaranya berisi sanksi bagi mereka yang melakukan jarimah (perbuatan yang dilarang syariat Islam dan dikenai hukuman hudud atau takzir) seperti konsumsi minuman keras, maisir (judi), dan khalwat (berdua-duaan di tempat tertutup yang bukan mahram).

Selain itu, juga terhadap perbuatan ikhtilath (bermesraan di ruang terbuka atau tertutup), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat membuktikan), liwath (hubungan seksual sesama lelaki), dan musahaqah (hubungan seksual sesama perempuan).

Mereka yang melanggar qanun diancam dengan hukuman yang beragam. Ancaman hukuman cambuk yang dikenakan merentang dari 10 hingga 200 kali cambuk. Ada juga hukuman denda mulai 200 hingga 2.000 gram emas murni atau 20 bulan sampai 200 bulan penjara. Hukuman paling ringan untuk pelaku mesum, sedangkan ancaman hukuman terberat ialah terhadap pemerkosa anak. ICJR mendesak agar pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Kemendagri), segera merevisi eksistensi aturan mengenai pemberlakuan Qanun Jinayat di Aceh.

Dalam sidang pengesahan Qanun Jinayah, seluruh fraksi menyatakan setuju. Terkecuali PKS dan PPP yang meminta ada pemberatan hukuman bagi penegak hukum yang melanggar. "Pejabat publik dan penegak hukum merupakan teladan dalam pelaksanaan syariat Islam. Karena itu, jika melanggar, maka hukumannya lebih berat dari masyarakat biasa," ungkap anggota DPRA dari Fraksi PKS, Tgk Mahyaruddin Yusuf, Sabtu (27/9).

Sementara, Aminuddin, juru bicara Fraksi Partai Golkar di DPRA, mengharapkan Qanun Jinayat harus diimplementasikan secara maksimal sehingga pelaksanaan syariat Islam bisa berjalan secara kafah atau sempurna. "Qanun dibuat untuk kepentingan rakyat dengan tujuan menyejahterakan rakyat. Karena itu, kami berharap Qanun Jinayat ini diimplementasikan dengan sungguh-sungguh," kata Aminuddin.

DPRA periode 2004-2009 pernah mengesahkan Qanun Jinayat, tetapi ditolak diundangkan oleh gubernur Aceh yang saat itu menjabat Irwandi Yusuf. Alasannya saat itu, hukuman rajam dalam Qanun Jinayat tersebut menjadi polemik hingga dunia internasional. Qanun Jinayat ini kembali dibahas di DPRA sejak tiga tahun terakhir.

Sebelumnya, Kemendagri menyatakan akan mengevaluasi qanun tersebut bila dinilai bertentagan dengan perundag-undangan yang berlaku secara nasional. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan Qanun Jinayat bisa saja dibatalkan Kemendagri.

"Kalau sudah dievaluasi wajib direvisi, kalau enggak mau (direvisi) bisa kami batalkan. Kalau bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi dan mengganggu kepentingan, masyarakat bisa saja dibatalkan oleh kami," kata Djohermansyah. n antara/ira sasmita rep: ira sasmita ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement