Rabu 10 Sep 2014 14:00 WIB

‘Perang Badar’ Berlanjut di Pilkada

Red:

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada ditengarai merupakan bagian dari pertarungan pemilihan presiden (pilpres) yang belum terselesaikan. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak memihak Koalisi Merah Putih membuat partai pendukung Prabowo Subianto itu menggunakan cara lain untuk menghambat pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

"Ini semacam ‘Perang Badar’ yang masih berlangsung dari pilpres, sebagian yang dulunya setuju pemilu langsung sekarang malah ada yang tidak setuju," ujar pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego, saat dihubungi Republika, Selasa (9/9).

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/ Tahta Aidilla

Peneliti LSI Rully Akbar(kiri), dan Adjie Alfarabi (kanan) berbicara dalam paparan "Pillkada Oleh DPRD Dinilai Publika Sebagai Penghianatan Partai" di Jakarta,Selasa (9/9)

Ia menjelaskan, RUU Pilkada tidak sesuai dengan semangat untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia. Selain itu, hak rakyat akan dibajak oleh elite politik. Jika RUU ini disahkan, katanya, maka akan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. "Rakyat nggak perlu milih, gak ngerti politik. Berikan kepada kami yang lebih paham dan ahli, itu kira-kira pesan yang ingin disampaikan oleh elite politik melalui RUU Pilkada  ini," katanya.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshidiqie mengatakan, polemik terkait RUU Pilkada harus diselesaikan dengan mengambil keputusan sambil mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara, tidak hanya mempertimbangkan kepentingan kelompok tertentu. "Baik pemilihan langsung atau tidak langsung sama-sama konstitusional. Tinggal dipilih dengan pertimbangan kepentingan bangsan dan negara, kepentingan yang lebih luas," ujar Jimly.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu menilai, sikap pemangku kepentingan yang terjadi saat ini memperlihatkan perubahan terlalu ekstrem. Sehingga, mengundang reaksi kontraproduktif. "Misalnya, dari nol diubah menjadi 100, lalu diubah balik lagi jadi nol. Jangan begitu, dari tidak langsung diubah jadi langsung, lalu diubah lagi," katanya memaparkan.

Menurut Jimly, pemilihan gubernur dan bupati merupakan pemilihan dua kepala daerah dengan wewenang dan tanggung jawab yang berbeda. Kabupaten membawahi banyak kawasan pedesaan. Tentu saja syarat berdemokrasi di desa berbeda dengan di wilayah ibu kota provinsi.

Selain itu, untuk mendidik masyarakat desa berdemokrasi, menurutnya, telah dibentuk UU Desa. Jimly menilai sistem pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dengan tingkat kabupaten/kota tidak harus sama. "Tidak perlu sama persis, jangan pukul rata. Dalam perbedaan tersebut dipilih mana yang harus langsung, mana yang tidak," ujarnya.

Jika masalah politik uang dijadikan pertimbangan perubahan, Jimly justru berpendapat politik uang bukan masalah utama. Menurutnya, politik uang yang terjadi jika pilkada digelar langsung atau tidak langsung akan sama saja. "Sama saja, selama nafsu orang berburu kekuasaan itu kan berkolaborasi dengan nafsu untuk berburu kekayaan. Sistem langsung atau tidak langsung sama saja," katanya.

rep:ira sasmita/c83 ed: muhammad fakhruddin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement