Selasa 12 Aug 2014 14:00 WIB

Waspadai Penumpang Gelap di Kabinet

Red:

JAKARTA --- Upaya deparpolisasi di kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla mulai ramai dibicarakan. Wacana ini dinilai justru akan melemahkan pemerintahan Jokowi ke depan. Alasannya, meski Indonesia menganut sistem presidensial, pada praktiknya pemerintahan negara ini menjalankan sistem semiparlementer.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarok, mengatakan, wacana deparpolisasi kabinet sangat berbahaya di alam demokrasi yang menjadi tempat parpol tumbuh dengan baik. "Demokrasi akan diberangus oleh orang-orang yang mengatasnamakan profesionalisme," kata Zaki, di Jakarta, Senin (11/8).

Dia melanjutkan, saat ini banyak ketua dan pengurus parpol yang bagus dan profesional. Mereka juga mengetahui medan politik di parlemen. Di antara mereka adalah mantan anggota DPR atau anggota DPR yang tentu lebih mengerti suasana kebatinan di parlemen. "Mereka-mereka ini kan lebih mengerti medan di parlemen daripada orang-orang nonparpol. Bisa sangat membantu pemerintah manakala program-programnya diganjal di parlemen," ujar Zaki.

Zaki menduga, wacana menggusur pengurus parpol di kabinet sengaja digelindingkan oleh orang-orang nonparpol yang mengitari Jokowi. Tujuannya tak lain agar mereka bisa menduduki kabinet dan badan strategis badan pemerintah yang lain. "Jokowi akan terus-menerus diprovokasi, padahal mereka tidak punya kapasitas politik apa pun," kata Zaki.

Menurut Zaki, patut dicurigai ada gerakan sistematis, masif, dan terstruktur yang dilakukan oleh orang-orang nonparpol untuk merebut jabatan di kabinet. "Mereka ini adalah para penumpang gelap atau penumpang angkot yang ingin naik saat Jokowi sudah meraih kemenangan," kata dia.

Jokowi, lanjut Zaki, patut mewaspadai para penumpang gelap tersebut yang berpotensi menjadi beban tersendiri bagi presiden terpilih ketika ada kebuntuan politik di parlemen. Zaki pun mengingatkan, parlemen akan menentukan jabatan-jabatan strategis, termasuk jabatan yudikatif dan eksekutif. Misalnya, pemilihan hakim agung, BPK, KY, KPU, Bawaslu, LPSK, Komnas HAM, KPI, dan lain-lain.

"KArena itu, Jokowi-JK harus mewaspadai orang-orang nonparpol yang syahwat politiknya tinggi dengan sengaja melakukan agenda deparpolisasi kabinet."

Zaki menambahkan, secara konstitusional, parpol sah untuk memegang kekuasaan politik. "Tidak ada pengharaman orang-orang parpol merebut jabatan politik, termasuk di kabinet," ujarnya.

Masuknya ketua dan pengurus partai ke dalam kabinet, lanjut dia, justru akan menopang dukungan parlemen terhadap pemerintah. Alasannya, ketua dan pengurus partai punya arah instruksi yang jelas kepada fraksi anggota kadernya di parlemen. "Ketua dan pengurus partai akan memperkuat stabilitas pemerintahan, sekaligus melancarkan program pemerintah di parlemen, termasuk melancarkan penyusunan APBN dan memasukkan program unggulan pemerintah di masing-masing komisi," ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Fathan Subchi mengatakan, wacana pengurus parpol tidak boleh menjabat di kabinet merupakan wacana yang tidak relevan dengan cita-cita mengawal stabilitas pemerintahan. "Karena stabilitas pemerintahan ditentukan oleh solid dan tidak dukungan di parlemen," ujar Fathan.

Menurut dia, program-program unggulan pemerintah, termasuk juga usulan APBN dan RAPBN, sangat mudah diganjal di parlemen. Akibatnya, pemerintahan tidak bisa berjalan dengan mulus. "Ini kan ibaratnya yang 'punya' parlemen adalah parpol, remote-nya ada ketum parpol dan fraksi di parlemen," katanya. antara ed: muhammad fakhruddin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement