Rabu 07 Dec 2016 18:00 WIB

Polemik Dokter Layanan Primer

Red:

UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR mengatur soal program dokter layanan primer (DLP). Pendidikan DLP pun akan dimasukkan dalam program studi pendidikan kedokteran. Tujuannya agar dokter memiliki kemampuan dalam pelayanan primer kesehatan.

Namun, hingga saat ini eksekusi pendidikan dan program DLP tersebut belum dijalankan. Alasannya karena banyak dokter yang notabenenya juga anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tak menyetujui program tersebut. Bahkan, mereka pernah menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK), meskipun akhirnya MK menolak gugatan mereka.

Berbagai macam argumen diutarakan oleh para penentang program ini. Kelompok Indonesia Bersatu (DIB) DI Yogyakarta dan Jawa Tengah menilai program spesialis DLP tidak jelas. Bahkan, DIB menilai implementasi DLP mengandung banyak kejanggalan. Mereka menduga, program ini akan merugikan dokter dan masyarakat.

 

"Kami menilai ada yang salah dengan program DLP pemerintah saat ini karena berdasarkan analisis kami banyak kejanggalan terjadi," kata aktivis DIB, dr Dede Candra Permanda, dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, beberapa waktu lalu.

Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DIY itu memerinci sejumlah kejanggalan. Pertama, ia beranggapan program ini mewajibkan dokter yang hendak bekerja di layanan primer kembali sekolah lagi untuk mendapatkan gelar Sp DLP. Padahal, menurutnya, materi dan kurikulum sama seperti kurikulum yang diterima dokter umum pada jenjang strata 1 (S-1).

Selain itu, ia melanjutkan, para pengajar mata kuliah DLP merupakan dokter umum. Bahkan, menurutnya, calon dosen pengajarnya hanya dipersiapkan selama enam bulan untuk mendidik dr Sp DLP.

"Jadi, tidak ada kebaruan dalam program DLP itu. Intinya, dalam program DLP itu, dokter umum dianggap tidak bisa apa-apa tanpa program itu. Padahal, sebenarnya masalah utama dari pelayanan kedokteran di layanan primer saat ini adalah karena tidak tersedianya sarana prasarana kesehatan yang memadai," ujar Dede.

Kedua, ia menilai, durasi pendidikan DLP lebih singkat dibandingkan pendidikan dokter spesialis. Tetapi, DLP akan menjadi dokter spesialis di bidang layanan primer.

Dede menyebut, posisi dokter spesialis layanan primer tidak ada dalam kamus kedokteran. Tetapi, Indonesia menggunakannya dalam memberikan pelayanan dokter umum.

Berdasarkan informasi yang Dede diterima, penggagas program DLP mengklaim sudah melakukan studi banding ke beberapa negara. Tetapi, penggagas program belum pernah menyampaikan alasan pasti dan logis urgensi program tersebut. Ia menduga, program ini seperti dipaksakan pemerintah. Alasannya, pemerintah tidak mau mendengar saran dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi yang menaungi profesi dokter.

 

Sementara itu, pengurus IDI wilayah Jawa Tengah (Jateng) dr HR Danang Sananto Sasongko menyarankan, sebaiknya pemerintah fokus memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat, bukan menjadikan masyarakat sebagai objek dari program DLP. Ia beranggapan, program DLP justru membuat pemerintah tidak memperhatikan rakyat. Alasannya, pemerintah dinilai lebih memperhatikan pendidikan DLP yang kontraproduktif dengan kompetensi dokter umum.

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mempertanyakan komentar Menteri Kesehatan (menkes) Nila F Moeloek ihwal permasalahan dokter layanan primer (DLP). Menkes meminta IDI menaati aturan tentang DLP.

Sekjen IDI Mohammad Adib Khumaidi membantah anggapan yang menyebut IDI enggan menjalankan aturan. Ia mengatakan, aturan tentang DLP belum ada turunannya, yakni peraturan pemerintah atau peraturan menteri.

"Pertanyaannya dikembangkan, turunan UU itu sudah ada belum? RPP belum ditandatangani," kata Adib saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Adib menjelaskan, dalam UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok), DLP merupakan profesi baru. Dokter ini harus mempunyai kompetensi kedokteran keluarga, komunitas, dan kesehatan masyarakat.

Selama ini, ia menjelaskan, sudah ada dua profesi yang bekerja di layanan primer, yakni dokter keluarga dan dokter umum.

"Kalau memang dokter keluarga, mengapa tak disebutkan saja dokter keluarga? Mengapa harus menggunakan dokter layanan primer?" ujarnya.

Adib menyebut, apabila dokter layanan primer setaraf spesialisasi, akan ada kasta. Hal inilah yang memicu munculnya konflik horizontal. Adib mengatakan, dalam Pasal 8 Ayat 2 UU Kedokteran disebutkan bahwa kontak pertama pasien dengan program JKN sebelum dilakukan rujukan ke RS, yakni dengan dokter layanan primer. Apabila diterapkan, dokter umum yang selama ini melayani BPJS akan berpotensi mengalami kriminalisasi.

Selain itu, ia melanjutkan, DLP juga membuat kebutuhan dokter semakin lama dipenuhi. Sebab, umumnya sekolah kedokteran butuh waktu enam tahun, ditambah satu tahun internship. Setelah lulus, dia harus mengikuti DLP selama tiga tahun.

"Dia akan lebih lama lagi, 10 tahun baru bisa berpraktik. Maksud saya, sekarang kebutuhan dokter di daerah, mau tak mau dokter harus segera mengabdi," kata Adib.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemkes) Bambang Wibowo mengatakan, pada 1978 WHO telah mencanangkan health for all atau kesehatan untuk semua. "Layanan yang bersifat for all penting, khususnya layanan primer dasar," kata dia.

Selama ini, menurutnya, pendidikan dokter banyak yang menyasar layanan sekunder dan tersier untuk kalangan menengah ke atas. Ia menyebut, konsep DLP yang menyasar layanan tingkat primer sangat bagus.

Menurut Bambang, kendati Indonesia telah banyak berkembang terkait pelayanan kesehatan, masih banyak penyakit yang menyasar masyarakat tingkat primer. Ia mencontohkan, 25 tahun lalu hingga sekarang, permasalahan infeksi di Indonesia belum tuntas, bahkan meningkat.

Bambang menjabarkan, berdasarkan data Kemenkes, ada perubahan mencolok dalam 15-20 tahun terakhir. Di antaranya penyakit, seperti jantung, stoke, diabetes, hipertensi masuk lima besar dalam penderita terbanyak di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian, ia mengatakan, mereka yang menderita penyakit tersebut justru banyak yang berasal dari kalangan ekonomi kurang mampu.

"Perlu penataan lebih baik di sektor layanan primer," jelasnya.

Bambang menjelaskan, program DLP ingin memberikan keberpihakan pada tingkat layanan primer. Sehingga, tidak ada kesenjangan terlalu besar antara layanan primer, sekunder, dan tersier.

Kepala Devisi Kedokteran Keluarga Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Universitas Indonesia (UI) dr Dhanasari Vidiawati Sanyoto menjelaskan, selama ini dokter spesialis hanya dapat ditemui di tingkat layanan sekunder dan tersier. DLP merupakan dokter setara spesialis yang menguasai berbagai pendekatan untuk melayani tingkat primer.

"Kalau untuk layanan primer, belum ada spesialis. DLP ini spesialis tapi generalis, jadi spesialis di berbagai bidang," jelasnya.

Sekertaris Pokja DLP itu menjelaskan alasan penyebutan dokter layanan primer. Indonesia terbagi dalam tiga demografi, yakni perkotaan, pedesaan, dan DTPK (daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan). Dokter tersebut harus siap mengaplikasikan ilmunya di daerah pedesaan dan DTPK.

Namun, Dhanasari menjelaskan, kebutuhan dokter bukan lagi tentang mengobati. Seorang dokter harus berpikir komprehensif mencegah. Bukan hanya tentang mencegah terjadinya penyakit, mencegah terjangkitnya virus dan kuman, atau mencegah agar penyakit tidak tertular pada individu lain.

Menurutnya, kriteria tersebut yang harus dikuasai dokter di rumah sakit atau layanan sekunder dan tersier. Tetapi, dokter yang bekerja di klinik harus melihat pasien sebagai individu bukan hanya penyakitnya, melihat pasien sebagai bagian dari keluarga dan komunitas.

"Itu butuhkan pelatihan keterampilan hands on. DLP butuhkan pelatihan pendekatan pasien pada keluaganya. Sekarang banyak dokter di layanan primer sudah menambah keterampilan itu. Tapi, karena belum ada studinya, jadi belum dihargai," ujar dia. Oleh Umi Nur Fadilah  ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement