Rabu 26 Oct 2016 16:00 WIB

Saat Masyarakat Mencibir Penegak Hukum

Red:

Negara melalui pemerintah dan aparat penegak hukum tengah gencar memberantas pungutan liar (pungli) dan suap. Yakni, pungli oleh Polri dan suap oleh KPK. Adapun yang jadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir, kedua lembaga penegak hukum itu melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan nilai yang relatif kecil.

Polri misalnya, melakukan OTT pada 11 Oktober lalu terhadap PNS Kementerian Perhubungan dengan nilai total Rp 17 juta. Bahkan, kejadian itu menjadi besar karena sampai menyita perhatian presiden dan kapolri. Di mana, dua tokoh penting Indonesia itu sampai mengunjungi langsung lokasi OTT. Sedangkan, KPK dalam beberapa OTT terakhir menangkap pejabat yang menerima suap di bawah Rp 100 juta. Masyarakat menilai itu tak sebanding dengan biaya besar untuk operasional KPK.

Misalnya, Nicky, warga Bukittinggi, Sumatra Barat. Dia menilai, pemberantasan pungli hanya permainan anggota polisi level bintara, sementara pejabat menengah dan pejabat tinggi tentu kelas permainannya akan jauh berbeda lagi.

"Saya apresiasi langkah Polri untuk OTT dan memberantas pungli di level bawah. Tapi, kalau bisa dan kalau memang mau reformasi internal Polri, bukan hanya di level bawah melainkan di seluruh level institusi Polri itu juga," ujarnya saat dihubungi Republika, Sabtu (23/10). Bahkan, dalam sudut pandang gadis 24 tahun ini, bila tidak diberantas secara tuntas, itu menandakan bahwa penegakan hukum di Indonesia memang sudah lemah.

Sehingga, kata dia, untuk membuat masyarakat percaya, sapu bersih pungi harus benar-benar tuntas dan tidak setengah-setengah dalam menyatakan perang melawan pungli.

"Menurutku kalau akarnya nggak diberantas, sampai kapan pun ya nggak akan ada habisnya, yang receh-receh pun akan selalu muncul yang baru karena seolah itu sudah lumrah," jelasnya. 

Warga lainnya, Muhammad Hilmi,  mengatakan, presiden tetangga menggunakan death squad untuk memberantas narkoba, tapi juga turun tangan mengatasi pungli.  "Memang pungli sudah mengakar, tapi masa ya sampai presiden," kata Hilmi.

 

Dari dunia maya, komentar bernada negatif juga mendapat tanggapan dari netizen. Seperti yang disebutkan oleh akun Twitter @Faqih Fatih. "Peringatan keras untuk koruptor kelas teri. Beraninya sama 10 ribuan, BLBI dan Century berani nggak, Mr Presiden?" Sedangkan, @Perry Aspan menyebut, "Sepuluh ribu dikejar, korupsi ratusan miliar jangan dibiar, Om."

Tidak hanya Polri dan Presiden yang mendapat cibiran karena melakukan OTT pungli yang nilainya dianggap rendah. KPK pun ikut menjadi cibiran. Ini karena dalam beberapa waktu terakhir KPK melakukan OTT yang nilainya kecil. Seperti yang terjadi saat KPK menangkap mantan ketua DPD Irman Gusman yang menerima uang suap senilai Rp 100 juta atau menangkap oknum pejabat Pemkab Kebumen yang menerima suap Rp 70 juta.

"Tingkat kelas teri yang diurus sama KPK? Itu kan kerjaannya polisi setingkat kelurahan. Anggaran besar hasil cuma segitu? Hehehe, perlu di-review-lah lembaga KPK itu," kata @Masna.

Atau akun @Haris Azhar yang menyebut, "Pungli penting diberantas, tapi sejauh mana bisa diungkap modus setoran hasil pungli ke atasan. Khawatir hanya program citra muka korbankan bawahan."

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, menilai, sikap tidak positif yang ditunjukkan sejumlah masyarakat tersebut diakibatkan oleh ketidakkonsistenan pemerintah dan lembaga penegak hukum itu sendiri.

Pada dasarnya, masyarakat semula mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dicanangkan sejumlah pihak. Dalam konteks pemberantasan korupsi, pemerintah melalui KPK telah berhasil menyadarkan publik secara logis dan menyentuh sisi emosional publik bahwa praktik korupsi harus dihilangkan.

Namun, dalam perjalanannya, langkah yang dilakukan pemerintah ataupun KPK justru tidak mencerminkan tujuan awal. "Tantangannya justru pada kredibilitas pemerintah dan KPK tadi. Ketika masyarakat menilai ada upaya tebang pilih dan inkonsistensi, maka yang kemudian terganggu ialah sisi kredibilitas (kepercayaan) publik terhadap pemerintah," kata Devie saat dihubungi Republika, Sabtu (22/10).

Menurutnya, sejumlah kasus yang ditangani KPK justru mempersepsikan pilih kasih dalam penanganan kasus korupsi. Hal itu tampak dari tuntutan sejumlah masyarakat kepada KPK untuk menuntaskan kasus besar yang belum selesai.

Namun, hal itu tidak kemudian ditindaklanjuti KPK, bahkan di sisi lain, penindakan kasus yang terus dilakukan KPK menyasar ke korupsi bernilai kecil. Begitu pun, pemerintah dalam upaya pemberantasan pungli yang ternyata menyasar pada pungli di jajaran pejabat rendahan.

"Saat KPK dipersepsikan 'pilih kasih', pemerintah di sisi lain mempertontonkan juga di masa lalu ketidakadilan hukuman kepada masyarakat kecil. Hal ini tentu saja membuat persepsi publik menjadi tidak positif," katanya.

Dosen tetap Vokasi Komunikasi UI itu menyebut pentingnya persepsi dalam hal politik dukungan publik kepada pemerintah. Persepsi yang dimaksud antara upaya dan tindakan harus selaras sehingga publik menilai ada konsistensi dari pemerintah dan penegak hukum.

"Bila setiap hari masyarakat mendengar dan melihat melalui media berbagai kesenjangan wacana dan tindakan, maka gambaran tersebutlah yang akan dipercayai publik dan mengganggu reputasi pemerintah," katanya.

Karena itu, untuk membangun reputasi, perlu upaya yang panjang dan mahal pemerintah dengan seluruh aparatur dari berbagai instansi, tidak hanya KPK, untuk harmoni dalam kata, gerak, dan langkah. "Sehingga, persepsi yang hadir akan selalu positif," kata dia.    rep: Fauziah Mursid, Mabruroh, ed: Muhammad Hafil

***

infografis

Kasus Pungli di Kepolisian Juli-Oktober 2016

1.Jumlah: 235 kasus

2. Kasus terbesar: Pelanggaran lalu lintas (160 kasus)

3. Perincian:

- Pembuatan SIM, tilang, BPKB, STNK (160 kasus)

- Reserse kriminal (26 kasus)

- Badan pemeliharaan keamanan (39 kasus)

-Intelijen (10 kasus)

Dua OTT Terakhir KPK

1. OTT Ketua DPD Irman Gusman (17 September 2016)

Nilai suap: Rp 100 juta

2. OTT PNS dan DPRD Kabupaten Kebumen (16 Oktober 2016)

Nilai Suap: Rp 70 juta

Sumber: Polri/ Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement