Rabu 19 Oct 2016 20:29 WIB

HATI-HATI BICARA SARA SAAT PILKADA

Red: Arifin
Massa yang tergabung dalam Lintas Pemuda Etnis Nusantara membawa poster saat aksi kampanye di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (9/10).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Massa yang tergabung dalam Lintas Pemuda Etnis Nusantara membawa poster saat aksi kampanye di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (9/10).

Polri harus bersikap independen dalam mengusut laporan SARA saat pilkada.

 

Isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) berhembus kencang menjelang pelaksanaan Pilkada 2017. Salah satu pemicunya adalah ucapan kontroversial Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sekaligus bakal calon gubernur dalam pil kada mendatang. Di hadapan warga Kabupaten Kepulauan Seribu, Ahok menyebut surah al-Maidah ayat 51 yang terdapat di dalam kitab suci Alquran menjadi "alat" penipu bagi masyarakat untuk tidak memilihnya kembali.

Ucapannya ini kemudian sempat memicu kecaman publik. Kecaman itu tidak hanya datang dari umat Muslim, tetapi juga kalangan non-Muslim. Salah satunya rohaniwan Katolik Rama Benny Susetyo. Pria yang juga menjabat sebagai sekretaris Dewan Nasional Stara Institute itu mengatakan, Ahok dan bakal pasangan lainnya perlu belajar sejarah politik di Indonesia. Contohnya saat Pemilu 1955.

Waktu itu partai agama tidak menggunakan isu agama sebagai bahan kampanye.

"Masakita nggakbisa belajar dari itu. Di situ ada Masyumi, ada partai Katolik, Kristen.

Mereka bicara ide tidak menggunakan agama,"

kata Benny kepada Republika, belum lama ini.

Meskipun warna partai politik dengan ideologi agama beragam pada saat itu, setiap partai politik mampu tidak melibatkan persoalan SARA. Hal tersebut karena mereka menggunakan nalar sehat dan argumentasi, yaitu ideologi yang ditawarkan untuk menjawab persoalan bangsa.

Situasi seperti itu, menurut Benny, menunjukkan kematangan politik yang luar biasa. Politik dijadikan sebagai aktivitas untuk membela kepentingan rakyat, bukan bisnis ataupun kelompok tertentu.

Karena itu, Benny berharap para tim kampanye pada Pilkada DKI Jakarta tidak menggunakan SARA. "Sebab, isu SARA itu menghina nalar sehat dan kemanusiaan kita," ujarnya.

Sekjen PAN Eddy Soeparno mengimbau para peserta pilkada untuk tidak lagi menggunakan SARA dalam upaya memenangkan pertarungan. Politik SARA perlu dijauhi lantaran dapat menyebabkan pasangan calon tidak lagi fokus kepada warga.

"Para pemilih sudah lelah dengan segala sesuatu berbau SARA ataupun politik yang mengedepankan etika buruk," kata Eddy.

Para kandidat hendaknya mengedepankan gagasan dan konsep untuk membenahi daerahnya masing-masing dari segala problem akut yang membebaninya selama bertahun- tahun. Menurut dia, SARA hanya menghabiskan energi dan jauh dari fokus utama.

Setiap pasangan calon dan tim pemenangan sudah seyogianya memberikan contoh pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.

Politik SARA, kata Eddy, akan berpengaruh pada hasil pemilihan kepala daerah (pilkada), bukan hanya sekadar dari sisi pemilihan. "Kalau SARA disampaikan, akan semakin apatis warga untuk memilih. 

Kokribut terus, buang waktu, ntarkapan mereka (warga) diurus," ujarnya. Politik SARA harus sebisa mungkin dicegah agar pemilih bisa menentukan pilihannya.

Akibat pernyataannya yang telah menimbulkan polemik karena menyangkut SARA itu, Ahok memang telah meminta maaf dan menyesal. Bahkan, tim suksesnya juga telah memperingati agar Ahok mengurangi isu SARA dalam keikutsertaannya sebagai bakal calon peserta pilkada.

Juru bicara timses Ahok, Miryam S Haryani, telah meminta Ahok agar berhati-hati bila menyinggung masalah SARA. "Supaya hati-hati bicara suku, agama, ras, dan antargolongan. Kalau jawabannya salah, bisa salah lagi. Harus kita pikirkan dan jadi perhatian serius. Dari segi masyarakat membuat khawatir,"

ujar politikus Partai Hanura ini.

Menurut dia, SARA, khususnya agama, diibaratkannya seperti angin, Bisa dirasa, tapi tidak bisa dipegang. Miryam mengatakan, mulai sekarang Ahok tidak akan banyak bicara atau menyinggung SARA. "Bicara yang lain saja. Kritisi program, visi, dan misi. Di luar itu kami sarankan tidak banyak bicara," kata dia.

Miryam menyebut, semua parpol atau elemen masyarakat saat ini tertuju pada Pilgub DKI Jakarta. Pasalnya, kata dia, Pilgub DKI kali ini cukup menarik perhatian karena ada Ahok, yakni figur yang membuat orang terpengaruh karena baik dari rekam jejak hingga cara bicara berbeda dari figur yang ada. 

Hukum Tetap Ditegakkan Meskipun Ahok sudah meminta maaf dan menyampaikan penyesalannya, pernyataan Ahok yang sudah ditetapkan MUI sebagai kasus penistaan agama itu sudah telanjur sampai ke ranah hukum. Sejumlah elemen masyarakat telah melaporkan Ahok ke kepolisian. 

Guru Besar Ilmu Kepolisian UI Bambang Widodo Umar menilai, kasus pernyataan Ahok tersebut memang berpotensi menimbulkan efek sosial yang meluas di Jakarta. Apalagi jika tidak ditangani secara profesional oleh polisi.

Bambang meminta polisi serius menangani kasus tersebut. Polri harus bersikap independen. "Jangan sampai diintervensi oleh kekuatan politik tertentu," kata Bambang.

Menanggapi hal itu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Agus An drianto mengatakan, polisi tidak boleh terlibat dalam urusan politik, apalagi menjelang Pilkada 2017. Alhasil, kata dia, apabila ada kasus yang bernuansa politik, harus dihadapi dengan sangat teliti.

Karena itu, Andrianto meminta masyarakat juga harus ikut mengawal penyelidikan laporan ini. Tujuannya untuk mengawasi keobjektifan Polri dalam menangani kasus tersebut.    rep: Qommarria Rostianti, Rahmat Fajar, ed: Muhammad Hafil

 

 

Selesaikan Lewat Jalur Hukum

JAKARTA -- Isu SARA masih menjadi hal yang kerap digunakan dalam pilkada. Padahal ,UU No 10 Tahun 2016 Pasal 69 telah melarangnya.

Koordinator JPPR Masykurudin Hafidz mengatakan, jika peserta pilkada dan pendukungnya melanggar Pasal 69 dalam UU Pemilu, mereka dapat dipenjara paling singkat tiga bulan dan paling lama 18 bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600 ribu dan paling banyak Rp 6 juta. "Kata kunci dari praktik penggunaan SARA adalah pada kata `penghinaan'," kata Masykurudin, awal pekan ini.

Menurut Masykurudin, penghinaan adalah perbuatan baik lisan maupun tulisan yang ditujukan untuk menistakan atau melakukan pencemaran nama baik terhadap calon kepala daerah. 

Dalam konteks pilkada, kata Masykurudin, perbuatan yang dilakukan untuk menistakan calon kepala daerah dengan menggunakan latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan. 

"Artinya, bagaimana suku, agama, ras, dan antargolongan digunakan untuk menistakan calon atau pasangan calon dalam proses penyelenggaraan pilkada," ujarnya.

Lanjut Masykurudin, batasan penistaan atau bukan dalam konteks pilkada adalah pengaruhnya terhadap keterpilihan calon. Artinya, terdapat kerugian atas keterpilihan yang dialami pasangan calon atas adanya praktik penistaan tersebut. 

"Apabila tindakan penistaan tersebut dinilai oleh calon telah merugikan nama baik dan memengaruhi keterpilihan, maka dapat melaporkannya kepada pihak yang menangani," katanya.

Masykurudin berpendapat, proses penegakan hukum pidana pilkada menjadi jalur paling baik untuk memberikan sanksi sekaligus tindakan pencegahan terhadap praktik penghinaan dengan menggunakan isu SARA. Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh calon sekaligus untuk langsung melaporkan ke lembaga pengawas daripada menanggapinya kembali sehingga menjadi perdebatan publik yang sering kali kontraproduktif. 

Menurutnya, semakin cepat proses penegakan hukum terkait SARA menjadi wujud komitmen semua pihak dan akan terjadi saling kontrol antarpasangan calon.

Penghormatan terhadap proses dan keputusan pengadilan atas pelanggaran pidana tersebut dapat meminimalisasi isu-isu SARA yang berkembang di masyarakat. Dalam pilkada jauh lebih utama adalah tidak menggunakan isu SARA sebagai alat kampanye, tetapi lebih menge depankan adu gagasan dan konsep perbaikan dan kemajuan daerah.

Mengisi hari-hari kampanye dengan penyampaikan program akan jauh lebih menarik bagi masyarakat daripada menggunakan isu primordial.    c62, ed: Muhammad Hafil

 

 

 

LARANGAN PENGHINAAN AGAMA DI DEPAN UMUM

 

1. PASAL 69 UU PILKADA 

Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota, calon wakil wali kota, dan/atau partai politik.

 

2. UU NO 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN PENODAAN AGAMA 

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.

 

3. PASAL 156A KUHP 

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan.

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

b. Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement