Rabu 12 Oct 2016 18:00 WIB

Dimas Kanjeng dan Penyakit Sosial

Red:

Pakar antropologi Universitas Indonesia (UI) Achmad Fedyani Saifuddin menilai, kasus Dimas Kanjeng menunjukkan masih banyak masyarakat Indonesia yang percaya pada kepercayaan tertentu. Dosen pengajar di program S-1 Departemen Antropologi UI itu menilai, terdapat sejumlah gejala yang membuat masyarakat menduakan kepercayaannya.

Pertama, manusia tidak hanya menghadapi realitas di lingkungannya yang bersifat konkret atau sesuatu yang dapat ditanggapinya secara rasional. Tetapi, lanjut dia, manusia juga menghadapi sesuatu yang bersifat misteri, abstrak, dan tak dapat dipikirkan secara rasional.

Pria yang akrab disapa Afid itu menyebut, masalah terbesar manusia dalam konteks itu adalah penjelasaan tentang keberadaannya di dunia ini. Misalnya, pertanyaan ihwal "Sebelum ada, berada di mana dia?" Atau, "Dari mana ia datang?" Kemudian, "Untuk apa ia berada di dunia saat ini?" serta "Akan ke mana setelah ia meninggal."

"Selama manusia tidak (belum) mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, kegaiban akan tetap (selalu) menjadi bagian dari alam pikirannya," kata Afid kepada Republika, awal pekan ini.

Kedua, ia menyebut, satu-satunya yang menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu hanya agama. Tetapi, agama, dengan segala doktrin dan aturannya, juga bukan hal yang konkret. Bahkan, ada banyak hal gaib dinyatakan oleh agama.

Ia mencontohkan, dalam surah al-Baqarah [2] ayat 4 dengan tegas dinyatakan tentang adanya kegaiban. Dalam Kitab Suci dinyatakan berjenis-jenis mahluk gaib, seperti malaikat, jin, setan, iblis, dan lain-lain. Bahkan, mereka memiliki tugas dan fungsi masing-masing.

"Dengan kata lain, kegaiban adalah bagian dari alam pikiran manusia itu sendiri dan manusia meyakininya kerap dalam konteks keyakinan keagamaan juga," jelasnya.

Ketiga, Afid menjelaskan, dalam antropologi ada ulasan khusus tentang religi dan kegaiban. Misalnya, dalam buku Magic, Science, and Religion karya Bronislaw Malinowski (1954) yang menjelaskan, religi (atau agama) memberikan pedoman-pedoman besar saja. Sehingga, jarak antara religi (atau agama) atau Tuhan dan kapasitas manusia yang sangat terbatas begitu jauh dan senjang.

Afid mengatakan, kesenjangan jarak itu yang membuat manusia, dengan keterbatasannya, berupaya menggapai Tuhan. Salah satunya melalui perangkat-perangkat tafsir yang dibangunnya. Sehingga, hubungan Tuhan dengan dirinya menjadi seolah konkret dan instrumental.

"Di sinilah posisinya perdukunan, pertenungan, persihiran, dan semacamnya, yang seluruhnya itu terkandung dalam ruang pikiran gaib manusia, tak soal tingkat sosial, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya," ujar Afid.

Ia menyebut, berdasarkan perjelasan itu, gejala Dimas Kanjeng bukan merupakan suatu hal yang luar biasa. Sebab, manusia yang secara intrinsik memiliki alam pikiran gaib selalu berharap agar kekuatan gaib itu (Tuhan, malaikat, roh-roh nenek moyang, dan lain-lain) bisa menolong dirinya.

"Hal ini secara khusus (dianggap) semakin penting apabila manusia dalam keadaan disorder, misalnya, kemiskinan yang parah, terancam, mengalami tekanan, dan sebagainya," katanya.

Ia menuturkan, dengan ritual, mantra, doa, sesajen, dan peralatan lainnya, manusia berupaya mengonkretkan hubungan dengan sang Pencipta serta berupaya "membujuk"-Nya mengubah nasib mereka menjadi lebih baik. 

Sementara, Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher memberikan kredit khusus bagi kasus Dimas Kanjeng yang menggemparkan tersebut. Politikus PAN itu menyebutkan, kasus ini  sebagai penyakit sosial yang harus diberantas. Selain cukup meresahkan masyarakat luas, juga dapat memengaruhi keimanan umat.

Menurutnya, Komisi VIII DPR yang membidangi urusan keagamaan sudah sering menemukan kasus model penipuan seperti Kanjeng Dimas tersebut. Maka dari itu, dia meminta penyakit sosial tersebut harus menjadi perhatian serius pemerintah. Ali Taher juga berharap agar masyarakat waspada terhadap persoalan-persolan irasional dan di luar akal sehat. Sebab, hal itu tidak sejalan dengan pandangan agama.

"Jangan percaya dan nggak usah diikuti. Itu kan penyakit sosial, harus diberantas," kata Ali Taher menegaskan, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Rabu (5/10).

Untuk mengantisipasi terjadinya kasus serupa, lanjutnya, peran Kementerian Agama sangat penting. Dengan cara memberikan pendampingan dan imbauan moral terhadap warga yang rawan menjadi korban penipuan. Sebab, bagaimanapun, biasanya yang menjadi korban adalah mereka yang keimanannya mudah goyah. Sehingga, dengan adanya pengawasan dari Kemenag, tidak ada lagi masyarakat yang tertipu dengan kedok simbol-simbol agama dan pendidikan.    Oleh Umi Nur Fadhilah, Ali Mansur, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement