Rabu 28 Sep 2016 17:00 WIB

Full Day School Di Mata Psikolog

Red:

Psikolog keluarga dan anak, Roslina Verauli, mengatakan, sebelumnya perlu dipahami dulu riwayat perpanjangan waktu sekolah hingga sehari penuh. Program sekolah seharian ini tadinya muncul di beberapa negara sekitar tahun 80-an.

Di Amerika Serikat, program ini dulu diterapkan full day school atau after school program (program setelah sekolah), sejak dua dekade lalu. Riset kala itu menunjukkan ada peningkatan kenakalan remaja dari pukul 13.00 hingga 17.00, atau waktu mereka sudah tidak sekolah, sehingga didoronglah kegiatan setelah sekolah.

Kegiatan setelah sekolah ini dikelola oleh pihak privat di luar sekolah maupun oleh sekolah itu sendiri. Kegiatannya macam-macam, mulai dari olahraga, seni, seni kreatif, bisa juga dengan kegiatan luar ruangan, dengan kegiatan ekskul, pelajaran tambahan, dan lainnya.

"Nah, kenapa akhirnya dipandang menguntungkan karena mereka-mereka yang mempunyai orang tua bekerja ternyata diuntungkan karena pengasuhan anak digantikan atau diambil alih oleh sekolah," ujarnya kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Sayangnya, ada antitesis dari program ini, ternyata anak-anak yang ikut program ini punya orang tua yang cukup berada. Kegiatan sepulang sekolah ini lalu menimbulkan keluhan psikologis, depresi, dan kecemasan.

"Jadi apakah ini suatu privilege (keistimewaan—Red) untuk anak-anak mereka mendapatkan suatu kegiatan ekstra, ternyata bukan, secara psikologis mereka jadi berproblem," ujar dia.

Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi atau Kak Seto mengaku pada dasarnya mendukung rencana Mendikbud Muhadjir Effendy yang akan menerapkan FDS. Asal, kata dia, kebijakan itu tidak sampai memasung hak anak. "Seperti hak bermain, hak beristirahat, dan hak berekreasi karena pada prinsipnya proses belajar harus ramah anak dan demi kepentingan terbaik anak," kata dia.

Kak Seto menjelaskan, proses pembelajaran bukan hanya di sekolah. Anak juga bisa mendapatkannya di luar sekolah, misalnya melalui sanggar dan di lingkungan keluarga.

Ia pun menambahkan, sebenarnya beberapa sekolah di Indonesia telah menerapkan kebijakan tersebut. Namun, kebijakan itu justru mendapat keluhan dari orang tua murid. "Full day school ini tidak bisa disamaratakan karena beberapa sekolah yang telah menerapkan hal tersebut banyak anak didiknya yang stres karena cara pengemasannya tidak ramah anak," katanya.     rep: Desy Susilawati, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement