Rabu 21 Sep 2016 16:00 WIB

Pasal Usang di Tengah Darurat Kejahatan Seksual

Red:

Pengantar: Sidang gugatan terhadap Pasal 282, 285, dan 292 KUHP sudah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir. Pemohon yang terdiri atas sejumlah wanita tokoh masyarakat ini ingin memperluas hukuman terkait pasal-pasal kesusilaan. Republika menyarikan sidang yang sudah berjalan tersebut melalui dua edisi tulisan. Tulisan ini merupakan bagian pertama.

Ketua Persatuan Islam Istri (Persistri) Titin Suprihatin selaku pihak terkait dalam sidang gugatan Pasal 282, 285, dan 292 KUHP menyebut pasal-pasal itu sudah usang. Menurutnya, bunyi di dalam pasal-pasal tersebut jelas bertentangan dengan dasar negara Republik Indonesia yang berketuhanan yang Maha Esa dan tidak sesuai dengan UUD 1945, yakni Pasal 28 B, Pasal 28 G, dan Pasal 28 J.

Menurut Titin, sudah selayaknya pasal yang bertentangan dengan dasar negara harus diubah sesuai dengan napas pasal-pasal yang ada di UUD 1945. Terlebih, pasal di KUHP merupakan bentukan pemerintah kolonial yang memang tidak menyesuaikan kondisi kultur dan nilai yang dianut masyarakat Indonesia.

Maka, perlu juga memasukkan pertimbangan keyakinan agama-agama yang ada di Indonesia dan nilai-nilai moral yang dianut oleh hampir seluruh rakyat Indonesia.

"Kami tetap meyakini bahwa ketika terjadi pertentangan antara pasal-pasal yang ada di dalam beberapa undang-undang, batu uji bagi semua pasal tersebut tetaplah harus Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," kata Titin saat memberikan keterangannya di gedung MK pada 8 September lalu.

Lebih dari itu, Titin mengungkap kekhawatirannya jika pasal-pasal tersebut terus dipertahankan di tengah kondisi Indonesia yang darurat pornografi dan kejahatan seksual. Menurutnya, darurat kejahatan seksual Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.

Menurutnya, perzinaan yang bisa dilakukan oleh orang yang tidak menikah dan hubungan sesama jenis baik sesama orang dewasa maupun sesama anak-anak sudah menjadi teror kejahatan seksual yang sangat meresahkan bagi ketahanan keluarga yang berkualitas.

Demikian pula pemerkosaan yang dilakukan baik terhadap perempuan maupun fakta bahwa laki-laki pun bisa mengalami pemaksaan untuk berhubungan seksual dengan perempuan yang tidak diinginkannya

Ia meyakini, selain bisa menjadi alat kontrol sosial, hukum juga bisa menjadi alat rekayasa sosial. Menurutnya, jika perzinaan, homoseksual yang juga dapat mengakibatkan pedofilia, dan berbagai bentuk kejahatan seksual berkeliaran bebas tanpa ada jerat hukum yang jelas, manusia terancam menjadi manusia yang tidak memiliki adab.

"Kita diberi pilihan, apakah mau merekayasa masyarakat agar menjadi pezina, homo, lesbi, dan membiarkan pemerkosaan terhadap laki-laki? Atau akan mengembalikan manusia kepada fitrah dan martabatnya?" kata dia.

Berkebalikan dengan Peristri, Koalisi Perempuan Indonesia menilai, perubahan pasal seperti yang dimintakan pemohon menimbulkan kerugian besar bagi perempuan dan keluarga. Seperti diungkapkan Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia bahwa permohonan agar frasa 'yang telah kawin' pada Pasal 284 mengakibatkan perluasan subjek hukum yang dapat dipidana. Sehingga, setiap orang tanpa memandang status perkawinannya, bila melakukan perbuatan zina, mereka akan dipidana.

Selain itu, perubahan pasal juga dapat memperbesar kewenangan negara dan masyarakat terhadap campur tangan ke dalam keluarga dan kehidupan pribadi seseorang. Hal ini karena penghapusan pasal 282 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berarti terjadi perubahan dari delik pengaduan menjadi delik biasa.

Akibat hukum yang akan terjadi, berarti setiap orang dapat melaporkan atau aparat hukum dapat masuk dalam kehidupan setiap orang untuk melakukan penindakan hukum semena-mena. Perlakuan delik biasa dalam kasus perzinaan dapat juga digunakan setiap orang dengan leluasa melaporkan seseorang sebagai penjahat atau pelaku perzinaan dengan tujuan menjatuhkan martabat atau merintangi karier orang tersebut.

"Juga membuat aparat bisa masuk ke kehidupan pribadi untuk penegakan hukum tanpa mempertimbangkan akibat dari penegakan hukum bagi keluarga dari pihak yang terpidana secara jangka panjang," kata Dian.

Begitu pula dengan uji materi Pasal 285 yang memohonkan penghapusan frasa 'wanita' dalam kasus tindak pidana pemerkosaan yang juga terjadi perluasan korban. Dalam hal ini, menurut dia, korban pemerkosaan memiliki persamaan kesempatan untuk menuntut keadilan.

Selain itu, rumusan pemohon ini tidak efektif karena juga kesulitan menjerat pelaku dengan pidana. Karena, bisa dijerat tindakan pidana itu jika memenuhi unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Pada akhirnya, kata dia, kesulitan untuk menjerat pelaku dengan pidana masih saja tetap terjadi.

 

Sementara, untuk Pasal 292, Dian menilai, pasal ini sudah cukup untuk memberi perlindungan kepada anak dari kejahatan seksual. Tetapi, dengan dihapusnya frasa 'dewasa' dan 'yang diduga belum dewasa' sebagaimana dimohonkan pemohon, justru memperluas bahwa orang dengan orientasi sesama jenis juga bisa dipidana.

"Jadi, kalau pasal ini dikabulkan, setiap orang yang orientasi seksual sejenis adalah kriminal atau penjahat," katanya.

Sehingga, menurutnya, dengan begitu, setiap orang dapat masuk ke dalam wilayah kehidupan privat orang-orang berorentasi sejenis dan melaporkan mereka sebagai pelaku kejahatan.

"Lagi-lagi, aparat negara atau aparat penegak hukum dapat dengan mudah memasuki wilayah kehidupan privat orang-orang yang berorientasi sesama jenis dan memperlakukan mereka sebagai pelaku kejahatan."

Tanggapan Hakim

Atas perbedaan pandangan pihak terkait, majelis hakim yang saat itu diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman tersebut pun mempersilakan para hakim konstitusi menanggapi. Hakim Patrialis Akbar pun langsung ambil bagian untuk menanggapi keterangan pihak terkait.

Patrialis Akbar mempertanyakan keterangan pihak terkait dari Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari, yang tidak setuju dengan perluasan makna perzinaan dan pemerkosaan. Dalam keterangannya, Dian mempersoalkan penghapusan frasa 'yang telah kawin' dapat memperluas subjek hukum yang dapat dipidana dan menilai hal itu membuka peluang bagi penegak hukum turut campur dalam kehidupan pribadi seseorang.

"Terkait semaraknya dan luar biasanya tiga perbuatan sebagaimana diajukan ini, berdasarkan fakta yang ada ya, bukan diada-adakan, apalagi prostitusi anak ya, saya mau tanyakan, mana yang lebih baik. Ada norma yang melarang zina dalam semua perspektif atau daripada tidak ada norma sehingga orang dengan mudah melakukan perbuatan itu," kata Patrialis saat menanggapi keterangan pihak terkait dalam sidang uji materi Pasal 284, 285, 292 KUHP di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (8/9).

Selain itu, Patrialis juga meminta Dian untuk menjelaskan pernyataannya terkait kriminalisasi yang dimaksud dalam keterangannya soal dihapusnya pembatasan makna pencabulan. Sebelumnya, Dian menilai, penghapusan pembatasan pencabulan membuka peluang terjadi kriminalisasi terhadap orang dengan orientasi seksual sejenis.

Selain itu, Patrialis juga meminta pandangan Dian terkait keadilan bagi seseorang perempuan yang dikhianati pasangannya sebagai perwakilan koalisi perempuan. Hal ini untuk menanggapi pernyataan Dian bahwa pada umumnya istri atau suami yang pasangannya melakukan perzinaan tidak serta-merta mengambil tindakan hukum mengadukan pasangannya agar dipidana dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.

"Kalau istrinya sudah menyatakan keberatan secara terus-menerus kepada suaminya untuk tidak berzina lagi dengan orang lain, tidak memerkosa orang lain, tidak melakukan perbuatan cabul sesama sejenis, istrinya sudah melakukan keberatan, tapi suaminya tidak mau, bagaimana caranya kita menegakkan keadilan bagi istri itu?" tanyanya. Oleh Fauziah Mursid ed: Muhammad Hafil

Ikhtisar

-    Pasal yang terkait aturan kesusilaan dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

-    Jika perzinaan, homoseksual, dan kejahatan seksual tak memiliki hukum yang jelas, mengancam peradaban manusia.

-    Anak-anak menjadi korban keberadaan pasal-pasal yang digugat.

-    Perzinaan di luar perkawinan menyebabkan terjadinya pelanggaran hak anak.

-    Anak yang terlahir dari hubungan perzinaan rentan mengalami kekerasan, penelantaran, dan pengabaian hak-hak keperdataan sipil.

Sumber: Risalah sidang MK

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement