Rabu 14 Sep 2016 17:00 WIB

Siapa yang Jadi Korban dan Harus Dilindungi?

Red:

Uji materi pasal-pasal tersebut bukan mulus tanpa halangan. Sejumlah pihak pun mempertanyakan legal standing 12 orang pemohon yang meminta uji materi pasal tersebut.

Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Azriana, menilai pemohon tidak bisa membuktikan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik ataupun khusus dan aktual, serta memiliki hubungan sebab-akibat antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Hal itu yang ia kemukakan saat memberi keterangannya pada Sidang MK 30 Agustus lalu sebagai pihak terkait. Azriana juga menilai permohonan para pemohon salah sasaran. Hal ini karena mengenai kewenangan MK sebagaimana dinyatakan oleh para pemohon bahwa tujuan pengujian ini untuk meminta agar MK melakukan penghapusan dan penambahan kata dan/atau frasa dalam hal ini perluasan makna perzinaan, pemerkosaan, dan juga perbuatan cabul.

"Maka dalam pandangan kami, MK tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara ini. Kepentingan pemohon seharusnya disampaikan kepada lembaga legislatif, dalam hal ini DPR, dan pemerintah yang saat ini sedang pada proses revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," kata Azriana.

Terkait isi materi pasal juga kata Azriana, dalam Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), menurut dia, telah melindungi hak konstitusional warga negara, termasuk dalam hal ini perempuan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, dan kehormatannya. Begitu pun hak setiap orang untuk mempertahankan perkawinan dan keutuhan rumah tangganya dalam pandangan Komnas Perempuan melalui pasal ini dilindungi secara utuh oleh negara.

Sama halnya keberadaan Pasal 292 KUHP dengan rumusan yang sekarang telah membantu perempuan korban pemerkosaan seksual untuk mendapatkan keadilan. Dalam beberapa kasus, penyidik menggunakan pasal 292 tentang perbuatan cabul ini untuk menjerat pelaku dalam kasus-kasus pemerkosaan yang sulit dibuktikan.

Hal ini karena definisi pemerkosaan yang masih sangat terbatas dalam KUHP. "Jadi kami membayangkan kalau pasal ini kemudian dicabut atau diubah, satu-satunya yang bisa melindungi perempuan dari pemerkosaan itu menjadi tidak ada lagi, sementara kita juga belum memperbaiki KUHP kita," kata dia.

Tanggapan tak jauh berbeda juga dilontarkan pihak terkait, dalam hal ini dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang diwakili Erasmus Napitupulu. Ia mengatakan, para pemohon tidak dapat membuktikan adanya kerugian konstitusional dari berlakunya pasal-pasal tersebut. Pun begitu terkait dengan potensi pelanggaran hak asasi manusia, para pemohon tidak mampu menjelaskan dan tidak mampu menunjukkan keterkaitan terhadap adanya pelanggaran hak asasi manusia dan kerugian konstitusional yang dirasakan oleh para pemohon.

Lebih jauh kata dia, upaya menghilangkan frasa "telah menikah" dan "adanya delik aduan" justru bertentangan dengan hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah berdasarkan Pasal 28B Ayat (1) UUD Tahun 1945, pasal konstitusi yang juga diajukan oleh para pemohon sebagai landasan pertentangan dengan KUHP Pasal 284.

Begitu juga dampak jika uji materi pasal 284 ini diterima oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu akan adanya overkriminalisasi. Overkriminalisasi adalah kelebihan beban terhadap pidana atau banyaknya perbuatan pidana yang dikriminalkan dalam suatu negara.

"Yang Mulia (Hakim), overkriminalisasi sangat berbahaya di Indonesia. Yang pertama adalah permohonan para pemohon akan berakibat pada tingginya penghukuman dan memperbesar jumlah pelaku tindak pidana. Ini akan berimbas langsung kepada kewajiban negara terkait kebijakan penal. Memperbanyak fasilitas dalam proses pengadilan, penegakan hukum, dan lapas. Kondisi ini juga akan mengakibatkan berubahnya prioritas kebijakan kriminal Indonesia," kata Erasmus.

Lainnya juga, lanjut Erasmus, kebijakan pidana yang ingin memperluas tindak pidana kesusilaan akan membuat negara masuk terlalu jauh dalam mengontrol hak yang sangat privasi dari warga negara.

Keterangan Komnas Perempuan dan ICJR mendapat tanggapan dari hakim. "Konfirmasi kepada Komnas Perempuan. Ini enggak berat-berat, ya. Pertama, kalau terjadi suatu perzinaan, katakanlah dilakukan suka sama suka, lalu perempuannya hamil dan kemudian laki-laki penikmat itu kabur dan tidak bertanggung jawab. Pertanyaan saya adalah siapa yang jadi korban dan siapa yang harus dilindungi?" tanya Patrialis Akbar, salah satu anggota hakim.

Kemudian, juga dengan perbuatan cabul yang selama ini, menurut dia, juga justru banyak dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan. Kemudian, juga kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan.

"Pertanyaan saya, siapa yang jadi korban dan siapa yang harus dilindungi? Kalaulah kedua hal ini terjadi kepada anak kita, bagaimana pendapat Saudara?" kata Patrialis.

Sementara, terkait pernyataan dari pihak ICJR yang mengatakan bahwa hubungan seksual, antara lain anak di luar perkawinan, yang  sekarang ini masih dianggap tabu. "Apa maksud Saudara? Apakah hubungan seksual anak di luar perkawinan itu dijadikan sebagai sesuatu yang dibolehkan secara terbuka?" katanya.

Begitu halnya hakim konstitusi lainnya I Dewa Gede Palguna yang menyoalkan pernyataan pihak terkait atas batas kewenangan negara dalam campur tangan ke kehidupan pribadi warga negara. Ia meminta pihak terkait menjelaskan gambaran bagaimana seharusnya campur tangan negara terhadap setiap warganya.

"Di mana negara harus setop terhadap campur tangannya yang jangan sampai terlalu jauh dalam kehidupan pribadi warga negara. Ini yang menimbulkan problem di mana-mana, bukan hanya di Indonesia. Problemnya adalah ada banyak persoalan yang melatarbelakangi itu. Mungkin bisa persoalan ideologi, bisa persoalan tradisi, bisa persoalan yang bersumber pada agama, dan bisa macam-macam. Tapi, general rules harus kita tentukan karena ini menyangkut criminal policy," kata Palguna. rep: Fauziah Mursid ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement