Rabu 31 Aug 2016 18:00 WIB

Targetnya tak Hanya Papua

Red:

Fokus peningkatan pendidikan dan riset sebenarnya tidak hanya di Tanah Papua. Namun, pengiriman bantuan 24 profesor asal Indonesia yang sebelumnya menetap di Amerika Serikat (AS) ini untuk sementara dilakukan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

"Untuk sementara baru Papua dahulu," ungkap Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir kepada Republika, belum lama ini.

Nasir menerangkan, pemerintah telah mengarahkan pengembangan teknologi dan pendidikan di daerah terpencil, terutama Papua dan Papua Barat. Pengembangannya pun harus dikaji dahulu, termasuk hal apa yang perlu dibangun Perguruan Tinggi (PT) di sana. Oleh karena itu, para guru besar tersebut sangat diperlukan bantuannya untuk membangun Papua dan wilayah sekitarnya.

Untuk saat ini, fokus utama memang dua provinsi ini, Papua dan Papua Barat. Hal ini karena untuk mengejar ketertinggalan mereka dengan provinsi lainnya. Ketertinggalan mereka harus diperkecil sehingga mampu menyamai kondisi provinsi lainnya, seperti Jawa.

Pemerintah melihat pangan, pertanian dan energi serta transportasi merupakan bidang yang paling dibutuhkan untuk mengembangkan Papua. Sebab, tidak mungkin satu provinsi akan maju jika bidang tersebut tidak maju pula. Untuk itu, hal-hal tersebut perlu diberdayakan lebih menguat lagi.

Pada kesempatan yang sama, Nasir juga menyinggung, banyaknya profesor asal Indonesia yang berpretasi di luar negeri. Seperti halnya yang terjadi di AS yang memiliki 74 profesor asal Indonesia. Jumlah ini bisa beratus angkanya jika ditotalkan bersama dengan negara lainnya.

Menurut dia, penyebab utama mereka lebih betah di luar negeri karena terbatasnya ketersediaan tempat mereka untuk berprestasi. "Saya sempat ketemu diaspora di Swedia, dia ahli ilmu kesehatan di Eropa.  Saya tanya profesor dari mana, kemudian dia bilang dari Universitas Gajah Mada (UGM). Lalu saya tanya lagi, kok menetap di sini, kenapa? Dia jawabnya mau kembali tapi sampai sekarang enggak ada tempat di Indonesia," kata Nasir. Padahal, dia melanjutkan, diaspora tersebut merupakan orang hebat di Swedia dan Eropa pada bidang kesehatan.

Melihat kondisi ini, Nasir menyatakan, telah berbicara dengan Bappenas agar bisa membangun industri di Indonesia. Namun, karena saat ini masih terkendala anggaran, pemerintah pun harus mengutamakan program prioritas terlebih dahulu. Oleh sebab itu, kerja sama dengan asing menjadi salah satu cara agar pendidikan Indonesia mampu bangkit. "Jadi harus ada koporasi dan kolobarsi dalam akselerasi pendidikkan sehingga kita lebih baik," kata mantan rektor terpilih Universitas Diponegoro (Undip) ini.

Anggota DPR Komisi X, Ferdiansyah, juga menyatakan hal serupa ihwal para profesor Indonesia yang berprestasi di luar negeri. Menurut dia, mereka percuma kembali karena tidak ada tempat sesuai yang bisa menaunginya. Terlebih lagi masalah pembayaran sebagai apresiasi yang setimpal.

Ferdiansyah justru tak memperasalahkan jika terdapat profesor Indonesia lebih ingin berkarier di luar negeri. Biarkan saja mereka berkarier tapi komitmennya yang perlu diminta. Dengan kata lain, mereka setidaknya bisa memberikan sedikit kontribusi semacam devisa untuk negara. Dengan demikian mereka tentu masih memiliki dedikasi tinggi untuk negara.

"Jangan dipaksa juga supaya bisa bekerja di Indonesia lagi. Imbau saja mereka, misalnya memberikan 20 persen penghasilannya untuk negara atau keluarganya. Lagi pula kalau mereka pulang ke Indonesia, enggak ada pekerjaan sesuai," ujarnya menegaskan.    rep: Wilda Fizriyani, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement