Rabu 01 Jun 2016 14:00 WIB

Swasensor untuk Masyarakat

Red:

Derasnya  arus penayangan film di Indonesia dikhawatirkan akan membawa dampak negatif. Sebab, dalam era globalisasi, film juga dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan yang dapat ditiru dan diaplikasikan oleh masyarakat.

Film yang berkualitas tentu harus memperhatikan semua aspek, termasuk aspek etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Meski demikian, tidak seluruh film menjunjung aspek-aspek tersebut, sehingga diperlukan proses sensor.

Sensor film merupakan proses penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan, wajib memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF).

Sensor film ternyata tidak hanya bisa dilakukan oleh lembaga berwenang, masyarakat juga bisa ikut andil dalam prosesnya. Ketua Komisi I LSF dalam bidang Penyensoran dan Dialog, Imam Suhardjo, mengungkapkan, masyarakat bisa melakukan swasensor atau sensor mandiri dengan menonton film sesuai dengan klasifikasi usia yang telah ditentukan.

Swasensor adalah kegiatan penyensoran terhadap film dan iklan film yang dilakukan oleh individu, keluarga, masyarakat, pelaku usaha perfilman, pelaku kegiatan perfilman, dan lembaga penyiaran. Melalui program "Masyarakat Sensor Mandiri" yang digagas LSF, masyarakat Indonesia diharapkan dapat menjadi penonton yang cerdas, yang mengetahui film mana yang layak tonton dan tidak layak tonton.

"Tugas LSF adalah melindungi masyarakat dari film yang berbahaya. Tingginya arus masuk film di Indonesia membuat LSF meminta masyarakat untuk turut membantu memonitor penyensorannya," ujar Imam, dalam acara sosialisasi program "Masyarakat Sensor Mandiri" di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu.

Target utama swasensor adalah orang tua yang dapat selalu mengawasi tontonan anak-anak mereka. Sebab, sebuah tontonan yang bersifat audio-visual seperti film sangat memberi pengaruh dan melekat pada memori seorang anak.

"Anak-anak terutama perlu diawasi dalam menonton film, karena mereka akan meniru apa yang mereka lihat dalam film, termasuk hal negatif di dalamnya," jelasnya.

Sikap permisif keluarga terhadap jenis tontonan akan mempengaruhi kejiwaan anak yang akan terbawa hingga dewasa. Anak akan tumbuh dalam pengaruh negatif, mulai dari kebiasaan hingga prinsip.

Ia mengatakan, meski orang tua menjadi pihak pertama yang harus menerapkan swasensor kepada anak-anak, namun hal tersebut juga harus dilakukan oleh pengelola bioskop. Selama ini, masih banyak pengelola bioskop yang membiarkan anak-anak menonton film tidak sesuai dengan kategori usia.

"LSF akan melakukan peninjauan langsung ke beberapa bioskop yang kira-kira ramai pengunjung. Kita buat tim dan menempatkan sedikitnya dua orang di setiap bioskop untuk meninjau proses swasensor," kata Imam.

Selain itu, swasensor juga penting dilakukan oleh pelaku kegiatan dan usaha perfilman. Pelaku film juga perlu melakukan sensor dini sejak pembuatan naskah film sampai dengan pasca produksi.

Komisioner Lembaga Sensor Film (LSF), M Sudama Dipawikarta, mengatakan, sensor film tidak membatasi dan menghambat kreatifitas para pelaku film. Sensor justru memberikan legalitas kepada sebuah film. "Kami melakukan sensor bukan karena benci dengan film, tapi ingin melindungi masyarakat," ujar Dipa.

Kreatifitas dan rating bukan merupakan suatu hal yang mutlak, sehingga bisa dikendalikan dan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pelaku film. Pembuatan film memiliki rambu yang jelas. Yaitu adat istiadat, agama, dan budaya bangsa.

Secara umum, LSF menentukan, film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung unsur kekerasan dan perjudian, serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Film juga dilarang menonjolkan unsur pornografi dan menistakan, melecehkan, atau menodai nilai-nilai agama.

Selain itu, unsur provokasi yang memicu terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, atau antargolongan juga tidak diperbolehkan. Serta unsur yang mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum atau merendahkan harkat dan martabat manusia. Oleh NurSyahbani ed: Muhammad Hafil

***

Klasifiikasi Usia Penonton

1.    Penonton semua usia

-    Mengandung unsur pendidikan dan hiburan

-    Film tidak mempertontonkan adegan buruk, kekerasan, dan asusila 

2.    Penonton usia 13 tahun atau lebih

-    Mengandung nilai pendidikan, budi pekerti, kreatifitas, dan rasa ingin tahu yang positif

-     Film tidak mempertontonkan adegan  pergaulan bebas

3.    Penonton usia 17 tahun atau lebih

-    Mengandung unsur yang sesuai usia remaja

-    Adegan seksualitas dan kekerasan disajikan dengan proporsional

-    Film tidak menampilkan adegan sadis 

4.    Penonton usia 21 tahun atau lebih

-    Adegan seks dan kekerasan tidak dipertontonkan dengan berlebihan

Klasifikasi Usia dengan Simbol Huruf

1.    SU: Siaran untuk umum dan di atas dua tahun yang disiarkan mulai pukul 05.00 hingga 18.00

2.    P:  Siaran untuk anak-anak usia pra-sekolah, usia 2-6 tahun

3.        A: Siaran untuk anak-anak, usia 7-12 tahun

4      R: Siaran untuk remaja, usia 13-17 tahun

5      D: Siaran untuk dewasa, usia di atas 18 tahun, film disiarkan sejak pukul 23.00 hingga 03.00

Sumber: Pasal 32 PP 18/14 dan KPI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement