Rabu 01 Jun 2016 14:00 WIB

Agar Anak tak Salah Menonton

Red:

Neng Sofia Ulfa (44 tahun) menilai film sangat mempengaruhi perilaku anak-anaknya. Anak Neng yang berusia di bawah 10 tahun mungkin masih belum mengerti alur cerita, namun mereka bisa meniru adegan yang ditonton.

Tidak perlu jauh melihat adegan kekerasan atau adegan berbau pornografi, adegan biasa seperti mengendarai motor, meminum bir hingga mabuk, juga sering ditiru oleh anak-anaknya. Parahnya, adegan-adegan tak layak juga sering ia temukan dalam film kartun yang lazim ditonton anak.

"Kartun juga gak semuanya bagus, kadang terselip adegan dewasa dan tidak kena sensor," ujar ibu rumah tangga empat anak ini.

Ia mengaku, peran LSF sangat krusial, terlebih ketika film-film layar lebar mulai ditayangkan di televisi. Sehingga, meski ada orang tua yang lemah pengawasan, film-film yang dilihat anak telah lulus sensor dan aman.

Meski demikian, kata dia, menjadi masyarakat yang cerdas dalam memilih tayangan juga penting, mengingat penayangan film dalam dan luar negeri setiap harinya sangat banyak. Dalam hal swasensor atau sensor mandiri, menurutnya, seorang ibu berada di garda depan pengawasan.

"Yang harus diberi pengertian mestinya ibu terlebih dahulu, karena di rumah ibu yang mengatur. Kalau ibu abai, sulit jadinya," kata Neng.

Neng mengaku telah sepenuhnya paham klasifikasi usia penonton yang sering direkomendasikan dalam tayangan film. Klasifikasi usia, baginya, tidak hanya dapat membantu ia melakukan swasensor, tapi juga membantu ia memahami besarnya pengaruh televisi kepada anaknya.

Ia selalu membatasi anak-anaknya untuk menonton film di televisi secara berlebihan. Televisi hanya dinyalakan di waktu-waktu tertentu, seperti pagi dan sore hari. Di malam hari, setelah semua anak-anaknya selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan mengaji, televisi boleh dinyalakan dengan syarat harus menonton dengan orang tua.

"Setelah jam 9 atau jam 10, anak-anak semua tidur, tidak ada lagi yang menonton tv. Ini didikan orang tua saya dulu yang saya terapkan ke anak," jelasnya.

Untuk anaknya yang sudah besar dan sudah mengenal film layar lebar di bioskop, Neng selalu memberikan sosialisasi kecil mengenai klasifikasi usia. Ia sepenuhnya percaya, anaknya yang masih berusia 17 tahun telah mengerti untuk tidak menonton film berkategori D (dewasa) untuk usia 21 tahun ke atas.

Jika Neng bisa mengawasi penuh anak-anaknya dalam menonton film di televisi, lain halnya dengan Henny Riansyah (26). Henny yang memiliki dua anak ini memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan swasta sehingga tidak bisa memberikan pengawasan maksimal.

Sehari-hari, anaknya yang berusia 6 tahun dan 4 tahun diasuh oleh pembantu. Kepada pembantunyalah Henny selalu menekankan pentingnya swasensor.

"Anak kecil maunya nonton tv terus, tapi gak semua tontonan baik, gak semua tontonan anak tayang setiap waktu. Saya tegaskan ke pembantu, jangan sampai anak saya nonton acara yang gak mendidik," ungkap Henny.

Swasensor, menurutnya, harus pertama kali diterapkan oleh orang tua. Orang tua harus menjadi contoh agar anak-anak menuruti dan mengerti film apa yang boleh mereka tonton, yang boleh ditonton bersama orang tua, dan yang sama sekali tidak boleh ditonton.

"Sosialisasi swasensor kepada anak jadi keharusan yang berkelanjutan, sampai anak dewasa dan benar-benar tahu," kata dia.

Ketika anak-anaknya sudah besar, Henny berencana untuk tidak memberikan televisi di kamar mereka. Bentuk pengawasan ini juga berlaku pada gadget dan akses internet.

Menurut Henny, klasifikasi usia penonton yang dikeluarkan LSF dan KPI tidak cukup bagi masyarakat untuk peduli dengan swasensor. Sebab, terlalu banyak masyarakat yang abai, terutama remaja-remaja yang memiliki rasa penasaran yang besar akan film-film dewasa yang mereka pikir jauh lebih menarik.

"Keingintahuan remaja itu lebih besar dari pengawasan orang tua. Kita sebagai orang tua sih inginnya pengawasan tidak hanya dilakukan untuk film, tapi untuk semua hal, internet, media sosial, game juga," jelas Henny.

Ia berharap, sineas-sineas tanah air bisa memajukan perfilman Indonesia dengan film-film yang lebih mendidik. Dengan banyaknya kasus pembunuhan dan pemerkosaan anak, Henny meminta para pelaku kegiatan dan usaha perfilman agar berfikir ulang jika ingin membuat film dewasa demi keuntungan material semata.

"Baik diatur mengenai jadwal penayangan, film-film dewasa ditayangkan tengah malam. Atau yang sudah muncul di bioskop tidak perlu muncul di tv," tuturnya. Oleh Fira Nursyahbani ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement