Rabu 11 May 2016 17:00 WIB

Memerangi HIV-AIDS di Pulau Dewata

Red:

Antara/Oky Lukmansyah     

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak peduli dari mana pun sudut pandang Anda, HIV-AIDS pasti menjadi penyakit paling ditakuti di dunia. Tim dokter yang mendeteksi penyakit ini pertama kali pada 1981 mungkin tak menyadari virus bernama lengkap Human Immunodeficiency Virus and Acquired Immune Deficiency Syndrome ini menjadi epidemi di masa depan.

Siapa sangka, 30 tahun kemudian hampir 40 juta orang di seluruh dunia (data UNAIDS) hidup dengan HIV-AIDS. Memasuki abad ke-21, ilmu kedokteran membuat lompatan besar, sehingga HIV-AIDS tak lagi dilihat sebagai hukuman mati. Banyak dari penderita yang tetap bisa memperpanjang rentang hidupnya dengan pengobatan intensif dan menjaga daya tahan tubuh. Meski demikian, tak dimungkiri bahwa jutaan orang yang terinfeksi HIV-AIDS saat ini berakhir dengan meninggal dunia.

Fakta paling menakutkan tentang HIV-AIDS adalah tubuh seseorang bisa terjangkit virus ini, tapi yang bersangkutan tidak mengetahuinya. HIV-AIDS bisa saja tidak terdeteksi selama lebih dari satu dekade dan sepanjang medio itu pula mereka yang terinfeksi bisa menularkannya kepada orang lain. Satu-satunya cara untuk mengetahui apakah seseorang atau pasangannya memiliki HIV-AIDS adalah tes kesehatan di laboratorium.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan menyebutkan, HIV-AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan di Bali pada 1987. Virus tersebut, hingga saat ini sudah menyebar di 386 kabupaten dan kota di seluruh provinsi.

Jumlah kumulatif penderita HIV sepanjang 1987-2014 berkisar 150.296 orang, sementara AIDS 55.799 orang. Pola penularannya berdasarkan kelompok umur paling banyak menyerang usia produktif, 20-29 tahun, diikuti kelompok usia 30-39 tahun dan 40-49 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, HIV-AIDS lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan.

Sepuluh provinsi dengan kasus HIV-AIDS tertinggi di Indonesia secara berurutan adalah Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Sumatra Utara. Bali masuk ke dalam lima besar penemuan kasus HIV-AIDS terbanyak di Indonesia.

Konsentrasi paling tinggi adalah di Kota Denpasar, Kabupaten Buleleng, dan Badung. Ketiganya merupakan sentra pariwisata andalan. Melihat fakta tersebut, wajar masyarakat Bali begitu mengkhawatirkan penyebaran virus ini. Penyakit kelamin ini seakan menjadi bom waktu yang siap meledak.

Alasannya, pertama, Bali adalah destinasi pariwisata dunia. Setiap tahun, rata-rata 3,5 juta wisatawan mancanegara (wisman) datang ke Pulau Dewata. Lalu lalang manusia dari berbagai negara dan kebangsaan potensial menularkan virus mematikan ini.

Kedua, terjadi penutupan sebagian besar lokalisasi prostitusi tiga tahun terakhir, seperti di Surabaya dan Jakarta. Bukan tak mungkin, para pekerja seks komersial (PSK) di sana bermigrasi ke Bali.

Ancaman eksodus PSK dari Surabaya dan Jakarta membuat Pemerintah Provinsi Bali mengerahkan aparat di sembilan kabupaten dan kota untuk melakukan langkah antisipasi. Salah satu caranya adalah pemeriksaan ketat di pintu-pintu masuk pendatang menuju Pulau Dewata, seperti Pelabuhan Gilimanuk di Jembrana yang menghubungkan Pulau Bali dengan Pulau Jawa.

Setiap penduduk yang tinggal di Bali harus mempunyai identitas jelas. Pihak desa adat (pekraman) juga dikerahkan untuk memantau aktivitas warganya, khususnya pendatang yang dinilai mencurigakan.

Jumlah penderita HIV-AIDS di Bali meningkat signifikan dalam tiga tahun terakhir. Hal tersebut diakui Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali sekaligus Wakil Gubernur Bali, Ketut Sudikerta. Data pemerintah provinsi menunjukkan, penderita HIV-AIDS di Bali hanya berkisar 8.000 orang pada 2014.

"Tahun ini (2016), jumlahnya melonjak hingga 13.774 orang," kata Sudikerta di Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar, beberapa waktu lalu.

Mereka yang menderita HIV-AIDS bukan hanya penduduk asli Bali, melainkan juga penduduk luar yang menetap di Bali. Kebanyakan, peningkatan kasus ini dikarenakan masyarakat yang abai terhadap tubuhnya. HIV-AIDS bisa ditularkan melalui hubungan seks bebas atau berganti-ganti pasangan, narkoba, hingga jarum suntik yang sudah terkontaminasi virus tersebut.

Koordinator Kelompok Kerja Bidang Promosi, Pencegahan, dan Hubungan Masyarakat di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali Mangku Karmaya menyebut, peningkatan signifikan jumlah penderita AIDS di Bali dalam tiga tahun terakhir patut menjadi sorotan. Angka tersebut menjadi ancaman serius, mengingat penyebarannya kian meluas ke level rumah tangga.

"Perilaku berisiko, seperti gonta-ganti pasangan dan penggunaan jarum suntik, khususnya dalam kasus narkoba paling sulit dikendalikan," katanya.

Penderita HIV-AIDS di Bali dulunya lebih banyak dari kalangan pecandu narkoba. Trennya kini bergeser ke masyarakat umum, seperti ibu rumah tangga, remaja, dan anak-anak pada rentang usia 18-35 tahun.

Dunia Waspada

Awal April 2016, Kepala Dewan AIDS dan Hepatitis Wilayah Utara Australia (NTAHC) Kim Gates ditahan di Bandara Internasional Ngurah Rai. Ia membawa serta dalam perjalanan sekurang-kurangnya 720 buah kondom yang akan disumbangkan untuk sebuah organisasi HIV-AIDS di Bali.

Gates dibebaskan, tapi petugas menyita seluruh kondom yang dibawanya. Dilansir dari ABC News Australia, Gates mengatakan, lembaga-lembaga penanggulangan AIDS yang menjadi mitra NTAHC di Bali sedianya memerlukan kondom tersebut sebab banyak warga Australia yang berwisata ke Bali.

"Kami melihat banyak kasus HIV-AIDS baru di Australia berawal dari warga yang bepergian ke luar negeri," kata Gates.

Gates menyebut, Indonesia termasuk salah satu negara dengan penularan HIV-AIDS tinggi. Data NTAHC menunjukkan, sekitar satu dari empat PSK di Indonesia terkena HIV-AIDS. Jumlah wisatawan Australia, khususnya pria yang berkunjung ke Bali, termasuk yang berhubungan seks dengan PSK di Bali juga cukup banyak.

Pihak Australia mengimbau warga negaranya untuk cerdas saat berlibur ke luar negeri. Mereka minimal perlu membawa kondom untuk digunakan sendiri saat diperlukan.

Konsul Penerangan, Sosial, dan Budaya Konsulat Indonesia di Darwin, Ardian Nugroho, menambahkan, petugas Bandara Ngurah Rai yang menyita kondom tersebut kemungkinan besar karena mereka berpikir kondom tersebut akan dijual di Bali. Ke depannya, konsulat akan memberikan surat keterangan khusus bagi warga Australia yang datang ke Indonesia membawa kondom supaya mereka terhindar masalah sesampainya di Tanah Air.   rep: Mutia Ramadhani, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement