Rabu 27 Jan 2016 15:00 WIB

Pemerintah Mesti Tegas di Sisi Rakyat

Red:

Dalam agenda prioritas Presiden Joko Widodo dan Wakil Pesiden Jusuf Kalla atau yang lebih dikenal dengan nawacita, terdapat sembilan poin besar untuk memfokuskan pembangunan Indonesia dalam masa kepemimpinan mereka. Secara eksplisit, nawacita menjanjikan akan mengatasi krisis agraria yang sudah berlarut-larut cukup lama di Indonesia, termasuk dengan keterlibatan aparat hukum serta pemerintah dalam munculnya konflik tersebut.

Seperti konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Selatan. Sengketa lahan antara penduduk dan PT Perkebunan Nusantara XIV (PT PN XIV)-Pabrik Gula (PG) Kabupaten Takalar sudah berjalan sejak tahun 1978-1981 hingga 2015. Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kurniawan Sabar menceritakan, proses sengketa diawali sejak dilakukannya pembebasan lahan untuk perkebunan PT Madu Baru. Masyarakat sudah mengalami kekerasan dan tekanan dari aparat penegak hukum. Bahkan, mereka akhirnya terusir dari lahan turun-temurun karena dijanjikan lahan tersebut hanya akan dikontrak selama 25 tahun tanpa proses legalisasi.

Lepas dari 25 tahun berlalu, seharusnya lahan tersebut kembali kepada masyarakat. Namun, kenyataannya pada tahun 2005 masyarakat kembali menuntut lahan yang sudah habis masa kontrak, tapi hak guna usaha (HGU) PT PN XIV Takalar baru terdaftar tahun 2001 dan 2002. Sehingga, HGU baru habis sekitar tahun 2023. Menyikapi persoalan tersebut, masyarakat kembali menuntut hak mereka. Hanya, masyarakat kembali berhadapan dengan intimidasi dan kekerasan yang dikawal oleh aparat penegak hukum.

"Normalnya dalam situasi konflik sebenarnya harus ada di tengah. Idealnya ada di masyarakat karena fungsi aparat keamanan melindungi masyarakat, bukan perusahaan," ujar Kurniawan, Rabu (13/1).

Kurniawan menjelaskan, aparat penegak hukum dalam setiap konflik agraria seharusnya dapat menempatkan diri di tengah-tengah atau pihak netral, bukan justru memberatkan pada satu pihak, apalagi korporasi yang justru bermasalah. Menurutnya, dengan alasan melindungi lahan miliki negara, aparat penegak hukum akhirnya justru memosisikan diri sebagai musuh masyarakat hingga melukai dan melakukan aksi teror.

Padahal, masyarakat merupakan aset vital yang sangat besar untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman, meski berada di wilayah konflik. Kurniawan menegaskan, konflik agraria yang berakhir dengan kekerasan hampir dipastikan menempatkan masyarakat sebagai ancaman besar.

Kurniawan menjelaskan, saat terjadi konflik, masyarakat hanya diberikan pilihan untuk menunjukkan kepemilikan lahan dengan surat-surat resmi. Hanya, tidak semua masyarakat paham tentang surat kepemilikan tanah. Beberapa dari mereka berasumsi lahan yang sudah digarap atau ditempati turun-temurun merupakan milik mereka.

"Dalam UU Agraria No 5 Tahun 1960 dijelaskan, untuk melihat kepemilikan tanah oleh suatu kelompok masyarakat tidak hanya bisa dilihat dari legalitas, tetapi juga melalui secara turun-temurun. Negara sejauh ini hanya mengecek legalitas melalui sertifikat atau basis legal administrasi," ujar Kurniawan menjelaskan.

Kurniawan berharap, ke depan harus ada keseriusan pembenahan dalam penyelesaian konflik-konflik agraria, bukan hanya menjalankan program yang sama setiap tahunnya. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang, harus dapat melindungi tanah masyarakat, bukan justru berpihak pada kepentingan perusahaan semata.  c27, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement