Rabu 25 Nov 2015 14:00 WIB

Tiga Dekade HIV/AIDS di Indonesia

Red:

Menyongsong tiga dekade ditemukannya virus HIV/AIDS di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan kabar baik dari data yang diperoleh sepanjang 2015. Kabar baik ini tidak lepas dari program pencegahan dan pengobatan yang terus berlangsung hingga kini.

Namun, masih perlu banyak usaha dari semua kalangan untuk terus menggaungkan kampanye anti-HIV/AIDS ini. Sebab, selain angka penderita yang harus terus ditekan dan angka kematian yang juga harus ditekan, perhatian masyarakat menjadi kunci untuk bisa menjadikan Indonesia bebas dari HIV/AIDS.

Data Kemenkes pada triwulan pertama menunjukkan adanya kenaikan angka penderita HIV. Jika semula pada 2014 penderita HIV mencapai 32.711 jiwa, saat ini Kemenkes mencatat hingga Juni 2015 penderita HIV berjumlah 17.325 jiwa. Angka ini dimungkinkan masih meningkat hingga akhir tahun.

 

Direktur Pencegahan Penyakit Menular dr Sigit mengatakan, kenaikan angka penderita tidak perlu diartikan secara tegang. Sebab, semakin tingginya angka penderita berarti mengindikasikan adanya deteksi dini. Orang dengan positif HIV kini tak perlu lagi merasa takut ataupun sungkan mengakui dirinya mengidap HIV.

 

Angka ini dirasa melegakan oleh Sigit sebab jika diperkirakan hingga akhir tahun, kenaikannya juga tidak cukup signifikan. Angka tersebut membuktikan bahwa deteksi dini mulai akrab di masyarakat. Manfaat dari deteksi dini ini, yakni setidaknya para pengidap HIV sadar bahwa dirinya sudah positif HIV dan bisa mencegah penularan dan memproteksi diri untuk bisa memperpanjang usia.

"Ini bentuk positif. Karena sejatinya, jika sosialisasi dan deteksi dini semakin membaik dan akrab di masyarakat, angka per tahun mendatang akan datar dan statis. Jika angka tersebut statis, bisa disimpulkan bahwa negara perlu melakukan penekanan angka dan pengobatan secara tepat sasaran," ujar Sigit saat dihubungi Republika, Kamis (19/11).

Sigit menambahkan, adanya kabar baik ini sinkron dengan menurunnya angka penderita AIDS. Kemenkes mencatat, pada 2014 penderita AIDS berjumlah 5.494 jiwa, sedangkan pada triwulan pertama 2015 pengidap AIDS tercatat berjumlah 1.238 jiwa.

Jika perkiraan di akhir tahun jumlah itu masih meningkat dua kali lipat, angka tersebut masih jauh lebih baik dari tahun kemarin. Angka pengidap AIDS yang menurun ini merupakan salah satu dampak dari deteksi dini yang lebih diutamakan. Sehingga, ketika orang dengan HIV lebih dulu mengetahui, ia jadi lebih peduli terhadap tubuhnya dan bisa segera diberikan asupan ARV agar tak menjadi AIDS.

Data ini juga didukung oleh angka kematian yang juga semakin mengecil. Data Kemenkes menunjukkan angka kematian 0,21 persen. Angka ini menurun drastis dibandingkan 10 tahun lalu ketika pada 2005 angka kematian bahkan mencapai 13,6 persen. Untuk tahun 2014 sendiri angka kematian menunjukkan angka 1,22 persen dari keseluruhan penderita HIV/AIDS di Indonesia.

Untuk diketahui, infeksi HIV di Indonesia terdeteksi pada 1985, yang mana ada seorang  perempuan berusia 25 tahun dengan hemofilia dinyatakan terinfeksi HIV di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ). Namun, pemerintah menyatakan belum menemukan orang yang benar-benar terjangkit penyakit AIDS.

Pada 1987, seorang wisatawan asal Belanda meninggal di RS Sanglah, Bali. Kematian pria berusia 44 tahun itu diakui pemerintah disebabkan AIDS. Indonesia masuk dalam daftar WHO sebagai negara ke-13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS.

Kabar baik tak hanya dari angka statistik yang menunjukkan perubahan yang semakin tahun semakin signifikan, tapi juga banyaknya pihak yang mulai peduli terhadap ODHA. Ayu Oktariani selaku salah satu aktivis peduli orang dengan HIV/AIDS (ODHA), memisalkan, lima sampai sepuluh tahun silam para ODHA susah sekali mendapatkan pekerjaan sehingga memaksa mereka berada dalam keadaan semakin terpuruk.

 

Hari ini sudah banyak perusahaan yang membuka peluang besar bagi para ODHA. Tak hanya menjadikan bebas HIV/AIDS sebagai salah satu syarat untuk bisa bekerja, perusahaan-perusahaan bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai perusahaan yang bangga dan percaya menempatkan ODHA sebagai manusia yang memiliki hak yang sama dengan orang tanpa HIV/AIDS.

Selain itu, Ayu sendiri mengungkapkan bahwa pelayanan rumah sakit tak lagi diskriminatif. Penemuan obat ARV kini bukan lagi kendala. Sekitar 500 lebih rumah sakit di setiap provinsi sudah menyediakan obat ARV secara gratis. Pelayanan pun tak lagi lamat-lamat tertutup karena masyarakat sendiri sedikit demi sedikit sudah mulai terbuka terkait pentingnya mendeteksi dini tubuhnya dari HIV AIDS. Penyuluhan serta layanan terpadu sudah bisa diakses oleh masyarakat.

"Ini menjadi kabar baik bagi kami. Karena, angka kematian bisa ditekan. Apalagi, kini para masyarakat berisiko, seperti para pekerja seks dan pecandu dengan jarum suntik sedikit demi sedikit sudah mau terbuka untuk memeriksakan kondisi tubuhnya. Akses untuk mendeteksi dini juga sudah cukup terbuka," ujar Ayu saat dihubungi Republika, Senin (16/11).

Ini juga yang menjadi salah satu program dari Kementerian Kesehatan selaku leading sector dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Sigit mengatakan, pemberian obat ARV sendiri sudah bisa ditemukan bahkan pada layanan kesehatan tingkat pertama di kecamatan-kecamatan. Sigit mengatakan, di daerah yang memiliki banyak ODHA sudah diberikan layanan pemeriksaan antibodi dan pemberian ARV secara gratis.

Sigit mengatakan, pada tahun ini saja program tujuh juta pemeriksaan antibodi gratis menjadi salah satu program unggulan Direktorat Pencegahan Penyakit Menular Kemenkes di seluruh Indonesia. Program ini merupakan program terbuka agar masyarakat peduli terhadap tubuhnya, juga bagi para masyarakat berisiko bisa dengan leluasa dan tanpa ragu memeriksa tubuhnya.

Asisten Deputi Penguataan Kelembagaan Komisi AIDS Nasional Halik Sidik juga mengamini hal ini. Ia mengatakan, catatan Komnas AIDS menunjukkan bahwa mainstreaming isu HIV/AIDS sudah lebih baik dari dahulu kala. Ketika angka kematian sempat menjadi momok pada awal tahun 2000-an, kini angka kematian semakin tahun semakin menurun. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan paradigma masyarakat terhadap isu HIV/AIDS sendiri.

Halik menuturkan, mekanisme penularan juga tak berubah, dari awal ditemukan hingga kini penularan terhadap HIV /AIDS hanya melalui tiga cara. Pertama, penggunaan jarum suntik tidak steril, hubungan seksual yang berisiko, dan penularan secara langsung dari ibu hamil ke anak. Halik sendiri menepis jika penularan berekspansi melalui cara-cara lain. Karena, kontak fisik tidak pernah menjadikan orang terkena HIV/ AIDS.

Untuk masa inkubasinya pun tidak kemudian menjadi endemik yang parah. Hingga saat ini, Halik mengatakan, indikasi positif HIV/AIDS masih berada pada jangka waktu lima sampai sepuluh tahun. Dengan masifnya isu HIV/AIDS di kalangan masyarakat, penyebaran menjadi bisa ditekan. Orang yang tahu bahwa dirinya berisiko HIV/AIDS sesungguhnya bisa menjadi tameng utama untuk penyebaran.

n c15 ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement