Rabu 02 Sep 2015 14:57 WIB

Tidak Ada Upaya Kriminalisasi Kebijakan

Red:

Ketua Dewan Pembina APKASI Isran Noor menegaskan, para kepala daerah tidak pernah meminta dilindungi agar leluasa korupsi. Namun, mereka hanya ingin diskresi tidak sampai dikriminalisasi sebagai tindak pidana. "Kalau memang mereka koruptor, nggak usah dilindungi," ucap dia, beberapa waktu lalu.

Karena itu, dia mendukung keinginan Presiden Jokowi untuk menerbitkan perpres ataupun surat edaran terkait perlindungan diskresi. Sehingga, di satu sisi, kesalahan administrasi tidak dibawa ke ranah pidana. Di sisi lain, penyerapan anggaran di daerah-daerah dapat tergenjot, mengingat situasi ekonomi nasional yang sedang melesu kini.

Hal ini rupanya mendapat sinyal baik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji menjelaskan, dalam melaksanakan kewenangannya, KPK punya batas yang tidak sampai mengganggu jalannya penggunaan anggaran.

Dia menegaskan, para kepala daerah tidak perlu takut bila memang menggunakan anggaran negara sebagaimana mestinya. Yakni, sesuai dengan APBD setempat. Terkait diskresi kebijakan, pihaknya menegaskan jarak.

"Tidak ada kriminalisasi kebijakan maupun kriminalisasi korporasi karena memang sejak awal KPK tidak pernah touching terhadap policy (kebijakan) pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pembangunan, termasuk pengadaan barang/jasa," ujar Indriyanto Seno Adji dalam pesan singkatnya, Sabtu (29/8).

Selain itu, lanjut pakar hukum pidana UI ini, patut diketahui oleh semua kepala daerah bahwa KPK mempunyai kewenangan sadap yang efektif menangkap basah setiap penyelenggara negara. Karena itu, niat untuk mencari keuntungan pribadi dari uang rakyat akan cepat terdeteksi. Hal ini pun, Indriyanto menekankan, seyogianya menjadi peringatan dini bagi setiap kepala daerah untuk berani jujur sekaligus takut berbuat curang.

"Lebih dari 75 persen kasus korupsi (yang ditangani) di KPK adalah kasus suap dan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap penyelenggara negara (PN). Sehingga, dalam upaya preventif, KPK selalu memberikan warning untuk (kepala daerah) tidak melakukan korupsi," jelas dia.

Namun, apakah perpres Presiden Jokowi ini akan efektif menggenjot perekonomian? Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menjawab pesimistis. Dia menekankan, pokok persoalannya lebih dari sekadar penyerapan yang lamban. Akan tetapi, ketidakmampuan pemerintah mengantisipasi dinamika ekonomi global.

"Artinya, pertumbuhan nggak mungkin lebih dari level 4,7-4,8 persen di tahun ini. Kalau begitu, kemiskinan naik, pengangguran naik, ketimpangan naik. Ini sudah pukulan telak buat kabinet ini yang salah merespons ekonomi global," ucap Ichsanuddin Noorsy kepada Republika, Sabtu (29/8).

Dia menegaskan, perpres itu nantinya hanya memberikan gambaran bahwa kebijakan diskresi kepala daerah tidak bisa dipidanakan. Ini hanya obat jangka pendek yang tak pasti. "Kalau dalam faktanya kebijakan (diskresi) itu justru menunjukkan keuntungan pihak tertentu, bagaimana?" kata dia retoris. n c14 ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement