Kamis 04 Jun 2015 14:00 WIB

Polemik Jurnalis Asing di Papua

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pernyataan Presiden Joko Widodo, Ahad (10/5), yang mengumumkan bahwa wartawan asing bebas masuk ke Papua seperti halnya ke daerah lain di Indonesia, menuai polemik. Tanggapan positif dan negatif menyambut pernyataan Presiden yang lebih akrab disapa Jokowi tersebut.

DPR mengingatkan soal potensi dampak buruk dari kebebasan tersebut. Sementara, pemerintah dan TNI seolah masih setengah-setengah menanggapi kebijakan Presiden.

TNI AD mendukung sepenuhnya kebijakan Presiden tersebut. Namun, kebebasan akses ini harus sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Menurut Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI AD Brigjen TNI Wuryanto, TNI AD pun tetap akan waspada dan berhati-hati dalam menyikapi kebijakan ini. "Hal itu (kebijakan masuknya jurnalis asing) cukup baik dan kami mendukung. Tapi, kami juga tetap waspada dan hati-hati," kata Wuryanto.

Kehati-hatian dan sikap waspada ini diwujudkan dengan adanya laporan dan data-data yang masuk ke jajaran TNI AD terkait adanya jurnalis asing yang masuk ke Papua. Semua dokumen dan data haruslah resmi dan sesuai dengan perizinan dari pihak-pihak yang berwenang.

Pemerintah lewat Badan Intelijen Negara (BIN) akan tetap melakukan pemantauan terhadap jurnalis-jurnalis yang masuk ke Papua. "Kami pantau kegiatan mereka. Kami harus waspadai kepentingan-kepentingan tertentu. Aparat BIN akan terus ada, kami akan pantau mereka," kata Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno.

Tedjo menambahkan, BIN sudah mengantongi data terkait media asing yang akan mengirimkan jurnalisnya ke Papua. Namun, Tedjo memastikan, bagi media asing yang dianggap tidak memiliki kepentingan tertentu, pasti akan diizinkan masuk ke Papua. "Alert harus terus ada, tidak boleh seenaknya," katanya melanjutkan.

Selain itu, dalam melakukan penyaringan terhadap jurnalis asing yang hendak masuk ke Papua, akan ada mekanisme pemeriksaan yang disebut clearance house. Pemeriksaan ini termasuk kelengkapan dokumen, tujuan, dan rencana peliputan di Papua. Pemantauan terhadap jurnalis asing itu juga penting terkait keselamatan dari jurnalis tersebut selama di Papua.

Tedjo menambahkan, tidak ada pengamanan khusus yang dilakukan aparat di Papua terkait kebebasan akses di Papua ini. "Mereka bertugas normal saja. Papua bukan daerah operasi militer, biasa saja. Tapi, pengamanan tetap kami lakukan," ujar mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) itu.

Menurut Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, masuknya jurnalis asing ke Papua akan sepenuhnya didukung. Asalkan jurnalis asing itu bisa mengomunikasikan apa yang dibutuhkan Indonesia dan masyarakat Papua, serta memberikan gambaran soal kondisi sebenarnya. "Kalau sudah mulai menghasut, ya diusir saja, gitu aja repot. Kalau sudah menghasut-hasut ada hukumnya itu," ujar Ryamizard saat menghadiri Silaturahim Menhan dengan Wartawan Media Massa di Kantor Kemenhan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (26/5).

Untuk itu, Menhan mengharapkan adaya kepekaan dari semua pihak, termasuk kepekaan dari aparat keamanan setempat. Kepekaan ini termasuk melakukan pengenalan dan pemantauan terhadap masuknya jurnalis asing ke Papua.

Mantan anggota DPD asal Papua, Paulus Yohanes Sumino, mengingatkan potensi penyalahgunaan dari kebijakan pembukaan akses pada wartawan asing untuk meliput di Papua. Paulus mengatakan, keberadaan media asing dapat dimanfaatkan oleh sekelompok masyarakat yang menginginkan kemerdekaan.

"Itu kelebihan dosis yang bisa membahayakan. Ketidakpuasan Papua bisa di-blow up wartawan asing dan itu bisa jadi bumerang yang membahayakan Jokowi," kata Paulus saat dihubungi, Sabtu (16/5).

Paulus mengatakan, ketidakpuasan masyarakat terhadap Pemerintah Indonesia sangat rentan untuk dimanfaatkan. Belum lagi, lanjutnya, persoalan hak asasi manusia (HAM) yang masih belum selesai di Papua yang juga rawan menjadi bahan provokasi.

Oleh karena itu, Paulus meminta pemerintah untuk tidak terlalu membebaskan wartawan asing dan melakukan pengawasan dengan sangat ketat.

"Menkominfo harus mampu kendalikan dengan kebijakan yang bijaksana, dibuka dalam koridor tertentu, tapi juga diberikan warning. Cina terbuka tapi tidak semua dibuka. Eropa, Amerika juga begitu," ujarnya.

Sedangkan, Komisi I DPR mengingatkan pemerintah soal bebasnya pers asing di Papua. Ketua Komisi I Mahfuz Sidik mengatakan, kebijakan Jokowi yang memberikan kebebasan media luar negeri melakukan peliputan di Bumi Cenderawasih berpotensi melanggar undang-undang.

Politikus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menerangkan, Undang-Undang Penyiaran (32/2002) mengatur soal hadirnya media asing. Menurut dia, Pasal 30 soal Lembaga Penyiaran Asing menyebutkan, kegiatan jurnalistik wartawan asing harus memenuhi peraturan perundang-undangan.

"Jadi, tidak bisa bebas masuk begitu saja. Pernyataan Presiden Jokowi berpotensi melanggar UU," kata Mahfuz, Senin (11/5). Mahfuz menjelaskan, aktivitas media asing di Papua itu harus tetap melewati perizinan.

Sebenarnya, Mahfuz mengatakan, pengaturan soal pers asing itu bukan cuma di Papua. Sebab, regulasi tersebut tak mengkhususkan wilayah tertentu. Hanya, wilayah di ujung timur Indonesia tersebut memang memberlakukan pengetatan untuk media asing.

Bukan lantaran selama ini pemerintah mengekang kebebasan pers. Namun, lebih pada distorsi informasi yang disajikan media asing terkait kebijakan pemerintah terhadap kondisi dan masyarakat di Papua. Selain itu, kata dia, selama ini kehadiran pers asing di Papua lebih dijadikan moncong kampanye oleh kelompok separatisme dan pembebasan Papua dari NKRI.

Ketua Dewan Pers Bagir Manan menilai hal tersebut merupakan langkah yang bijak. "Wartawan asing bebas keluar masuk Papua, itu lebih baik," ujar Bagir.

Bagir menilai, bebasnya wartawan asing tersebut dapat menunjukkan kepada dunia internasional kondisi yang ada di Papua. Bagir mengakui hal itu sudah cukup lama dibicarakan dengan pemerintah.

"Saya kira pemerintah sekarang cukup responsif, saya kira dunia internasional juga harus mengetahui apa yang ada di Papua," kata Bagir.

 Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Ilham Bintang mengungkapkan, Pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir soal pemberitaan Papua yang ditulis jurnalis-jurnalis mancanegara. Karena, jika ada kesalahan pemberitaan tentang Papua, tambahnya, Indonesia memiliki hak untuk mengoreksi berita tersebut.

Ilham meyakini, para jurnalis asing yang akan meliput dan memberitakan soal Papua juga pasti tidak datang dengan nihil pengetahuan budaya dan tradisi di sana. "Mereka pasti akan mencari mitra dan membaca tentang satu suku atau kebudayaan tertentu sebelum meliput," kata Ilham menerangkan.

Dengan begitu, Ilham merasa tidak ada yang perlu ditakutkan dari hal tersebut. "Karena mereka (jurnalis asing) juga pasti mengerti, misalnya soal konflik, bahwa itu bagian dari kultur Papua," ucapnya. rep: Reja Irfa Widodo, Agus Raharjo c20/c23/c82/Dyah Ratna ed: Muhammad Hafil

***

infografis

Sejumlah Jurnalis Dideportasi

8 Juli 2010

Edouard Jerome Francuise, seorang jurnalis yang memilik visa wisatawan, ditangkap aparat intelijen Polresta Jayapura saat meliput unjuk rasa ribuan warga yang menuntut referendum.

8 Februari 2012

Jurnalis Ceko, Peter Zamecnik, ditangkap polisi saat meliput aksi demo yang digelar West Papua National Authority di Papua Barat. Visa yang dimilikinya, yakni wisatawan, bukan kerja.

1 Desember 2012

Jurnalis Ukraina, Wanipenko Shapirenko, ditangkap polisi setelah diketahui hadir dan meliput perayaan hari kelahiran Organisasi Papua Merdeka di Manokwari, Papua.

2014

Thomas Dandois, jurnalis Prancis, sempat ditahan karena hendak meliput kegiatan OPM.

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement