Kamis 22 Jan 2015 15:00 WIB

Sulitnya Mewujudkan Budaya Mundur

Red:

Komjen Pol Budi Gunawan terlihat gagah saat menjalani fit and proper test di Komisi III DPR, Kamis (15/1) lalu, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Mengenakan seragam lengkap, Budi kemudian dengan penuh percaya diri memberi hormat di hadapan para wakil rakyat setelah DPR memutuskan meloloskan Budi dari fit and proper test tersebut.

Sejumlah anggota Komisi III yang hadir kemudian menghampirinya dan memberi selamat. Mereka kemudian berfoto bersama.

Pada saat itu, Budi terlihat penuh percaya diri menatap masa depannya sebagai calon kapolri yang akan dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Padahal, pada saat menjalani fit and proper test itu dia sudah berstatus sebagai tersangka KPK dalam sebuah kasus korupsi.

Tak ada keinginan untuk mundur bagi Budi yang sudah berstatus sebagai tersangka itu dari posisi calon kapolri. Atau, jabatan dia saat ini sebagai kepala Lembaga Pendidikan Polri (kalemdikpol).

"Semua ada prosesnya, termasuk di DPR, dan kalau DPR tidak yah …," kata Budi ketika ditanya pers apakah dia akan mundur dari calon Kapolri menyusul status tersangka dari KPK, usai menjalani fit and proper test tersebut. Dan, hingga saat ini pun Budi belum menyatakan mundur sebagai calon kapolri ataupun sebagai kalemdikpol meski dia sudah berstatus sebagai tersangka.

Mundur sepertinya memang belum menjadi tradisi bagi para pejabat di negeri ini yang tersangkut sebuah kasus hukum. Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Oce Madril mengatakan, pejabat yang tersandung kasus korupsi sudah seharusnya mengundurkan diri. Hal tersebut, menurutnya, karena perkara korupsi merupakan perkara yang berhubungan dengan jabatan atau disebut juga dengan kejahatan jabatan.

"Orang yang melakukan kejahatan jabatan itu tidak layak untuk menjabat. Logikanya seperti itu," kata Oce kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Oce mengatakan, seseorang yang terlibat kasus hukum tidak akan bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Proses hukum yang terus berjalan, lanjutnya, pasti akan membuat pekerjaan pejabat yang menjadi tersangka menjadi terbengkalai.

Penyalahgunaan wewenang, pun, kata Oce, sangat mungkin terjadi. "Kalau dia tetap menjabat, dia bisa menggunakan kewenangannya untuk kepentingan kasusnya," ujarnya.

Selain secara logika, Oce mengatakan, secara hukum juga telah diatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Ia menyebutkan, aturan seperti Tap MPR Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 seharusnya menjadi dasar untuk mendorong pejabat yang terlibat korupsi agar mengundurkan diri.

Selain itu, Oce mengatakan, secara moral dan etika, pejabat yang tersangkut hukum sudah selayaknya tidak berkeras untuk tetap menjabat. "Jadi, tidak melulu persoalan hukum, tapi juga ada etika penyelenggara negara. Kalau memang melakukan perbuatan tercela, tersangkut masalah hukum, itu lebih baik mundur. Karena, ini kan juga demi menjaga marwah atau kewibawaan pemerintah," kata Oce.

"Orang yang menjabat di pemerintahan tapi di sisi lain juga tersangkut kasus korupsi, misalnya, itu kan meruntuhkan kepercayaan masyarakat dan mengurangi kewibawaan pemerintah. Itu yang harus dijaga sebetulnya," ujarnya menambahkan.

Sementara itu, Juru Bicara Partai Demokrat Didi Irawadi mengatakan, sebenarnya lebih elok kalau Budi segera mundur dari pencalonan kapolri yang diajukan oleh Presiden Jokowi. "Kalau menurut saya, sebaiknya Pak BG mundur saja. Nonaktif lebih baik sebab sudah jadi tersangka KPK," kata Didi.

Ini, ujar dia, perlu dilakukan agar Budi tidak menjadi beban di Mabes Polri. Mundur merupakan jalan terbaik yang harus dilakukan, apalagi mengalah bagi kemaslahatan umum.

Budi akan terlihat jauh lebih mulia dan terhormat apabila dia berkonsentrasi pada proses hukum yang ada. Sebab, untuk menghadapi proses hukum membutuhkan konsentrasi dan energi lebih sehingga tidak bisa dibiarkan begitu saja. "Dengan demikian, maka mundur atau setidak-tidaknya nonaktif dari jabatannya itu tentu lebih elok. Masyarakat akan lebih menghargai hal itu," kata Didi.

Partai Demokrat sendiri, terang dia, telah memberikan contoh yang  baik terkait masalah itu. Saat terdapat kader Demokrat yang menjadi tersangka KPK, mereka dengan sendirinya mundur. "Tanpa perlu diminta oleh Demokrat, mereka mundur dengan sendirinya. Sikap seperti ini yang sebaiknya dilakukan," kata Didi.

Apalagi, jika Budi mundur dari pencalonan sebagai kapolri, maka nama institusi tempat bernaungnya akan lebih terjaga kehormatannya. Ini merupakan sikap yang seharusnya dilakukan.

Berbeda dengan Oce dan Didi, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin mengatakan, meski telah berstatus sebagai tersangka, Budi Gunawan belum tentu diputuskan bersalah. "Tidak bisa seseorang kehilangan karier atau pekerjaan karena sembarang dijadikan tersangka," ujar Irman, Senin (19/1).

 

Irman menjelaskan bahwa keputusan bersalah atau tidaknya Budi Gunawan baru bisa diputuskan di pengadilan. Saat ini masih ada kemungkinan ia tidak dinyatakan bersalah atas kasus yang menimpanya. "Tidak apa-apa Budi Gunawan masih terus maju dalam pencalonan," ungkap Irman.

 

Menurutnya, Budi Gunawan tidak perlu mundur dari pencalonan kapolri. Sebab, yang langsung menunjuk Budi Gunawan menjadi calon adalah Presiden RI. "Pencalonan kan langsung dari Presiden, untuk apa mundur?" kata dia.

 

Ia mengatakan bahwa saat ini tidak boleh ada pihak yang memaksanya untuk mundur. Status tersangka yang disandang Budi Gunawan belum membuktikan dia benar-benar terlibat ke dalam kasus yang tengah menjeratnya. "Tidak ada larangan seseorang yang dalam status tersangka untuk terus mencalonkan diri sebagai pejabat publik," jelasnya.

 

Irman menyayangkan keputusan Presiden Jokowi yang menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri. Jokowi saat ini lebih memilih untuk menunjuk Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas (plt) kapolri.

 

Hal tersebut, menurutnya, menunjukkan sisi kelemahan kekuatan presidensial Jokowi. Padahal, penunjukkan plt kapolri bukan merupakan langkah praktis yang harus dilakukan selama pemerintah bisa langsung melantik kapolri. "Jika ada calon kapolri yang sudah disetujui, kenapa harus ada pengangkatan plt lagi?" ungkapnya. rep: Dyah Ratna Meta Noviac82/c09 ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement