Kamis 11 Dec 2014 13:00 WIB

Demi Ibu dan Si Buah Hati

Red:

Pukul 05.30 WIB Risnawati (35 tahun) mencium kening anak laki-lakinya yang berusia empat tahun. Si anak masih terlelap saat Risnawati membuka pintu pagar rumahnya di Cibinong, Kabupaten Bogor.

Ia harus mengejar bus trayek Cibinong-Tanah Abang yang mengantarnya di gedung-gedung perkantoran, Jalan Sudirman, Jakarta. Sebab jam kerjanya dimulai pukul 08.00 WIB dan berakhir pada 17.00 WIB. Ia baru kembali di rumah pada pukul 19.00 atau 19.30 malam. Jika masih beruntung, ia masih bisa menonton televisi bersama anaknya. Jika tidak, ia harus melihat si anak telah tidur setelah dininabobokan oleh ibunya atau nenek si anak.

Ia melakukan itu selama lima hari dalam sepekan, Senin hingga Jumat. Ada rasa bersalah dalam dirinya karena sedikit memiliki waktu dengan anaknya. Tetapi, untuk berhenti dari pekerjaan, ia belum siap. Karena gaji dari suaminya tak cukup untuk membayar cicilan rumah dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Senyuman Risnawati mengembang saat ia membaca sebuah berita di media massa bahwa pemerintah berwacana mengurangi jam bagi pekerja perempuan hingga dua jam. Terbayang olehnya bisa pulang jam 15.00 WIB dan sampai rumah pada 17.00 WIB. "Lumayan kalau memang iya. Pukul segitu saya masih bisa main di taman kompleks dan menyuapi anak saya makan," kata Risnawati.

Ia tak peduli nantinya gajinya akan berkurang jika wacana itu benar-benar diwujudkan. Karena, baginya bekerja bagi seorang perempuan hanya sekadar membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga. "Tapi saya yakin pasti aturannya nanti adil, tak mungkin gaji akan menurun drastis," ujarnya.

Wacana pengurangan jam kerja ini terlontar oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pada Selasa (25/11) saat menerima kunjungan Ketua Umum Persatuan Umat Islam (PUI) Nurhasan Zaidi di kantor Wakil Presiden. Gagasan ini dicetuskan karena keprihatinan JK terhadap nasib anak bangsa saat ini. JK khawatir kondisi anak bangsa justru tak diperhatikan jika peran ibu untuk mendidik anak-anaknya berkurang. JK mengutarakan dua jam pengurangan kerja bagi pekerja perempuan.

Wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan menuai reaksi berbeda dari kaum Hawa yang ikut mencari nafkah bagi keluarga. Ada yang menyambut baik seperti Risnawati tadi, namun tak sedikit yang mencibir karena wacana itu dianggap meremehkan kemampuan perempuan untuk berkarya.

Seperti Ardila Sani, buruh pabrik sepatu asal Lampung, tak setuju dengan wacana tersebut. Menurutnya, kebijakan tersebut justru akan menimbulkan kerugian terhadap perempuan sendiri.

Ia mengatakan bahwa perusahaan tentunya tidak akan mau rugi. Jika jam kerja perempuan dikurangi, tetap membayar gaji yang sama dengan laki-laki, perusahaan pasti lebih memilih merekrut pekerja laki-laki dan akan berpikir ulang untuk menerima pekerja perempuan.

"Perusahaan mana mau rugi. Kalo jam kerja perempuan dikurangi tapi gaji masih sama kayak laki-laki, lama-lama perusahaan tidak mau lagi nerima perempuan, dong!" kata wanita berumur 22 tahun tersebut.

Karena, menurut Dila, sapaan akrabnya, perusahaan tentunya mempunyai target produksi. Target produksi itulah yang terkadang membuat karyawan bekerja lembur. Jadi, jika jam kerja dikurangi, akan sangat berpengaruh pada target produksi. "Makanya, kalo mikir-mikir kan, kalo saya punya perusahaan, lebih milih karyawan laki-laki," ujarnya.

Wanita yang bekerja dari pukul 07.00 hingga 16.00 lebih menuntut pemerintah memperhatikan pekerjaan yang dilakukan para buruh pabrik perempuan. Menurutnya, banyak perempuan di pabriknya bekerja lebih dari kapasitas kekuatannya. Artinya, banyak perempuan yang melakukan pekerjaan berat yang seharusnya secara fisik dilakukan oleh laki-laki.

"Yang harus diperhatikan itu posisi pekerjaannya, seharusnya jangan terlalu berat dan sesuai kodratnya saja. Karena, masih banyak perusahaan yang menempatkan perempuan di posisi yang seharusnya dikerjakan laki-laki," katanya.

Dila mencontohkan, masih banyak perempuan di perusahaannya yang bekerja mengoperasikan mesin pressing sepatu yang begitu berat. "Padahal, posisi itu sangat berisiko banget bagi perempuan," ujarnya.

Early (34), seorang PNS di Pemkot Sawahlunto, Sumatra Barat, mengaku antara senang dan bingung dengan wacana kebijakan tersebut. Menurutnya, ia senang karena bisa mengurus dua orang anaknya yang masih bayi. Namun, tidak senangnya ia khawatir kebijakan itu akan memunculkan stigma negatif terhadap citra PNS. "PNS ini kan yang jeleknya dikenal orang tak produktif, ini jamnya dikurangi pula. Bisa makin sinis orang sama kita dan kita bisa dinilai makan gaji buta," katanya.

Namun, sebagai seorang abdi negara yang sudah lima tahun bertugas, ia mengaku hanya mematuhi aturan yang ditetapkan oleh para pemimpin negara. Baik dikurangi atau tidak jamnya, ia mengaku tetap akan semangat memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyatakan bahwa pengurangan jam kerja perempuan sama saja merumahkan perempuan. Hal ini merupakan diskriminasi terhadap perempuan.

Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, ada gagal konsep dari wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan ini. Jika alasan pengurangan jam kerja bagi perempuan karena masalah pengasuhan dan konsepsi ideal seorang ibu, hal itu dianggap sebagai beban ganda perempuan.

Selama ini, stigma terhadap perempuan berkarier, yaitu perempuan yang tak bisa mengurus rumah tangga. Padahal, perempuan berkarier merupakan hak dan terkadang merupakan tuntutan hidup. Dengan merumahkan perempuan maka terjadi beban ganda yang harus disandang perempuan. Satu sisi sebagai pencari nafkah, disisi lain sebagai ibu rumah tangga.

Andy mengatakan, semestinya bukan jam kerja yang dikurangi, melainkan perbaikan infrastruktur negara yang mampu mendukung perempuan dalam menjalankan perannya. Misalnya, memperbaiki infrastruktur transportasi agar perempuan bisa mengakses transportasi yang aman dan cepat agar waktu tak habis di jalan.

"Komnas Perempuan mengingatkan bahwa niat baik saja tidak menjamin kebijakan yang dihasilkan tidak memiliki muatan yang diskriminatif," ujar Andy.

Komnas Perempuan menilai kebijakan ini akan meminggirkan perempuan di dunia kerja sebab ia akan dipandang sebagai tenaga kerja yang tidak kompetitif dan tidak produktif. Artinya, dengan "merumahkan perempuan" untuk semua alasan di atas, realisasi usulan ini merupakan langkah mundur dalam upaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan.

Komnas Perempuan juga menegaskan agar pemerintah ketika membuat kebijakan tak hanya mengambil dari isu personal, tetapi juga melihat aspek HAM dan melalui pendekatan yang komperhensif sehingga tak menimbulkan diskriminasi baru dalam sebuah kebijakan.

Menanggapi pro dan kontra wacana tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa wacana pemangkasan jam kerja perempuan hanya diperuntukkan bagi para perempuan yang memiliki anak. Pernyataannya ini disampaikan guna menjawab kritikan yang menyebut kebijakan itu dapat mendiskriminasikan kaum perempuan.

"Siapa yang protes? Siapa bilang. Orang salah pengertian. Hanya kepada ibu-ibu yang punya anak kecil sampai SD. Hanya yang punya anak kecil mau menyusui, antar ke sekolah supaya bangsa ini tetap merasa cinta kepada keluarga, jangan seperti anak dilupakan," katanya.

Ia melanjutkan, jika wacana ini memang direalisasikan, kebijakan tersebut hanya berlaku hingga anak berusia enam tahun. "Range enam tahun. Tidak semua. Fitrah perempuan harus menyusui," ujar JK. Tak hanya itu, menurutnya, kantor tempat sang ibu bekerja juga harus menyediakan tempat penitipan anak.n c97/c15/c01/rr laeny Sulistyawati/ira sasmita ed: muhammad hafil

***

Yang Mendukung dan Menolak

Mendukung:

- Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi (Kak Seto)

"Wacana ini sebagai upaya untuk menciptakan kualitas manusia unggul di masa depan. Karena itu, para pria juga dituntut kebesaran jiwanya jika wacana ini jadi diterapkan."

- Plt Kepala BKKBN, Fasli Jalal

"Bagus ya karena kita merasa ini untuk memastikan setiap anak yang lahir menjadi manusia berkualitas."

Menolak

- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Yohana Susana Yembise

"Secara pribadi saya berpendapat, pengurangan jam kerja untuk perempuan berpotensi menimbulkan diskriminasi. Hal tersebut mengesankan bahwa kedua gender belum setara."

- Aktivis Jurnal Perempuan dan Pelita Universitas Indonesia, Gadis Arivia.

"Pengurangan jam kerja perempuan merupakan wacana yang tidak masuk akal dan tanpa basis data."

***

Dasar Hukum Pengurangan Jam Kerja

*Pasal 83 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pekerja atau buruh perempuan yang anaknya masih disusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

*Pasal 128 UU No 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.

*Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) No 183 tahun 2000 pasal 10

Perempuan harus diberi hak istirahat harian atau pengurangan jam kerja harian untuk menyusui anaknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement