Kamis 27 Nov 2014 14:00 WIB

Luka di Lahan Adat

Red:

Perlahan, Yakobus (50 tahun) melucuti kemeja batik sewarna tanah yang ia kenakan. Kemudian dengan malu-malu, ia pertunjukan badan tak berbajunya di hadapan puluhan orang yang hadir di aula Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Barat (NTB).

Tujuan Yakobus bukan memamerkan otot-ototnya yang ditempa kerja sebagai peladang. Adapun yang hendak ia perlihatkan, bekas luka tembak di rusuk kanan dan kiri.

Yakobus merupakan anggota masyarakat adat Colol yang hidup di Enderao, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada Jumat (14/11) ia bersaksi terkait klaim masyarakat adat yang bermigrasi puluhan tahun silam dari Kerajaan Gowa di Sulawesi itu atas tanah dalam wilayah kawasan hutan yang berbatasan dengan tempatnya tinggal.

Mulanya, menurut keterangan pihak Colol,  pemerintah Hindia Belanda menyingkirkan komunitas Colol dari wilayah mereka dan menetapkan kawasan hutan. Tahun 1980, Pemkab Manggarai menetapkan kembali tapal batas hutan pada masa kolonial. Pada 1993 kawasan hutan diserahkan Balai Besar Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTT.

Belakangan, penetapan itu disusul dengan penertiban di kawasan hutan. Tanaman masyarakat Colol yang dinilai melanggar batas kemudian ditebangi.

Rombongan tim terpadu dari Pemkab Manggarai terus melakukan penertiban hingga pada 9 Maret 2004, lima warga Colol dan dua dari desa tetangga ditangkap dan dibawa ke Polres Manggarai karena kedapatan merambah kawasan hutan yang juga diklaim kedua pihak. Dari situ kisah luka tembak Yakobus dimulai.

Sehari selepas penangkapan, Yakobus berangkat menumpang truk bersama sekira 200 warga Colol. Mereka bertolak ke Polres Manggarai untuk menuntut pembebasan warga yang ditangkap. "Ketika sampai di polres, kami mulai ditembaki," kata penerjemah mengartikan penuturan Yakobus yang ia sampaikan dalam bahasa Colol pada dengar keterangan umum Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Adat Atas Wilayahnya di dalam Kawasan Hutan untuk Regional Bali-Nusa, Jumat.

Salah satu tembakan mengenai kaki kanan Yakobus. Ia kemudian berupaya lari karena peluru masih dimuntahkan petugas polisi yang berjaga menghadapi massa. Belum jauh, timah panas kembali menerjang. Masuk dari rusuk kanannya, tembus ke rusuk kiri. Ia kembali mencoba berlari, namun lagi-lagi peluru menembus paha kanannya dan Yakobus tersungkur.

Tak bisa ke mana-mana, ia didatangi seorang petugas polisi. Popor senapan laras panjang menghantam wajahnya. Ia lalu diangkut petugas ke rumah sakit dan akhirnya terselamatkan nyawanya setelah upaya penyembuhan berbulan-bulan. Kendati demikian, Yakobus tak bisa benar-benar pulih.

Yakobus termasuk yang beruntung. Karena, setidaknya lima orang yang berangkat bersama dirinyaa tewas di tempat kena pelor polisi.

Kasatreskrim Polres Manggarai, Iptu Edy, mengatakan, penembakan oleh polisi dilakukan karena terpaksa. Menurutnya, tim negosiasi yang dikirim kepolisian justru dikejar warga dengan parang dan kayu hingga ke dalam gedung polres. "Pak kapolres waktu itu sampai harus kabur dengan memecahkan kaca," ujarnya dalam dengar keterangan.

Merasa terdesak, kata Edy, kapolres memerintahkan gudang senjata dibuka dan akhirnya jatuh korban. Ia menegaskan, kapolres yang menjabat saat itu sudah divonis bebas oleh pengadilan dan dinilai memang mengeluarkan perintah karena terpaksa. Selain itu, warga yang ditahan juga telah dibebaskan.

Sejauh ini, persoalan sengketa lahan adat Colol belum pungkas. Belum ada peta yang disepakati bersama terkait batas-batas wilayah. Namun, langkah-langkah penuntasan sudah mulai digagas. Walaupun, tak ada target kapan permasalahan tuntas.

Hampir tujuh tahun selepas peristiwa di Manggarai, di pulau seberang, sengketa lahan juga berakibat fatal. Saat itu yang bersengketa, yakni masyarakat adat Pekasa melawan Pemkab Sumbawa, NTB, terkait kawasan hutan lindung di Lunyuk.

Masyarakat Pekasa mengklaim sebagian kawasan hutan lindung dengan bukti sejumlah situs dan makam kuno leluhur meraka di lokasi tersebut. Setiap Lebaran dan hari Jumat, warga Pekasa masih melakukan ritual dan ziarah di tempat-tempat tersebut.

Karena merasa wilayah itu milik mereka, warga Pekasa tak segan membangun rumah dan kebun di wilayah yang disengketakan. Tindakan ini kemudian berujung bencana pada dini hari Rabu, 21 Desember 2011.

Edi Kuswanto, wakil dari Pekasa yang bersaksi di inkuiri, menuturkan, Pemkab Sumbawa didampingi sejumlah aparat keamanan mendatangi "kampung" yang mereka dirikan pada pukul 03.00 dini hari. "Kami hanya diberikan waktu dua menit untuk mengosongkan tempat karena kami dianggap menempati wilayah hutan lindung," kisah Edi.

Permintaan itu tentu tak disambut warga Pekasa. Mereka meradang dan senapan petugas keamanan kemudian menyalak. Tak lama, rumah-rumah yang didirikan warga Pekasa dibakar.

Sebagian warga berlindung di masjid, sedangkan lainnya lari ke hutan. Kepala adat Pekasa kemudian ditahan. Edi menuturkan, saat pembakaran terjadi, tiga perempuan mengalami keguguran. Satu ibu dan jabang bayinya tak terselamatkan. Satu ibu lainnya selamat mesti yang ia kandung "berpulang".

Sutisno, perwakilan Dinas Kehutanan dan Perkebunan NTB, tak menyangkal ada pembakaran. "Benar kami melakukan penangkapan dan membakar permukiman liar," ujarnya dalam inkuiri. Hal itu, menurutnya, dilakukan karena wilayah yang dimaksud berdasarkan tata ruang kehutanan kabupaten dan provinsi bukan merupakan wilayah permukiman. Anggota masyarakat adat Pekasa, ia mengungkapkan, melakukan perambahan kawasan hutan lindung.

Di Kalimantan juga mencuat kasus serupa. Abulipah (45 tahun) mengingat, anggota suku Dayak Iban di pedalaman Desa Semunying Jaya, Bangkayang, Kalimantan Barat, tak bisa dibilang sedikit. Sekira satu dekade lalu jumlahnya masih mencapai 150 kepala keluarga (KK).

Belakangan, jumlah itu jauh menyusut. Menurut Abulipah yang juga anggota suku Dayak Iban, tinggal sekitar 22 KK yang tingggal di Semunying Jaya saat ini. "Sebagian besar dari mereka memilih keluar dari Semunying Jaya," kata Abulipah dalam inkuiri untuk regional Kalimantan di Pontianak, Rabu (1/10).

Pasalnya, menurut Abulipah, 18 ribu hektare lahan yang awalnya mereka miliki sebagian besar telah menjadi kebun sawit. "Seluas 1.420 hektare (yang tersisa) tanah adat kami. Tanah yang paling suci bagi kami, namun saat ini juga sudah terancam karena terus dirampas meter per meternya," ujar Abulipah.

Kasus sengketa lahan seperti yang terjadi di Manggarai, Sumbawa, dan Bengkayang bukan barang langka. Kasus ini terjadi di seantero negeri, di berbagai kawasan hutan pemerintah maupun lahan garapan perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan besar.

Sebanyak 41 kasus dimunculkan dalam inkuiri nasional yang digelar di tujuh regional. Kendati demikian, pihak Komnas HAM menyatakan, ada ratusan kasus lainnya yang dilaporkan. Selain itu, menengok singgungan antara kawasan hutan dan desa-desa adat, ribuan kasus lainnya berpotensi terjadi.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga meminta pemerintah selekasnya menyikapi potensi tersebut. Tujuannya, agar tak ada lagi yang tertembak seperti di Manggarai, hidup dalam ketakutan seperti di Sumbawa, atau terancam punah seperti di Bengkayang. n

***

KASUS DALAM INKUIRI

Inkuiri Sumatra

- Masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta, Sumatra Utara, melawan PT Toba Pulp Lestari.

- Masyarakat adat Semande, Bengkulu, melawan Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

- Masyarakat adat Talang Mamak, Riau, melawan PT Selantau Argo Lestari.

- Masyarakat adat Margo Bathin Bahar, Jambi, melawan PT Asiatic Persada.

- Masyarakat adat Mukim Lango, Aceh, melawan PT Raja Garuda Mas Lestari.

- Masyarakat adat Marga Belimbing, Lampung, melawan PT Adi Niaga Kreasi Nusa.

Inkuiri Jawa

- Kasepuhan Ciptagelar, Jawa Barat, melawan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

- Kasepuhan Citorek, Jawa Barat, melawan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

- Kasepuhan Cibedug, Jawa Barat, melawan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

- Kasepuhan Cisitu, Jawa Barat, melawan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

- Kasepuhan Cirompang, Jawa Barat, melawan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

- Kasepuhan Karang, Jawa Barat, melawan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Inkuiri Kalimantan

- Masyarakat adat Iban Semunying Jaya, Kalimantan Barat, melawan PT Ledo Lestari.

- Masyarakat Adat Batulasung, Kalimantan Selatan, melawan PT Kodeco Timber.

- Ketemenggungan Nanga Siyai, Kalimantan Barat, melawan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya.

- Masyarakat Adat Dayak Benuaq, Kalimantan Timur, melawan PT Munte Waniq Jaya Perkasa.

- Masyarakat Adat Janah Jari, Kalimantan Tengah, melawan PT Sendabi Indah Sari Lestari.

- Masyarakat Adat Punan Dulau, Kalimantan Utara, melawan PT Intracawood.

Inkuiri Maluku

- Masyarakat Adat Sawai, Maluku Utara, melawan PT Weda Bay Nikel.

- Masyarakat Adat Pagu, Maluku Utara, melawan PT Nusa Halmahera Mineral.

- Masyarakat Adat Tobelo, Maluku Utara, melawan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata.

- Masyarakat Adat Tananahu, Maluku, melawan PTPN XIV.

- Masyarakat Adat Aru, Maluku, melawan PT Menara Group.

- Masyarakat Adat Pulau Romang, Maluku, melawan PT Gemala Borneo Utama.

Inkuiri Sulawesi

- Masyarakat Hukum Adat Karunsie Dongi, Sulawesi Selatan, melawan PT Vale Indonesia. 

- Masyarakat Hukum Adat Matteko, Sulawesi Selatan, melawan Pemkab Gowa dan PT Adimitra Pinus Utama.

- Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wanna, Sulawesi Selatan, melawan PT Kurnia Luwuk Sejati.

- Masyarakat Hukum Adat Barambang Katute, Sulawesi Selatan, melawan kementerian Kehutanan.

- Masyarakat Hukum Adat Sedoa, Sulawesi Tengah, melawan Taman Nasional Lore Lindu.

Inkuiri Bali-Nusa

- Komunitas Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury, NTT, melawan Pemkab Sumbawa dan PT Newmont Nusa Tenggara.

- Komunitas Adat Pekasa, NTB, melawan Kementerian Kehutanan.

- Komunitas Adat Talonang, NTB, melawan Pemkab Sumbawa Barat.

- Komunitas Adat Sembalun, NTB, melawan Taman Nasional Gunung Rinjani.

- Komunitas Adat Golo Lebo, NTT, melawan PT Manggarai Manganese.

- Komunitas Adat Colol, NTT, melawan Kementerian Kehutanan.

Inkuiri Papua

Belum diselenggarakan.

Sumber: Komnas HAM

PETA INDIKATIF WILAYAH ADAT

Probabilitas Tinggi: 42,049 juta ha (23 persen)

Probabilitas Sedang: 70,412 juta ha (38 persen)

Probabilitas Rendah: 29,005 juta ha (16 persen)

Probabilitas Sangat Rendah: 45,126 juta ha (24 persen)

Sumber: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

KRITERIA MASYARAKAT ADAT

- Memiliki wilayah adat

- Memiliki perasaan bersama dalam kelompok

- Memiliki pranata pemerintahan adat

- Memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat

- Memiliki perangkat norma hukum adat

Sumber: Putusan MK Nomor 35/PUU-IX/2012 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement