Kamis 20 Nov 2014 11:00 WIB

Lindungi Sejak Awal

Red:

Meski banyak yang menyebut TKI sebagai pahlawan devisa, cerita negatif mereka dinilai lebih banyak negatifnya ketimbang positifnya. Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Karawang Didin Chaerudin menyontohkan, cerita negatif itu mulai korban trafficking, korban penganiayaan, pelecehan seksual, pembunuhan, hingga upah yang tak dibayarkan. "Jelas, ini menimbulkan masalah. Namun, sampai sekarang tak ada solusinya," ujarnya.

Karena itu, pihaknya ingin pemerintah lebih melindungi para pahlawan devisa ini. Biar bagaimanapun juga, mereka merupakan penyumbang dana bagi negara ini. Jadi, sudah selayaknya para TKI mendapat perhatian dan perlindungan maksimal lagi.

Melindungi para pahlawan devisa itu seharusnya dilakukan sejak mereka masih di Tanah Air.   Provinsi Bali misalnya, mereka sudah tidak lagi mengizinkan pengiriman TKI ke luar negeri untuk bekerja di sektor informal yang didominasi Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) atau  yang lebih dikenal sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

Bali hanya mengirimkan TKI formal yang dilindungi oleh Undang-Undang (UU) Perburuhan, yakni mereka yang bekerja di bidang kepelautan, perhotelan, terapi spa, pertanian, pertambangan, dan jasa.

Praktisi sekaligus mantan Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Denpasar I Wayan Pageh mengatakan, TKI formal itu sudah dilindungi UU Perburuhan, UU Kesehatan, dan UU Ketenagakerjaan. Sedangkan, TKI informal sejauh ini belum dilindungi oleh satu pun produk UU.

"Inilah kesalahan mendasar kita. Pemerintah hendaknya jangan lagi mengirimkan TKI informal. Sebab, Indonesia ini belum memiliki UU PLRT. Bagaimana bisa negara melindungi mereka?" kata Pageh.

Indonesia, kata Pageh, sudah meratifikasi aturan International Labor Organization (ILO) yang hanya mengatur dan melindungi TKI formal. TKI informal tidak dilindungi ILO, sebab pekerjaannya belum dianggap profesi. Hubungan kerja TKI informal itu parsial, yang berarti mereka berada di rumah majikan selama 24 jam.

Menurut ILO, jam tugas tenaga kerja itu, yakni delapan jam. Inilah yang sudah tercantum di UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Jika pemerintah ingin melindungi TKI informal yang juga pahlawan devisa ini, kata Pageh, berarti pemerintah harus merevisi UU tersebut.

Belum direvisinya UU tersebut, menurut Pageh, menjadi penyebab TKI informal mendapat perlakuan berbeda yang menyebabkan mereka memiliki daya tawar rendah, diperlakukan semena-mena, gaji rendah, dan perlindungan yang kurang.

Sedangkan, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf  mengatakan, pihaknya akan  membentuk panja Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Indonesia di luar negeri (PPLIN). Dalam masa periode DPR ini, menurutnya, komisi IX sesegera mungkin akan membahas masalah TKI dengan mitra kerja pemerintah.

Dede mengatakan, undang-undang tersebut salah satunya menekankan agar kepala desa turut bertanggung jawab dalam pengiriman para tenaga kerja dari desa-desa. Hal itu, menurutnya, agar tidak terjadi pergerakan TKI terkait masalah pemalsuan umur.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Muh Hanif Dhakiri mengatakan, pihaknya telah memberi arahan kepada Perwakilan Asosiasi Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang selama ini menempatkan TKI ke berbagai negara.

"Saya tidak akan pernah biarkan sedikit pun, baik itu PPTKIS ataupun jajaran staf saya untuk bermain-main soal itu, seluruh resikonya saya akan tanggung," kata Hanif.

Menurut Hanif, pekerjaan mengurus TKI merupakan pekerjaan mulia. Namun, ia meminta para pimpinan PPTKIS agar tidak sekadar berbisnis saja. N riga nurul iman/c97 N c73/c97 ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement