Kamis 30 Oct 2014 15:00 WIB

Masyarakat Ekonomi ASEAN Ancam HAKI

Red:

JAKARTA -- Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan segera diberlakukan di ASEAN. Dengan aturan ini, banjir produk dan jasa akan berputar di wilayah Asia Tenggara tanpa hambatan berat. Produk-produk dari luar negeri dapat dengan mudah masuk ke Indonesia, begitu juga sebaliknya. Hanya persoalan kualitas dan pengemasan produk yang akan menentukan siapa yang akan mendominasi.

Dalam pandangan industri di Indonesia, MEA ini menjelma sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi adanya MEA dapat mempermudah produk Indonesia dipasarkan ke luar negeri, di satu sisi juga mengancam keberadaan produk asli Indonesia. Terutama produk-produk yang belum dipatenkan atau didaftarkan sebagai hak cipta kekayaan intelektual (HAKI).

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Ekonomi Kreatif dan MICE Budyarto Linggowijono mengungkapkan, ancaman paling besar MEA terkait hak cipta akan dialami oleh pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) dan industri kreatif kecil. Sebab, industri kecil masih mengalami masa terlena dan masih awam dengan pentingnya pendaftaran HAKI atas produk dan mereknya. Biasanya, mereka sudah puas dengan capaian produk dan merek yang dibangunnya diterima oleh konsumen. Tanpa memedulikan apakah produk mereka mudah ditiru atau dibajak.

"Masalah utama masih belum masifnya pendaftaran hak cipta ini adalah kesadaran dari pelaku usaha kecil," kata Budyarto pada Republika, Senin (27/10).

Berdasarkan data Kadin, baru sekitar 30 persen merek dan produk yang sudah didaftarkan menjadi HAKI. Selebihnya lebih dari 70 persen belum didaftarkan. Menurut Budyarto, pelaku usaha yang belum mendaftarkan HAKI produk dan merek mereka adalah pelaku usaha kecil menengah. Padahal, industri kreatif di Indonesia sangat dinamis dan terus berkembang. Kalau pelaku usaha masih belum mendaftarkan produk dan merek mereka, mereka akan kewalahan dengan banjir produk dari luar negeri tahun depan saat MEA diberlakukan.

Budyarto menambahkan, harusnya pelaku usaha kecil menengah sudah harus bersiap untuk menghadapi serangan produk asing saat MEA diberlakukan. Sebab, untuk industri besar, persoalan HAKI tidak terlalu  menjadi masalah. Justru yang akan terancam pada masa MEA adalah produk dan merek dari pelaku UKM.

Kadin saat ini tengah merintis upaya untuk ikut menyosialisasikan terkait pentingnya mendaftarkan HAKI ini hingga ke daerah-daerah atau sentra industri kecil menengah. Komunikasi akan dibangun Kadin dengan pemerintahan yang baru untuk membantu pelaku usaha kecil menghadapi MEA tahun depan.

MEA merupakan hasil kesepakatan para pemimpin ASEAN satu dasawarsa lalu untuk membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015. Ini dilakukan agar daya saing ASEAN meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Pembentukan pasar tunggal ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.

Direktur Jenderal HKI Kemenkumham Ahmad M Ramli mengatakan,  sebagian HAKI di Indonesia memang berkaitan dengan kreativitas dan bakat kemanusiaan. Karena itu, pemerintah mengadakan aturan yang tepat terkait perlindungan HAKI.

Ini agar para insan kreatif Indonesia dapat berkontribusi tanpa cemas, karyanya akan dibajak di pasaran. Apalagi, menjelang tahun 2015, Indonesia masuk ke dalam pusaran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Perlindungan hukum terhadap hak ekonomi mereka mutlak adanya demi memenangi persaingan regional maupun global.

"Dari ke-14 sektor ekonomi kreatif, 12 di antaranya meliputi hak cipta. Misalnya, industri musik, penerbitan buku, film, dan animasi. Ini perlu dukungan perlindungan hukum yang baik," kata Ramli kepada Republika pekan lalu.

Salah satu caranya, lanjut Ahmad, pemerintah telah memberlakukan UU Hak Cipta yang baru sejak 16 September 2014. Sebagai pengganti UU Nomor 19 Tahun 2002. UU Hak Cipta ini, menurut Ahmad, lebih memberikan rasa aman bagi insan kreatif Indonesia.

"Untuk diketahui, dalam UU sebelumnya, tidak ada kata pembajakan. Di samping itu, UU Hak Cipta terkini menyebut hukuman pidana 10 tahun bagi pembajak," ungkap Ahmad.

Tentang urgensi sektor ekonomi kreatif, Ahmad mengambil contoh industri musik Indonesia. Menurut Ahmad, pembajakan karya musik benar-benar memiskinkan insan kreatif Indonesia. Kalangan pencipta lagu, misalnya, kerap mengalami kerugian besar karena tidak menikmati secara maksimal hak ekonominya.

"Bukankah kasihan? Mereka sudah susah payah mencipta lagu, merekamnya, sehingga habis sekian rupiah, tetapi yang laku justru hasil bajakan atau orang lebih suka men-download ilegal," kata Ahmad.

Ahmad menambahkan, dengan pemberlakuan UU Hak Cipta yang baru ini, kalangan pencipta lagu bisa memperoleh ganti rugi finansial langsung dari pihak pembajak di muka pengadilan. Pada saat persidangan, hakim boleh mencantumkan di amar putusannya nominal ganti rugi. Jadi, hukuman untuk pembajak karya tidak hanya denda pidana.

Pencipta lagu sekaligus musisi Indonesia Muhammad Samsudin Hardjakusumah (Sam Bimbo) mengapresiasi UU Hak Cipta yang baru ini. Sam Bimbo menilai, UU Hak Cipta yang sebelumnya begitu lemah dalam melindungi hak ekonomi kalangan pencipta. Sebab, hukuman untuk pembajak bisa berubah dari pidana menjadi perdata.

"Apalagi, pembajak bisa berkongkalikong dengan aparat penegak hukum demi meminimalkan besaran denda," kata musisi kelahiran 6 Mei 1942 ini.

Menghadapi MEA 2015, Sam Bimbo berpendapat, Indonesia bisa mengambil keuntungan besar dari industri musik. Bahkan, Sam menilai, industri musik dapat menjadi perintis bagi kemajuan ekonomi kreatif Indonesia pada tataran regional.

"Musik kita didengar di mana-mana. Terutama Malaysia, Brunei, Singapura, dan negara-negara yang tempat tenaga kerja kita berada," kata alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.

Kesempatan untuk maju itu, bagi Sam Bimbo, mesti disertai dengan semangat memerangi pembajakan secara total. Sebab, ada banyak kerugian, baik dari segi moral maupun finansial, bagi Indonesia bila kreativitas pembajak mengungguli kreativitas seniman.

***

Tentang Hak Cipta dan Hak Paten

Kata hak cipta dan hak paten kerap terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Meski keduanya merupakan hak kekayaan intelektual, namun memiliki. Selain hak cipta dan hak paten, ada juga hak merek. Berikut ini adalah perbedaan ketiganya.

*Hak Cipta

Dasar Hukum: UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang telah direvisi dengan UU Hak Cipta 2014

Definisi: Hak eksklusif bagi pencipta untuk memperbanyak ciptaannya

Objek yang dilindungi: Penemuan di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra

*Hak Paten

Dasar hukum: UU No 14 Tahun 2011 tentang Paten

Definisi:

- Paten: Hak eksklusif yang diberikan negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di

bidang teknologi

- Invensi:  Ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang

spesifik di bidang teknologi

- Inventor: Seseorang atau kelompok yang  menghasilkan Invensi

Objek dilindungi: Penemuan di bidang teknologi

*Hak Merek

Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang digunakan untuk perdagangan

*Cara Pengajuan Permohonan HAKI:

1. Langsung ke Direktorat Jenderal HAKI, Jakarta

2.Melalui Kantor Wilayah Kemenkumham seluruh Indonesia

3. Melalui Kuasa Hukum Konsultan HKI terdaftar (daftar Konsultan bisa dilihat di situs resmi Ditjen HAKI)

n c14/c62 rep: agus raharjo ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement