Kamis 21 Aug 2014 12:00 WIB

Selesaikan Perkosaan di Akarnya

Red:

Sejak pengumuman kelahirannya, sejumlah pihak menyatakan keberatan terhadap pelegalan aborsi untuk janin hasil tindak pidana perkosaan. Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Rusli Muhammad melihat, regulasi itu bisa menyulut kejahatan baru ketika peraturan tersebut ditetapkan.

''Ini faktor kriminogen, peraturan yang dibuat dimaksudkan memang untuk perlindungan, tapi nantinya justru menciptakan kejahatan baru,'' kata dia. Ia melanjutkan, efek yang akan disebabkan peraturan tersebut ialah ada oknum yag mencari cara agar dirinya seakan diperkosa dan melakukan aborsi, padahal kehamilan itu didasarkan kepada hubungan gelap.

Menurut Rusli, hal utama yang harus dilakukan pemerintah ialah melakukan pencegahan tindak perkosaan. Untuk kasus-kasus perkosaan, penegak hukum harus bertindak cekatan dan memberikan hukum yang berat. ''Jangan melakukan upaya penyelesaian yang bukan sebagai akarnya. Tanya mengapa ada perkosaan, jangan dampaknya yang ditanggulangi dan ibu menjadi objeknya,'' kata dia.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga mengkritisi PP Kesehatan Reproduksi. Ketua IDI Zainal Abidin mengatakan, IDI hanya bisa mengizinkan aborsi karena alasan medis, bukan psikologis dan sosial. "Dokter jangan dibawa-bawa. Yang mengeluarkan PP-nya saja yang aborsi," katanya.

Di pihak lain, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, PP Kesehatan Reproduksi disusun tim lintas sektoral yang berasal dari kementerian/lembaga, tokoh-tokoh agama, hingga ahli hukum. Ia menegaskan, regulasi itu tak perlu dipersoalkan.

Menurutnya, aborsi bagi korban perkosaan harus didahului pembuktian dengan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan surat keterangan dokter serta keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan. "Jadi, memang ada persyaratan-persyaratannya, bukan sembarangan dan ini amanah UU.  Tidak perlu dikontroversikan," kata Nafsiah.

Penentuan perempuan yang hamil akibat perkosaan nantinya didasari pemeriksaan oleh tim ahli lintas sektoral yang mumpuni dalam melakukan konseling. "Mereka (tim ahli) yang katakan ini perkosaan. Jadi, nggak sembarang," kata Nafsiah.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar mengatakan, kementeriannya memperoleh banyak informasi terkait korban hamil akibat perkosaan.  "Mereka traumanya cukup panjang, masih di bawah umur dan mereka tidak siap untuk punya anak. Artinya, memang ada peluang di situ yang diberikan PP itu. Tentu, itu melalui proses dari keluarga, pihak kedokteran, tokoh masyarakat kalau ingin melakukan aborsi itu."

Sementara, Wakil Ketua Komnas Perempuan Desi Murdjiana mengatakan, PP Kesehatan Reproduksi sudah tepat. "Ya, kami setuju, pertimbangannya lebih pada trauma yang dialami korban perkosaan akan berganda ketika mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan," kata Desi saat Republika menghubunginya, Ahad (10/8).

Selain itu, menurut Desi, UU Kesehatan dan PP ini juga bisa membatasi kategori, korban perkosaan dengan bukan perkosaan. Dan itu, kata Desi, menjadi tugas penegak hukum dan tenaga ahli medis harus dapat membuktikan apakah wanita itu korban perkosaan atau bukan. "Jadi, tidak semua orang dengan mudah mengaku sebagai korban perkosaan hanya alasan untuk bisa aborsi," katanya. n c62/c54 red: wahyu syahputra, muhammad iqbal ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement