Rabu 23 Jul 2014 15:19 WIB

Langkah Prabowo Cederai Demokrasi

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

AMBON -- Proses demokrasi di Indonesia tercederai dengan langkah Prabowo Subianto yang menolak pelaksanaan Pilpres 2014 dan menarik diri dari proses yang sedang berlangsung. Prabowo seharusnya bersikap legawa mengikuti rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pengamat hukum Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon George Leasa berpendapat, pengunduran diri ini sebenarnya melanggar konstitusi dan peraturan KPU yang seharusnya dijunjung tinggi calon presiden dan calon wakil presiden. Apalagi, pasangan capres dan cawapres sudah menyatakan siap menang atau kalah.

Sehingga, George menyatakan, sebenarnya masih ada ruang yakni mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Terpenting para simpatisan jangan memprovokasi pimpinan tim pemenangan Prabowo-Hatta sehingga mengganggu stabilitas keamanan di Tanah Air," kata dia.

Pengamat politik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Nikoluas Loy menyatakan, sikap Prabowo yang menolak pelaksanaan Pilpres 2014 tidak mendidik dan menggambarkan kultur politik yang demokratis. "Merugikan proses demokrasi di Indonesia," kata dia.

Pengamat politik Indobarometer Muhammad Qodari juga menyatakan pernyataan Prabowo tidak menjadi pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Dalam negara demokrasi, setiap kompetisi pasti ada yang menang dan kalah.

Saat ini, Qodari menyatakan, Indonesia tidak lagi dalam sistem pemerintahan otoriter seperti Orde Baru. 

Pada Orba, banyak sekali terjadi manipulasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Era reformasi ini, kata dia, KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan lembaga independen.

TNI dan Polri bersikap netral dan proses pengawasan oleh publik sangat kuat. "Idealnya hasil pilpres diakhiri dengan sikap legawa siap menang dan siap kalah. Yang ideal Prabowo mengucapkan selamat kepada calon yang suaranya lebih unggul," kata Qodari.

Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menyatakan Prabowo harus membuktikan tuduhan pelanggaran Pilpres 2014 kalau dia ingin mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Prabowo menyatakan telah terjadi pelanggaran yang masif, terstruktur, dan sistematik pada pemungutan suara.

Deputi JPPR Masykuruddin Hafidz menyatakan, tuduhan itu perlu dibuktikan dengan validitas data pelanggaran yang cukup sebagai bukti. "Data pelanggaran, terutama pelanggaran penghitungan suara secara berjenjang menjadi syarat mutlak untuk menjadi dokumen pendukung gugatan ke Mahkmah Konstitusi," kata dia.

Dia menjelaskan, bukti-bukti yang diajukan ke MK sebaiknya juga tidak hanya berkaitan dengan kerugian atas hasil rekapitulasi. Tapi, kata dia, ajang pembuktian ajang pembuktian bagaimana penyelenggara pemilu, tim sukses, dan partai politik untuk melakukan perubahan suara tersebut.

Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia R Siti Zuhro menilai, KPU sudah bekerja secara independen dan profesional dalam melakukan proses pemilu presiden. Termasuk rekapitulasi penghitungan suara pada rapat pleno di Jakarta, Selasa. "KPU tidak partisan," kata dia.

Prabowo menyatakan menolak proses dan hasil rekapitulasi pemilu presiden karena menilai proses pilpres berlangsung cacat dan diduga terjadi kecurangan. Saksi Prabowo juga keluar dari ruang digelarnya pleno rekapitulasi suara di gedung KPU. n antara/c87 ed: ratna puspita

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement