Rabu 23 Jul 2014 16:22 WIB

Belajar dari Kekalahan Hasyim Muzadi

Red:

Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengaku memiliki pengalaman pahit ketika kalah dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2004. Hasyim yang ketika itu mendampingi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengaku harus menelan pil pahit tersebut dan mengakui kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK).

"Saya hadir pada pelantikan SBY-JK sebagai presiden dan wakil presiden secara gentle. Karena, saya berpendapat bahwa demokrasi untuk Indonesia bukan mengorbankan Indonesia untuk demokrasi," kata Hasyim, Selasa (22/7).

Kendati telah bersaing sengit dengan SBY-JK, Hasyim mengaku hubungannya dengan JK tetap baik. Bahkan, menurut Hasyim, JK tetap membantu PBNU dan sebaliknya, Hasyim membantu JK. "Ketika itu, saya ketua umum PBNU yang bisa menggerakkan massa atas nama NU, tetapi tidak saya lakukan karena kalau saya lakukan, itu berarti saya tidak fair," ungkapnya.

Kiai kelahiran Bangilan, Tuban, Jatim, ini mengambil contoh lainnya saat menjadi tim sukses dua kali pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Jawa Timur. Dia mengaku berada di kubu calon gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang berhadapan dengan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf.

Sayangnya, Khofifah selalu kalah dalam perhelatan tersebut. Meski merasa dicurangi, Hasyim kala itu tidak bereaksi negatif. "Namun, bagaimana lagi, Mahkamah Konstitusi (MK) memenangkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Saya juga tidak menggerakkan massa di Jatim, padahal saya bisa menggerakkannya," ujarnya.

Belajar dari pengalaman itu, Hasyim meminta semua elite politik di Indonesia mengedepankan kepentingan bangsa dalam menanggapai hasil Pemilihan Presiden 2014 yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). "Kalau ada yang dianggap tidak benar di KPU, toh ada MK. Kalau tidak puas di MK, bisa bertarung lima tahun lagi," kata Hasyim.

Menurut Hasyim, sangat wajar jika membela partai dengan segala kepentingannya, tetapi tidak boleh mengorbankan Indonesia. "Partai untuk Indonesia, bukan Indonesia untuk partai," kata Hasyim.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang dan Depok ini berpendapat bahwa demokrasi tidaklah sama dengan mengorbankan Indonesia untuk demokrasi. Kiai Hasyim pun mengapresiasi pihak-pihak yang menghormati keputusan KPU. Salah satunya, seperti diteladankan oleh KH Maemun Zubair yang mengimbau agar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bisa menerima keputusan KPU. "Dan, remang-remang di Partai Amanat Nasional juga ada minat demikian," ujarnya.

Lebih lanjut, Hasyim mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk melihat pemilu sebagai pilihan, bukan pengristalan kelompok kepentingan. "Kita harus kembali sebagai bangsa Indonesia yang berjiwa Indonesia," harapnya. n oleh: indah wulandari ed: muhammad fakhruddin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement