Ahad 09 Oct 2016 16:00 WIB

Dengan Bermain, Anak Cepat Tanggap

Red:

Orang tua menginginkan anak yang selalu tanggap dengan adanya perubahan. Memiliki respons yang baik dan dapat mengolah emosi menjadi harapan yang bisa dikembangkan ketika anak dewasa.

 Psikolog anak Roslina Verauli menjelaskan, sejak anak mulai mampu bergerak leluasa dan sedikit berkata-kata, sudah waktunya dia dapat melakukan kegiatan bermain. Biasanya proses tersebut terjadi pada anak usia dua hingga enam tahun.

 Pada usia the players, menurut Vera, anak mulai belajar banyak dari lingkungan melalui kegiatan bermain. Mengembangkan kemampuan anak tidak melulu hanya dengan sesuatu yang serius atau belajar secara resmi.

 Menjadi anak hebat, kata Vera, dimulai dari bermain pada usia the players. Beberapa permainan yang bisa dipraktikkan dalam usia tersebut, yaitu menyanyi dan menari. Kedua hal itu seperti permainan yang sederhana, tapi justru banyak manfaatnya. Banyak momen yang bisa diajarkan dari kegiatan tersebut, termasuk mengolah konsentrasi untuk membuat anak cepat tanggap.

 Menyanyi dan menari memiliki kualitas yang sama dengan belajar bagi anak-anak. Permainan santai yang menyenangkan juga memiliki efek yang baik bagi perkembangan bahasa dan motorik anak agar cepat tanggap.

 Aktvitas menyanyi mengajarkan anak untuk belajar ketukan irama. Irama ini yang nantinya dapat dikembangkan sebagai keahlian dari seorang anak.

 Orang dewasa yang tahu iramanya gerak tubuh seseorang bisa jadi psikolog, yang tahu iramanya saham jadi konsultan, ujar Vera.

 Dengan bernyanyi, anak pun belajar kosakata baru yang bisa ditiru pada kemudian hari. Kontruksi berbahasa pun akan terbangun baik ketika anak menyanyikan suatu lirik yang memberikan beragam bentuk kata.

 Jangan salah, dengan menyanyi pun, anak belajar kompetensi dalam segi emosi yang berhubungan sosial, ujar Vera.

 Vera mencontohkan lagu Balonku yang menunjukkan ekspresi kekecewaan dengan menggunakan istilah "hatiku sangat kacau. Melalui lagu itu, anak mengidentifikasi emosi yang bermacam-macam sebab pasti ada konteks yang dimaksud dalam sebuah lagu.

 Sementara, tarian, dengan kegiatan melibatkan fisik, sudah tentu akan merangsang sensor motorik anak. Dengan gerakan-gerakan yang mengekspresikan dari apa yang didengar, anak bisa belajar cepat tanggap. Saat bergerak, otot anak akan terstruktur juga terkoordinasi. Hal tersebut akan membuat rangsangan pada saraf sehingga bisa membuat anak juga lebih konsentrasi.

 Memperbaiki sensor motorik

 Jika anak berusia nol hingga dua tahun kekurangan gerak, sensor motoriknya akan tidak berkembang. Hal sama juga akan terjadi jika usia the player justru diisi dengan hal-hal yang membebani anak. Gangguan yang terjadi bahkan berkaitan kepada aktivitas perilaku anak sehari-hari hingga menuju masa dewasa.

 Anak akan menjadi tidak tangkas, proses belajar tidak akan maksimal, serta atensi dan konsentrasinya kurang. Dalam kondisi demikian, anak tentunya tidak akan berkembang secara optimal. Bahkan, perkembangan dalam berbicara pun bisa terhambat jika sensor motorik tidak berkembang dengan baik.

 Sementara, dampak lebih jauhnya dapat saja memengaruhi perkembangan fisik dan emosi anak nantinya. Sebab, bagaimanapun sensor motorik perlu dikembangkan dengan optimal hingga usia 12 tahun. Vera menyebutkan, rentang usia yang paling pesat pada usia dua hingga enam tahun.

 Sering saya bertemu remaja yang lambat. Sensor motornya tidak berkembang optimal. Saya takut jangan-jangan memang saat kecil tidak dikembangkan, ujar Vera.

 Jika Vera menemukan anak yang mengalami gangguan konsentrasi dalam belajar, biasanya disarankan untuk memperbaiki sensor motoriknya terlebih dahulu. Bukan malah menyuruh lebih banyak belajar lagi sebab tidak akan berpengaruh pada perbaikan.

 Meski bermain dengan cara bernyanyi dan menari bisa sangat membantu anak, Vera mengingatkan, ternyata tidak seluruh waktu dihabiskan dengan kegiatan aktif.  Takaran bermain anak hanya lima jam per hari tidak hanya didominasi permainan aktif. Vera mengatakan, anak pun perlu bermain pasif sebagai variasi untuk kegiatan sehari-hari yang menyenangkan.

 Harus ada variasi antara aktif dan pasif. Ini untuk menghindari rasa bosan juga, kata Vera.

 Kegiatan bermain pasif dapat dilakukan anak melihat tontonan kesukaan, mendengarkan musik, atau sekadar membaca atau menggambar. Kegiatan ini hanya memancing interaksi satu arah. Gunanya untuk memberikan anak waktu menikmati kegemarannya dengan sendirian dan  bisa menambah pengertian atau pengetahuan sebelum melakukan kegiatan aktif berikutnya.      Oleh Dwina Agustin, ed: Nina CH

 'Jangan Paksa Anak ... '

 Lenny menggerak-gerakkan tangan boneka bayi itu. Kakak, kakak ... aku mau susunya sekarang, ujarnya seolah menjadi si boneka orok, berbicara dengan Oi. Bocah berumur tiga tahun itu hanya melihat si boneka. Ia asyik dengan kotak gawai milik ayahnya. Ayo dong, Kak Oi, Lenny mencolek-colekkan tangan boneka itu ke lengan Oi.

 Alih-alih tertarik menanggapi, Oi malah mengelak kesal. Ah, nggak mau adek, teriaknya menepis tangan si boneka. Bocah manis bertubuh gempal itu berlari, naik, dan tiduran di atas sofa. Ia meninggalkan sang ibu yang merapikan beberapa mainan yang tergeletak.

 Oi belum beradik. Sehari-hari ia bertemankan Mbak. Makan bersama Mbak, Lenny si ibu muda amat ingin bermain bersama gadis ciliknya. Meski Lenny selalu berupaya, sejatinya amat jarang mereka bisa bermain bersama. Bermain yang dinikmati bersama. Bermain bersama dengan anak tak selalu berhasil dan mudah bagi orang tua.

 Orang tua sering kali membuat bermain malah menjadi tekanan yang tidak lagi menyenangkan. Bermain dengan cara spontan dalam arti sesuai dengan keinginan anak merupakan bentuk bermain yang sebenarnya. Tidak ada pemaksaan untuk anak melakukan suatu permainan dengan cara paksaan.

 Orang tua perlu mengikuti keinginan anak, bukan memerintah, melainkan lebih pada mengarahkan. Ketika anak bernyanyi karena dia ingin bernyanyi sendiri, itu menjadi sebuah permainan yang menyenangkan. Tetapi, saat orang tua mulai memaksanya melakukan kegiatan bermain sesuatu, itu sudah bukan bermain lagi.

 Saat anak berusia dua atau tiga tahun mulai mampu membedakan mana kemauan dirinya dan mana lingkungannya, anak akan terlihat sedikit egois yang menunjukkan dia mulai mengenal kemauan sendiri, termasuk menentukan permainan yang ingin dilakukan.

 Psikolog anak Roslina Verauli menjelaskan, pada usia itu anak juga mengacu pada dirinya sendiri, tapi bukan berarti hal buruk. Orang tua tidak harus menghalangi. Sebab, kondisi itu justru bisa jadi pertanda hal baik.

 Jangan semua dipaksain, harus ini. Ini agar anak berkembang inisiatifnya, keakuan itu penting agar anak paham bagaimana punya mau, punya batasan, harus dihargai, ujar Vera.

 Hanya, Vera menekankan, jangan selalu dibiarkan ketika anak menolak saran dari orang tua. Karena itu, penting menekankan diskusi antara anak dan orang tua.

 Cara paling mudah dengan bernegosiasi atas kemauan anak, orang tua harus pintar membuat anak bersepakat atas apa yang telah diputuskan bersama. Memang cara tersebut lebih mudah dilakukan dengan anak yang sudah bisa berbicara.

 Kalau yang belum bisa verbal, caranya ibunya menenangkan dan diajak negosiasi dengan cara ibu yang juga menerjemahkan kata-kata dari gerakan anak, kata Vera.

 Semakin kaya verbal yang dimiliki orang tua, menurut Vera, maka semakin anak pun dapat mengekspresikan pelbagai perasaan yang didapat. Ini pun pada akhirnya akan membuat anak memahami keakuan yang ada pada diri sendiri.  ed: Nina CH

Kutipan: Sering saya bertemu remaja yang lambat, sensor motornya tidak berkembang optimal. Saya takut jangan-jangan memang saat kecil tidak dikembangkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement