Ahad 21 Aug 2016 17:00 WIB

Jangan Main Sama Dia...

Red:

Pipit Setiafitri kerap merasa tak nyaman. Tak cuma satu dua kali ibunda dari Ahmad Pandji (9 tahun) dan Ahmad Rajendra (6) merasa tak enak bila ada di antara teman anaknya yang berkata kasar atau tidak miliki sopan santun.

Walaupun begitu, perempuan yang berprofesi sebagai penulis ini mengaku tak pernah melarang anaknya bermain dengan siapa pun. Baik dengan anak te tangga maupun anak saudara. Saya ha nya bilang 'mas, main itu sama siapa saja, tidak boleh pilih-pilih teman. Tapi kalau misal ada teman yang kelakuannya tidak bagus, jangan ikuti ya dan bilang Mamih', ungkap dia.

Pernah suatu waktu saat si bungsu sedang bermain bersama, ada salah satu teman memukul-mukulkan mainan ke lantai, Pipit langsung saja menegur. Eh, enggak boleh ya, enggak ba gus lho begitu. Nanti kalau barangnya ru sak enggak bisa dimainin lagi, ujarnya men contohkan. Atau Pipit juga biasa me negur dengan perkataan, Main nya enggak boleh kasar ya, kalau masih ka sar lalu kenapa-kenapa masuk rumah sa kit gimana?

Terus bisa dilapor polisi lho. Bukan hanya itu, Pipit juga pernah mendapati teman anaknya bicara kasar. Ke betulan anaknya terbiasa menyebut di rinya aku, tapi ternyata ada teman sekolah yang menggunakan bahasa gue. Itu sih enggak perlu diperingatkan lagi, ka re na kami sudah terbiasa dengan bahasa yang benar di rumah.

Jadi, paling anak sa ya yang besar bilang, 'si A bilang gue lho Mih, aku sudah bilang tapi masih te tap saja. Aah, aku enggak suka jadinya main sama-anak yang ngomong-nya ka sar', kata perem puan kelahiran Jakarta ini. Anak-anak Pipit sudah terbiasa dan bi sa menalar sendiri. Intinya, landasan agama dan etika.

Anak kalau sudah Anda biasakan, dengan sendirinya akan memi lih teman mana yang dia rasa punya attitude yang baik. Dari mereka belum sekolah, Saya terapkan juga ke keluarga, tidak hanya teman saja. Karena itu jadi terbiasa anak-anak, ujarnya. Contoh lain misalnya, keluarga atau teman sekolahnya main ke rumah lang sung masuk kamar tanpa cuci kaki dan tangan, Pipit cukup melihat ke anaknya dan si anak langsung sadar dan mengata kan, Masuk kamarku cuci kaki dulu ya.

Pipit mengaku tidak pernah merasa tidak enak kepada orang tua teman-teman anaknya. Ia berusaha tidak ambil pu sing. Agak menjauh iya, tapi pada akhir nya mereka-mereka yang jadi malu sen diri. Karena saya pun kalau anak sendiri berbuat tidak benar langsung tegur bilang itu tidak baik. Hanya kita yang tahu anak kita dan yang terbaik untuk anak.

Apalagi hari gini ngeri, katanya menambahkan. Jangan larang secara frontal Psikolog anak, Nadya Pramudita, mengatakan bahwa dalam kehidupan anak, melalui pendidikan orang tua menanamkan nilai-nilai yang diharapkan juga menjadi nilai-nilai si anak pada saat anaknya dewasa nanti. Terkadang nilai yang diajarkan ber beda dengan nilai yang ada di ling kungan pergaulan anak.

Wajar orang tua meng inginkan anaknya memiliki pergaulan yang baik dan benar, menurut kacamata si orang tua (yang sesuai dengan nilai yang hendak ditanamkan). Dan untuk itu terkadang juga perlu menjauhkan anak dari lingkungan pergaulan tertentu yang dinilai membawa pengaruh tidak atau kurang baik, ujarnya menjelaskan. Bagaimana cara terbaik membatasi pergaulan anak?

Ia berpendapat, bila anak dari keluarga yang dekat dengan keluarga kita, justru bisa sekaligus memberikan pendidikan pada anak tersebut. Misalnya, saat anak bermain bersama dan orang tua melihat ada perilaku yang tidak bagus, tegur keduanya. Katakan bahwa perilaku tersebut tidak baik atau tidak bagus.

Mungkin kalau anak tersebut sedang bermain di rumah kita, kita bisa menegur misalnya ketika dia melakukan hal-hal yang berbahaya. Kalau perilakunya masih bisa ditoleransi, biarkan saja. Memang akan ada perbedaan pendidikan di ru mahnya dan di rumah kita, kata Nadya menjelaskan. Lain halnya anak dari keluarga yang tidak terlalu dekat (misalnya tetangga yang jarang berinteraksi).

Ia menya ran kan, agar memengaruhi anak untuk me nilai sendiri bahwa teman tersebut perilakunya kurang baik, melalui diskusi atau contoh-contoh. Misalnya, Tadi ibu ketemu si A dan ibunya di supermarket.. kayaknya dia ingin mainan, tapi masa mintanya bentak-bentak ibunya. Contoh seperti ini bisa diceritakan kepada anak sebagai 'pesan' bahwa perilaku tersebut tidak baik, dan si A punya perilaku yang tidak baik.

Berikan kesempatan pada anak untuk mencerna dan mengambil sikapnya sendiri. Nadya mengingatkan, sebisa mungkin pengaruhi anak melalui diskusi, jadi bu kan melarang secara frontal. Anak cen de rung memiliki resistansi jika dilarang secara frontal dan mungkin akan mem bang kang atau bahkan bisa terjadi 'ber musuhan' dengan orang tua. Pada awal nya, kata dia, tentu saja anak perlu paham apa yang sebenarnya tidak disukai oleh orang tua.

 Jika anak tidak paham apa yang tidak disukai oleh orang tua, anak akan menilai orang tua terlalu membatasi. Akibatnya, anak jadi sembunyi-sembunyi, atau memusuhi orang tua, ujarnya. Jadi, sebaiknya ayah bunda mem berikan pengertian kepada anak. Yakni, dengan mengungkap contoh-contoh pe rilaku yang tidak baik atau mengomentari perilaku anak lain yang tidak baik.

Dengan demikian, diharapkan anak mendapat gambaran apa yang baik dan apa yang tidak baik. Perlukah ayah bunda berbicara kepada orang tua yang menjadi teman si anak? Bila antarorang tua kenal dekat, kata Nadya, kemungkinan bisa 'lebih enak' untuk membicarakannya melalui diskusi.

 Namun, jika tidak dekat, ia menyarankan untuk biarkan saja. Mungkin memang nilai-nilai yang di ajarkan di rumah kepada anaknya se per ti itu, kata Nadya. Dengan begitu, ayah bunda tak terkesan terlalu mencampuri kehidupan keluarga orang lain. Alternatif kegiatan lain Selain itu, untuk membatasi pergaulan anak, bisa juga dengan cara taktis.

Yakni, mengurangi interaksi anak dengan te mannya yang berperilaku tidak sesuai dengan nilai keluarga kita. Ini adalah suatu pengalihan. Nadya menyarankan orang tua mem buat acara bersama, yang membuat anak urung bermain dengan temannya.

Misal nya, membuat kerajinan tangan di rumah yang menarik untuk anak, sehingga anak le bih senang di rumah daripada bermain ber sama anak tersebut. Penting juga mem buat anak 'sibuk' dengan kegiatan positif; di rumah atau ekstrakurikuler di sekolah.      Oleh Desy Susilawati

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement