Ahad 29 May 2016 15:17 WIB

Ada Pesan di Balik Bantahan

Red: Arifin

Sikap membantah yang mulai ditunjukkan anak bagian dari pematangan proses berpikirnya.

 

Masih lekat dalam ingatan Hani Munizma Hanum (44 tahun) bagaimana anak- anaknya mulai sulit untuk diajak menyikat gigi hingga membantah saat diminta untuk tidur siang. Itu terjadi ketika mereka memasuki usia balita.

Mulanya, Hani melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang lucu, namun lama-kelamaan ia pun merasa 'gemas' jika sang anak tak menuruti nasihat yang ia berikan.

"Waktu memasuki umur tiga tahun sudah mulai nggak nurut, tapi masih lucu," cerita Hani sambil tertawa. 

Ibu dari tiga orang putra ini mengatakan sikap membantah yang dilakukan anak-anaknya masih kerap muncul meski anak-anaknya mulai beranjak besar. Ia mencontohkan, si sulung yang kini sudah remaja masih cukup sulit untuk diminta tidur lebih cepat agar tidak bangun kesiangan.

Hani pun mengungkapkan bahwa sikap membantah ditunjukkan oleh anak bungsunya yang berusia 10 tahun.

"Misalnya waktu disuruh belajar, mandi, sikat gigi atau tidur siang," jelas dia.

Untuk menghadapinya, Hani memilih untuk tidak bersikap reaktif dan meledak-ledak kepada sang anak. Ketika dua anak remajanya membantah, Ia cenderung memberikan ajakan yang halus di awal. Jika mereka tetap membantah, Hani lebih memilih untuk diam agar sang anak bisa berpikir jernih apakah yang mereka bantah memiliki pengaruh baik atau pun buruk bagi mereka.

"Biasanya dia menyadari itu salah dan minta maaf," lanjut wanita yang berprofesi sebagai instruktur memasak ini. 

Sejauh ini, diakui Hani, bantahan yang ditunjukkan anak-anaknya masih dalam batas yang bisa dimaklumi oleh orang tua. Warga Tangerang ini mengatakan ketiga anaknya tidak pernah 'membantah' terhadap hal-hal yang sifatnya prinsipil.

Pematangan proses berpikir Psikolog anak dari RaQQi Consulting, Ratih Zulhaqqi MPsi mengungkapkan bahwa kecenderungan membantah pada anak pada dasarnya merupakan sebuah bentuk perlawanan atau negativistic. Negativisticini, lanjut dia, biasanya mulai muncul secara alami pada usia 1,5 tahun.

Beberapa contoh dari sikap negativisticyang muncul dari anak dalam fase tersebut antara lain penolakan ketika diminta mandi dan juga makan. Ratih mengungkapkan sikap tersebut sudah tergolong negativisticmeski perlawanan yang diberikan belum dalam bentuk diskusi.

Setelah negativistic, Ratih mengungkapkan kecende - rung an tantrum pun biasanya akan muncul pada sang anak.

Tantrum biasanya muncul ketika anak memiiki keinginan tetapi tidak terpenuhi sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Munculnya tantrum pada anak dalam fase perkembangan, ungkap dia, merupakan hal yang normal sampai sang anak berusia 3-4 tahun.

Memasuki masa prasekolah, bantahan yang diberikan anak menjadi lebih 'berkualitas' selain sekadar membantah untuk makan atau pun mandi. Pasalnya, di usia prasekolah ini anak-anak sudah memiliki kosa kata yang lebih banyak dan pengetahuan yang lebih luas. "Sudah bisa ngeles," jelas Ratih.

Ratih mengatakan, sikap membantah yang mulai di tunjukkan anak ialah bagian dari pematangan proses berpikir.

Dalam fase perkembangan, anak akan mulai memasuki tahap di mana ia tak bisa lagi menerima secara kognitif apa yang disampaikan orang lain begitu saja. Oleh karena itu, anak-anak memiliki kecenderungan untuk membantah.

Akan tetapi, cermatilah jika anak masih sulit untuk diberi tahu atau dinasihati ketika sudah memasuki usia besar. Itu berarti ada kecenderungan sang anak belum bisa mengatur diri sehingga tidak siap masuk ke dalam sesuatu yang sifatnya banyak aturan.

Selain disebabkan oleh pematangan proses berpikir, kecenderungan membantah yang dilakukan oleh anak bisa dipengaruhi oleh faktor dari orang tua juga. Salah satu pemicunya, ialah ketika orang tua menyampaikan sesuatu dengan intonasi yang tidak ramah kepada anak.

"Atau misalnya orang tua nggakmempertimbangkan, ini anak baru pulang sekolah tetapi sudah dicecar pertanyaan. Itu akan mempengaruhi penerimaan si anak," terang Ratih.

Sikap membantah yang ditunjukkan sang anak, menurut Ratih, tidak selamanya berkonotasi negatif. Sebab, bantahan terkadang menjadi cara bagi sang anak untuk menunjukkan ketidaknyamanannya akan sesuatu.

Sebagai contoh, anak perempuan senang mengenakan celana panjang ke mana pun ia pergi. Orang tua pun memintah agar sang anak sekali-kali mengenakan rok agar terlihat lebih feminin. Sang anak kemudian menolak permintaan tersebut karena ia harus melakukan mobilitas dengan menggunakan ojek, sehingga akan sulit baginya untuk mengenakan rok.

Bantahan sang anak untuk tidak memakai rok seperti yang diminta oleh orang tuanya dalam kasus tersebut pada dasarnya tak berkonotasi negatif. Bantahan tersebut, lanjut Ratih, merupakan cara sang anak untuk menunjukkan ketidaknyamanannya akan sesuatu. 

Bukan selalu menyerang Ratih menilai bantahan yang bertujuan untuk menunjukkan ketidaknyamanan yang dirasakan anak sebagai bentuk bantahan 'baik'. Alasannya, hal ini akan merangsang anak untuk bersikap asertif. Anak akan dengan tegas menyatakan perasaannya ketika merasa tidak nyaman.

Adanya sikap asertif pada anak juga dapat mencegah dari terjadinya pendindasan atau bullying. 

Anak yang tidak asertif memiliki kecenderungan untuk menjadi korban atau pelaku bullyingkarena tidak mampu mengutarakan perasaannya secara verbal. 

Anak yang tidak mampu untuk membantah juga memiliki kecenderungan untuk lebih mengutamakan keinginan orang lain dibandingkan kebutuhan pribadinya.

Hal tersebut dapat merugikan sang anak ketika dewasa karena ada kecenderungan sang anak mengorbankan kebutuhan dan kebahagiaannya sendiri karena lebih mengutamakan keinginan orang lain. Oleh karena itu, dalam kasus anak yang membantah, peran orang tua ialah mendengarkan, memahami serta memberikan alternatif- alternatif solusi bagi sang anak.

"Jadi, kadang-kadang apa yang anak sampaikan (melalui bantahan) itu bukan untuk menyerang orang tuanya, tapi menginformasikan apa yang membuat dia tidak nyaman," ungkap Ratih.

Baik atau buruknya sebuah bantahan juga sangat bergantung dari masalah yang membuat anak kemudian membantah. Ratih mengatakan jika sesuatu yang dibantah tidak bersifat prinsip, maka orang tua dan anak dapat menyelesaikan masalah dengan cara berkomunikasi dan berdiskusi.

Akan tetapi, apa yang dibantah sang anak sudah memasuki ranah yang bersifat prinsip, maka orang tua perlu mengambil sikap. Dalam kasus ini, Ratih mengungkapkan orang tua perlu tetap bertahan pada komitmennya mengenai apa yang telah menjadi keputusan bersama dalam keluarga.

"Misalnya, anak membatah shalat untuk yang Muslim, atau membantah pergi ke gereja (bagi yang Kristiani).

Sebagai umat beragama dan secara prinsip, itu penting. Itu baru harus diperdebatkan," kata Ratih.

Menghadapi remaja, ia mengungkapkan pendekatan yang bersifat abstrak lebih cocok sesuai untuk dilakukan.

Pendekatan ini memungkinkan remaja untuk menganalisis situasi dan gambaran umum dari masalah yang dihadapi.

Dalam memberi pengertian soal membantah, Ratih juga mendorong agar orang tua tak hanya melibatkan satu aspek saja, misalnya keagamaan. "Kalau bisa dikaitkannya sama lebih dari dua aspek. Misalnya secara agama, secara kesehatan juga. Dengan membantah kan saraf mereka menegang. dengan sarafnya menegang, otomatis mereka lebih capai, kan.

Jadi ada hal-hal yang perlu kita perbaharui dalam melakukan komunikasi dengan anak," pesan dia. Oleh Adysha C Ramadani, ed: Nina Chairani

 

 

Membantu Remaja Melewati Krisisnya

Anak-anak remaja mulai usia 13-14 tahun, menurut Dessy Ilsanti Mpsi, sudah memasuki tahap perkembangan kognitif yang lebih maju. Pada tahap ini, otak anak akan terus berkembang hingga ia memasuki usia 17 tahun sehingga dalam fase ini anak mulai dapat melakukan analisis dan berpikir lebih dalam.

Ketika kecil, Dessy mengatakan sang anak cenderung melihat orang tua sebagai 'contoh manusia' yang paling benar. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, anak-anak juga mendapatkan inputdari orang-orang di sekitarnya seperti guru dan teman-teman sepermainan.

Meluasnya kemampuan dan kecerdasan ini mendorong anak remaja untuk mencoba menjadi indvidu yang punya pemikiran sendiri. Salah satu caranya ialah dengan mengutarakan pendapat dan pemikirannya. Hal ini yang kemudian kerap terkesan sebagai membantah.

Orang tua, lanjut psikolog klinis dewasa ini, tidak bisa memaksakan sang anak untuk memahami posisi mereka sebagai orang tua. Akan tetapi, dalam hal ini orang tua dapat menempatkan posisinya untuk memahami sang anak karena dulu orang tua juga pernah berada pada tahap tersebut. Melalui penempatan posisi tersebut, orang tua juga perlu memiliki pemikiran yang terbuka agar lebih memahami apa yang ingin disampaikan sang anak melalui bantahannya. 

"Di usia segitu, memang hal tersebut harus dijalani.

Bagi remaja, itu merupakan tantangan. Sebagai orang tua, kita harus memberi support, membantu anak melewati krisis tahapan ini," jelas Dessy.

Meski begitu, Dessy juga mengatakan bahwa orang tua perlu bertindak tegas ketika 'bantahan' yang dilakukan anak sudah mencapai tahap yang 'membahayakan'.

Bantahan yang membahayakan ini, lanjut dia, terjadi ketika anak yang membantah melakukan pelarian terhadap hal yang merugikan, seperti penggunaan narkotika, tindak kriminal, atau akademisnya kacau.

Oleh karena itu, sejak dini Dessy menilai orang tua perlu menanamkan nilai-nilai sosial, keagamaan dan juga moral terkait berpendapat saat memiliki perbedaan pikiran dengan orang tua. Orang tua perlu menanamkan bahwa perbendaan pendapat boleh diutarakan asal cara mengutarakan pendapatnya tersebut tidak menyalahi norma-norma yang berlaku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement